Tumbuh
Tanpa Berkembang Enny Sri Hartati ; Peneliti Senior
Institute for Development of Economics and Finance |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Badan Pusat Statistik
(BPS) menyatakan, ekonomi Indonesia
masih terkontraksi 0,74 persen pada triwulan I-2021. Artinya, perekonomian
masih berada dalam zona resesi. Apalagi, pertumbuhan triwulanan (qtq) kembali
memburuk. Sebenarnya pada triwulan
III-2020, ekonomi sempat tumbuh positif 5,05 persen (qtq). Sayang, perbaikan
itu tak berlanjut. Pada triwulan IV-2020 kembali minus 0,42 persen (qtq),
bahkan pada triwulan I-2021 kontraksinya memburuk menjadi minus 0,96 persen
(qtq). Meski demikian, kontraksi
secara tahunan (yoy) terus mengalami perbaikan dengan angka minus yang makin
mengecil. Pertumbuhan secara tahunan (yoy) secara persisten terus mengalami
perbaikan selama tahun 2020 hingga triwulan I-2021. Mulai dari kontraksi
terdalam pada triwulan II sebesar minus 5,32 persen, terus membaik menjadi
minus 3,49 persen (triwulan III), dan minus 2,19 persen (triwulan IV).
Perbaikan tersebut terjadi baik secara sektoral maupun pengeluaran. Secara rata-rata, semua
sektor yang mengalami kontraksi sangat dalam pada triwulan II 2020 telah
membaik. Setidaknya, secara statistik, kontraksi mengecil, termasuk pada
sektor-sektor utama yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi. Sektor
perdagangan dari minus 7,59 persen menjadi minus 1,23 persen. Sektor industri
pengolahan dari minus 6,18 persen menjadi minus 1,38 persen. Juga sektor
konstruksi dari minus 5,39 persen menjadi minus 0,79 persen. Berbagai perbaikan angka
statistik itu tentu menumbuhkan optimisme. Bahkan, pemerintah sangat yakin,
pada triwulan II-2021 ekonomi akan tumbuh di kisaran 6,9-7,8 persen. Memang,
secara statistik, target pertumbuhan positif di atas 4 persen akan cukup
mudah. Pasalnya, produk domestik
bruto (PDB), atas dasar harga konstan 2010 pada triwulan II-2020, anjlok
menjadi Rp 2.589,8 triliun. Pada triwulan I-2021, PDB telah kembali mencapai
Rp 2.683,1 triliun. Sementara PDB
triwulan I-2020 sudah berada pada level Rp 2.703 triliun. Tentu tidak sulit untuk
mencapai target PDB pada triwulan II-2021 berada pada kisaran Rp 2.703-an triliun. Dengan asumsi itu,
ekonomi triwulan II-2021 sudah mampu tumbuh sekitar 4,28 persen. Walaupun
sesungguhnya masih berada pada level yang sama seperti triwulan I-2020. Artinya, terdapat
pertumbuhan, tetapi pada level yang masih stagnan atau belum ada penambahan
jumlah PDB. Bahkan, secara per kapita jelas mengalami penurunan jika hanya
mampu tumbuh 4,38 persen (Rp 2.703-an triliun). Pasalnya, jumlah penduduk
bertambah dari 269,6 juta orang (2020)
menjadi 271,4 juta orang (2021). Dengan demikian, untuk
mampu mengalami pemulihan ekonomi, pada triwulan II-2021 minimal harus tumbuh
5-6 persen. Persoalannya, jika masih terjadi penurunan pendapatan per kapita,
tentu berimplikasi langsung terhadap daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi
rumah tangga merupakan motor penggerak utama perekonomian. Kendala
krusial Pemerintah memang telah
menetapkan target pertumbuhan triwulan II-2021 pada kisaran 7 persen. Namun,
terdapat sejumlah tantangan yang masih menjadi pekerjaan rumah. Pertama, konsumsi rumah tangga justru masih tertekan,
masih tumbuh negatif 2,23 persen pada
triwulan I-2021. Padahal, konsumsi pemerintah tumbuh 2,96 persen, apalagi
ekspor dan impor masing-masing telah tumbuh positif 6,74 persen dan 5,27
persen. Artinya, tren perbaikan
kinerja makroekonomi tidak menyentuh sisi fundamental ekonomi, yaitu berdampak
pada pemulihan daya beli masyarakat. Padahal, pemerintah telah merealisasikan
anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 55 triliun pada triwulan I-2021,
naik 16,5 persen. Ironisnya, konsumsi makanan dan minuman, selain restoran,
masih negatif 2,31 persen, lebih buruk dibandingkan dengan triwulan IV-2020
yang negatif 1,39 persen. Jika konsumsi kebutuhan
dasar saja masih negatif, pemulihan daya beli untuk kebutuhan sekunder dan
tersier tentu masih jauh dari harapan. Beberapa indikator yang mengonfirmasi
masih lemahnya daya beli, antara lain, terlihat jelas dari data penjualan
ritel. Sampai dengan triwulan I-20,21, hasil survei Bank Indonesia indeks
penjualan ritel diperkirakan masih terkontraksi sekitar minus 17,2 persen
(yoy). Demikian juga angka inflasi
di bawah 1,5 persen. Sementara itu, sekalipun indeks keyakinan konsumen pada
Maret 2021 meningkat menjadi 93,4,
keyakinan konsumen pada kondisi ekonomi saat ini (IKE) masih berada di level
pesimistis, yaitu 72,6. Hal itu disebabkan persepsi terhadap ketersediaan
lapangan kerja masih berada pada level 59,6. Ramadhan dan Idul Fitri
2021 diharapkan mampu menjadi pengungkit ekonomi triwulan II-2021. Memang,
pemerintah memastikan akan tetap memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada
ASN dan TNI-Polri, termasuk gaji ke-13. Namun, perhitungan THR 2021, ASN
hanya berdasarkan gaji pokok, tidak memasukkan tunjangan kinerja. Sementara
gaji ke-13 baru dicairkan pada Juni 2021. Adapun THR karyawan swasta masih
banyak yang terkendala keterbatasan kemampuan perusahaan. Kedua, semakin minimnya
lapangan kerja. Sekalipun investasi kontraksinya menurun menjadi minus 0,23
persen, investasi yang mulai masuk lebih didominasi oleh sektor-sektor jasa
padat modal. Sementara sektor padat karya justru makin terpuruk. Terlihat jelas pertumbuhan
industri tekstil dan pakaian jadi minus 13,28 persen. Demikian juga industri
pengolahan tembakau juga minus 9,58 persen, industri bahan galian bukan logam
minus 7,28 persen, serta industri alat angkutan minus 10,93 persen. Jika
industri-industri yang notabene padat karya itu kontraksinya makin meningkat,
tentu kian berisiko meningkatkan angka pengangguran. Artinya, bisa menjadi
percuma sekalipun Purchasing Manager Index (PMI) Indonesia naik ke level 54,6
pada April 2021. Sekalipun berada pada zona ekspansi, jika tidak berdampak
pada penyediaan lapangan kerja, tetap sulit menuju pemulihan ekonomi. Ketiga, pengabaian
terhadap ”Mutiara Hitam”. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang
cukup resilien selama pandemi, tetap mampu tumbuh positif. Sayangnya,
prestasi ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan petani, peternak, dan
petambak. Harga gabah di tingkat petani per April 2021 mencapai titik
terendah dalam lima tahun terakhir. Ironisnya, di tengah
pasokan melimpah, pemerintah sebelumnya justru mewacanakan untuk impor beras.
Data BPS di 27 provinsi selama April 2021, harga rata-rata gabah kering panen
(GKP) di tingkat petani mencapai Rp 4.275 per kilogram. Turunnya harga GKP
tentu berdampak pada anjloknya nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan hingga
di bawah titik impas 100. NTP tanaman pangan pada Maret dan April 2021
masing-masing sebesar 97,39 dan 96,24. Artinya, indeks harga yang dibayarkan
lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga yang diterima petani. Jika kondisi ini terus
dibiarkan, daya beli petani pasti juga terpuruk. Apalagi, awal Mei 2021
merupakan awal musim giling tebu dan produksi garam. Jika dengan alibi
stabilisasi harga dalam rangka Lebaran, lantas terjadi lonjakan impor
gula/garam yang tidak terkendali, ujung-ujungnya akan mengorbankan petani dan
petambak karena terjadi kejatuhan harga di petani tebu dan petambak garam. Selama ini, sektor pertanian menjadi contoh
nyata, sektor yang terus tumbuh, tetapi kesejahteraan petani tidak pernah
berkembang, growth without development. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar