Bukan Kekayaan, tapi Kesejahteraan Asia
Rene
L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 01 Juli 2015
Kita khawatir
pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang ditandatangani 50
negara di Beijing hari Senin (29/6) hanya menguntungkan beberapa negara dan
mengabaikan keseluruhan pokok persoalan tujuan pembangunan di kawasan ASEAN.
Pasal 1 anggaran dasar dan rumah tangga AIIB menyebutkan, tujuan bank ini
wajib ”…menciptakan kekayaan dan meningkatkan konektivitas infrastruktur di
Asia”.
Kalau memang bank
pembangunan multilateral ini bertujuan menciptakan ”kekayaan”, bisa
dipastikan mekanisme kerja sama dan kemitraan regional melalui konektivitas
infrastruktur tidak akan tercapai. Alasannya sederhana. Bank multilateral yang
baru ini hanya mengejar kekayaan dan keuntungan dalam menggelar pendanaan
masif infrastruktur di kawasan Asia yang diperkirakan memerlukan dana sekitar
8 triliun dollar AS sampai dengan tahun 2020.
Masalahnya, sejumlah
pembangunan infrastruktur publik yang dibangun pemerintah di berbagai kawasan
membutuhkan waktu sangat panjang dan lama untuk mencapai keuntungan. Belum
lagi berbicara tentang kembalinya modal dari beragam jenis pembangunan
infrastruktur tersebut.
Di Asia, kita condong
melakukan kerja sama dan kemitraan untuk mencapai kesejahteraan bersama,
bukan menciptakan kekayaan dari berbagai infrastruktur yang ingin digelar di
kawasan ini. Bagaimana mencari kekayaan dari upaya membangun jalur kereta api
cepat antara Jakarta dan Bandung, atau kembalinya modal dalam membangun
infrastruktur konektivitas laut antara Indonesia bagian barat dan timur?
Berbagai proyek
infrastruktur yang dibangun selama ini belum menunjukkan keuntungannya hanya
dari mengelola infrastruktur tersebut. Karena kalau ”kekayaan” menjadi tujuan
seperti yang dimaksud AIIB, pertanyaannya adalah kenapa berbagai proyek
infrastruktur di kawasan Asia ini tidak berkembang walaupun suku bunga jangka
panjang sangat rendah dan pasokan keuangan berbagai pemerintahan Asia cukup?
Kita membenarkan
argumentasi kalau infrastruktur adalah kunci potensi pertumbuhan ekonomi. Di
sisi lain, kita meragukan berbagai proyek infrastruktur tersebut akan
”menciptakan kekayaan” seperti tercantum dalam pasal pendirian AIIB tersebut.
Karena pertanyaan kita adalah siapa yang ”mendapatkan kekayaan” tersebut
dalam investasi AIIB tersebut?
Kita bukan ingin
menjadi optimistis dengan kemunculan bank investasi pembangunan baru seperti
AIIB yang dipelopori RRT ini. Namun, kita perlu realistis dalam melihat
keseluruhan prospek kerja sama dan kemitraan yang ingin dibangun di tengah
kebangkitan Tiongkok ini. Bagaimana kita bisa mengharapkan ”kekayaan bersama”
ketika hubungan bilateral perdagangan RI-RRT kita berada dalam posisi merugi
setiap tahun?
Sejak 2010 neraca perdagangan
RI-RRT merugi 4,7 miliar dollar AS, menurun pada 2011 merugi 3,2 miliar
dollar AS, meningkat drastis dengan kerugian RI pada 2012 dan 2013 mencapai
masing-masing sekitar 7,7 miliar dollar AS, dan kerugian berlipat dua pada
2014 mencapai 13 miliar dollar AS.
Dari perdagangan
bilateral RI-RRT, tidak tecermin ”kekayaan bersama” seperti didengungkan para
pemimpin kedua negara. Dan tingkat perdagangan bilateral yang negatif ini
tidak mencerminkan upaya pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan, apalagi
mengharapkan ”terciptanya kekayaan” dari investasi infrastruktur AIIB.
Kasihan lagi Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar