Yunani dan Referendum
Dinna
Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder
& Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 01 Juli 2015
Krisis Yunani saat ini
akan masuk dalam episode yang genting, namun juga menarik karena
langkahlangkah politik luar negeri dan kebijakan ekonomi yang tidak biasa
dilakukan oleh pemerintahan Yunani.
Minggu lalu saya
menyimpulkan bahwa Perdana Menteri (PM) Yunani, Alexis Tsipras, akan menemui
hambatan dalam menegosiasikan kembali utang-utangnya karena para kepala
negara pemilik mata uang euro tampak tetap menuntut Yunani menjalankan
kebijakan pengetatan anggaran atau akan menghadapi default atau gagal bayar.
PM Yunani yang
disokong oleh Kelompok Kiri itu tampaknya mencoba untuk keluar dari permainan
negosiasi tersebut dengan mengumumkan lewat media sosial pada pagi hari
tanggal 27 Juni. Intinya, dia akan melakukan referendum untuk bertanya kepada
rakyat Yunani apakah mereka menerima atau tidak kebijakan pengetatan anggaran
yang didorong oleh Uni Eropa, the International Monetary Fund (IMF), dan the
European Central Bank (ECB) pada 5 Juli 2015.
Langkah ini diambil
mengingat rakyat yang telah mendukung Partai Syriza di Yunani itu tidak
sepenuhnya setuju gagasan untuk menolak kebijakan pengetatan anggaran.
Sebagian besar rakyat masih cenderung takut bahwa mereka tidak akan dapat
maju tumbuh bila tidak bersama Eropa. Langkah ini tentu mengundang reaksi
negatif dari para pemimpin Eropa, namun Yunani tampaknya tetap bergeming
dengan keputusan mereka.
Keputusan menerima
atau menolak kebijakan pengetatan anggaran sebagai syarat untuk menerima
utang lagi demi menutupi utang lama mereka tidak otomatis mendorong Yunani
keluar dari Zona Euro walaupun konsekuensi itu selalu ditegaskan dalam setiap
pembicaraan atau negosiasi antara Perdana Menteri Yunani dan para kepala
negara Eropa. Bola keputusan akan
berada di tangan para pemimpin Eropa.
Referendum itu juga
bukan sesuatu yang luar biasa karena negara anggota Eropa lain, Swedia,
pernah melakukan hal yang sama pada 2003. Pada saat itu rakyat Swedia
menyatakan tidak mau bergabung untuk membentuk mata uang euro. Mata uang euro
saat ini dipegang oleh 19 negara anggota Uni Eropa, sementara negara anggota
lain seperti Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Hongaria, Polandia, Rumania,
dan Swedia menggunakan mata uang masing-masing. Apabila Rakyat Yunani menolak
maka akan ada 7 negara anggota Uni Eropa yang tidak menggunakan mata uang
Euro di wilayah mereka.
Penolakan Yunani
secara politik akan menyudutkan kebijakan pengetatan anggaran (austerity) yang selama ini menjadi
rumus ekonomi kebijakan liberal negara-negara Eropa. Banyak ekonom yang
simpati dengan Yunani terlepas dari apakah pemerintahannya dipimpin oleh
kelompok kiri atau bukan. Dalam sebuah artikel yang ditulis di Financial Times (26/07) Joseph
Stiglitz, Thomas Piketty, Marcus Miller dan mantan PM Italia Massimo D’Alem
memberikan pesan bagi para pemimpin Eropa untuk berpikir lebih manusiawi dan
rasional dalam menghadapi kesulitan yang dialami Yunani. Persatuan Eropa akan
ditentukan oleh kompromi yang tercapai antara Yunani dan kreditor mereka.
Sebagian besar ekonom
yang bersimpati kepada Yunani mengecam kebijakan Bank Sentral Eropa yang
tidak manusiawi dalam menetapkan reformasi yang sangat ketat kepada Yunani.
Tingkat pengangguran di Yunani saat ini mencapai 25% dan 50% di antara mereka
adalah angkatan kerja muda. GDP Yunani telah turun hingga 25% sejak 2009 dan
membuktikan bahwa paket reformasi dan kebijakan pengetatan anggaran tidak
efektif menyelesaikan masalah di Yunani.
Kreditor juga
menggunakan batas waktu pengembalian utang sebagai alat politik untuk menekan
Yunani dan rakyat mereka. Para pemimpin Eropa mengatakan bahwa batasan waktu
bagi Yunani untuk mengembalikan utang adalah kredibilitas yang dipertahankan
secara politik dan batas waktu itu juga terkait dengan kepentingan negara
lain yang tergabung di Uni Eropa. Pendapat ini dianggap tidak beralasan.
Thomas Piketty dalam
wawancara dengan Spiegel Online Internasional
mengingatkan bahwa Jerman dan Inggris yang terlibat utang pada 1945 bahkan belum
membayar penuh utang-utang mereka. Tapi mengapa mereka sekarang yang justru
tidak bersikap simpati dengan negara yang sedang mengalami kesulitan uang.
Batas waktu dianggap politis dan tidak ada kaitan langsung dengan perbaikan
ekonomi.
Para ekonom mengatakan
bahwa yang dibutuhkan oleh Yunani saat ini adalah kelonggaran waktu agar
mereka bisa berkembang dan tumbuh. Para kreditor jangan hanya memikirkan uang
mereka kembali dengan cepat, tetapi juga harus memikirkan apa yang diderita
oleh rakyat Yunani untuk membayar utang-utang tersebut. Ekonomi mereka tidak
bisa tumbuh apabila pada waktu bersamaan mereka harus membayar utang dengan
tingkat inflasi yang tinggi.
Andrew Marshal
(17/07/2011) juga memandang bahwa para pemimpin Eropa sangat licik karena
pada saat mereka meminta Pemerintah Yunani memotong belanja negara,
mengurangi pegawai negeri, dan menaikkan pajak, Angela Merkel and Nicolas
Sarkozy juga memaksa PM Yunani Papandreou untuk tetap menaati kontrak
pembelian senjata dan peralatan perang dari Jerman dan Inggris (AFP,
7/05/2010).
Para ekonom meminta
agar para pemimpin Eropa memberikan kelonggaran dan waktu yang lebih panjang
bagi Yunani untuk dapat membayar utang-utang mereka sesuai dengan kondisi
yang mereka hadapi saat ini dan bukan kondisi yang dibayangkan oleh para
kreditor. Pengetatan anggaran juga jangan dijadikan alat untuk menghukum
manajemen salah urus yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.
Piketty menggambarkan
Yunani seperti seorang anak yang dihukum keras karena perbuatan orang tuanya
yang tidak benar. Dengan kejadian ini semua, kita perlu apresiasi tindakan
pemimpin Yunani dalam mencari jalan keluar dari krisis. Orientasi mereka
untuk mengurangi penderitaan warga negaranya adalah inspirasi bagi kita
semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar