Mengasah Rasa Keadilan
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 30 Juni 2015
Niat luhur para
pendiri bangsa membentuk negara adalah mewujudkan kebahagiaan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Tekad mulia itu secara harfiah, sadar, dan sengaja
ditorehkan baik dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat 1949, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, maupun di Preambul
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam praktik penyelenggaraan negara, upaya
mewujudkan cita-cita bangsa, antara lain rakyat memberikan mandat kekuasaan
kepada wakil rakyat. Namun, setelah hampir 70 tahun merdeka, bahkan setelah
lebih dari satu dekade reformasi politik dilakukan, impian hidup bahagia
masih jauh dari kenyataan.
Lembaga perwakilan
rakyat masih harus berjuang keras mengalahkan nafsu kekuasaan yang bertakhta
dalam institusi yang seharusnya memuliakan kepentingan rakyat itu. Bahkan,
dalam konteks kekinian, para wakil rakyat masih terhuyung-huyung melawan
hasrat dan naluri kuasa untuk kepentingan golongan dan politik kekerabatan.
Salah satunya penyebab kondisi ini adalah karena sebagian dari mereka
mengidap hasrat kuasa yang semakin menggerogoti rasa keadilan serta hilangnya
kompetensi dan literasi moral terhadap penderitaan rakyat.
Salah satu bukti yang
kasatmata antara lain kinerja DPR hasil Pemilu 2014. Prestasi mereka jeblok
karena triwulan pertama hanya menyelesaikan 2 dari target 37 undang-undang
(UU) pada 2015. Mereka lebih bersemangat mengusulkan UU yang oleh banyak
kalangan diduga untuk membuat mereka lebih leluasa menyalahgunakan kekuasaan.
Misalnya, rencana merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang antara
lain dimaksudkan untuk meninjau kewenangan penyadapan KPK yang selama ini
jadi senjata ampuh menjerat koruptor. Selain itu, juga menuntut sinergi
penuntutan dengan kejaksaan yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan proses
penyidikan di KPK dapat ”masuk angin”. Intinya, menginginkan KPK menjadi
tidak lagi digdaya.
Kritik tajam dari
publik malah membuat mereka bergeming. Alih-alih melakukan konsolidasi niat
untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyat, mereka malah mengusulkan dana
aspirasi dengan total lebih dari Rp 11 triliun. Ide tersebut paling tidak
melabrak prinsip checks and balances mechanism karena pelaksana anggaran
adalah pemerintah, sementara DPR bertugas membahas, menyetujui, dan mengawasi
penggunaan anggaran. Tidak itu saja, mereka juga minta agar partai politik
mendapatkan tambahan dana dari negara yang besarnya puluhan kali lipat dari
dana yang selama ini mereka peroleh.
Perilaku tersebut
mencerminkan semakin besarnya defisit rasa keadilan mereka. Mereka kedap
terhadap rakyat yang menjerit akibat memburuknya ekonomi dunia dan domestik,
yang antara lain dipicu nilai rupiah yang pernah hampir menyentuh Rp 13.500
untuk tiap 1 dollar AS. Mereka tidak mampu berempati bahwa rakyat
berpenghasilan tetap, terlebih yang berpendapatan tidak tetap, setiap
menerima gaji atau upah ibaratnya menerima tisu pembersih muka; sangat cepat
habis digunakan.
Ini membuat publik
melakukan perlawanan terhadap berbagai usul sesat tersebut. Tampaknya
kumandang rasionalitas publik berhasil menyusup ke ranah sekitar pusat
kekuasaan sehingga Presiden Jokowi, Ketua MPR, dan tokoh-tokoh masyarakat
menolak usul yang bertentangan dengan kewarasan kolektif masyarakat.
Untuk menjadi wakil
rakyat yang tajam rasa keadilannya, tidak perlu studi banding ke luar negeri.
Para leluhur sudah mewariskan nilai-nilai mulia dan otentik yang diguratkan
sebagai relief yang mengisahkan burung Bharanda yang punya satu badan, tetapi
dua kepala. Letaknya di Candi Sojiwan, Prambanan, dan Candi Mendut, Jawa
Tengah. Terdapat sedikit perbedaan, pada Candi Prambanan, yaitu kepala kiri
menoleh ke kiri, kepala kanan menoleh ke kanan. Sementara di Candi Mendut,
kepala yang satu menengadah ke atas, kepala lainnya, terkulai ke bawah.
Riwayat fabel itu
konon dipetik dari kitab Jataka atau Pancatantra. Kisahnya, kepala yang
menengadah ke atas karena posisinya selalu menikmati buah yang segar, ranum,
dan tentu banyak gizi. Sementara itu, kepala yang menjuntai ke bawah, hanya
kebagian buah busuk, berulat, dan tidak jarang mengandung bakteri. Permintaan
kepala yang menjulai ke bawah untuk sekali-kali menikmati buah segar selalu
ditolak. Alasannya buah segar itu akan masuk ke perut yang sama. Akhirnya,
kepala yang menjuntai ke bawah frustrasi dan marah, lalu dengan sadar dan
sengaja makan racun. Akhirnya, matilah burung Bharanda. Kisah itu mengajarkan
tentang keadilan. Intinya, jika mereka yang punya kekuasaan, terlebih kalau
kedudukan itu berasal dari rakyat, jika tak peka terhadap keprihatinan dan
jeritan rakyat, rakyat akan marah dan akibatnya sangat fatal.
Oleh sebab itu, di
bulan suci Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keutamaan serta berkelimpahan
berkah, bagi siapa pun dapat ”ngalap” berkah rahmatan lil ’alamin. Terutama
bagi elite politik, terutama para wakil rakyat diharapkan pada bulan suci ini
dijadikan kesempatan emas untuk mengasah rasa keadilan dan juga rasa
ketidakadilan. Karena hanya mereka yang mempunyai sensitivitas terhadap rasa
ketidakadilan akan memiliki rasa keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar