Sabtu, 15 Mei 2021

 

Konsiderasi Penamaan Rupabumi Jalan MBZ Sheikh Mohamed bin Zayed

Multamia RMT Lauder ;  Guru Besar Geolinguistik Universitas Indonesia dan Ketua Komunitas Toponimi Indonesia (Kotisia)

KOMPAS, 15 Mei 2021

 

 

                                                           

Penamaan rupabumi merupakan bagian dari Toponimi di bawah payung Linguistik Historis yang fokus pada Onomastika. Kajian Onomastika membahas nama diri berdasarkan ilmu Antroponimi dan nama tempat berdasarkan ilmu Toponimi.

 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap nama tempat sangat penting untuk mengelola masalah sosial dan ekonomi. Karena itu, dibentuklah The United Nation Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) pada 1967 sebagai salah satu kelompok pakar di bawah naungan The United Nations Economic and Social Council (UNECOSOC).

 

Nama tempat juga dikenal sebagai toponim, nama rupabumi, atau nama geografis. Toponim mencakup nama-nama unsur alami, seperti gunung, danau, selat, dan pulau serta nama-nama unsur buatan manusia, antara lain jembatan, bendungan, bandara, jalan, dan perkantoran.

 

Pakar Toponimi dari setiap negara tergabung dalam divisi berdasarkan pembagian geografis atau linguistik. Indonesia berada di dalam UNGEGN Asia South-East Division (UNGEGN ASED) bersama Bhutan, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam.

 

Salah satu resolusi UNGEGN adalah mewajibkan semua anggota PBB melakukan pengelolaan dan pembakuan toponim (nama tempat) berdasarkan bahasa lokal, sejarah, dan budaya di negara masing-masing. Selain itu, setiap negara disarankan membentuk National Name Authority (NNA).

 

Resolusi UNGEGN dibuat dengan mempertimbangkan bahwa toponim dari bahasa lokal memberikan berbagai informasi mengenai sejarah permukiman, kondisi alam, vegetasi, dan kegiatan penduduk. Dengan demikian, hal itu dapat mempreservasi sejarah dan budaya setempat termasuk jejak informasi migrasi penduduk pada masa lampau.

 

Badan Informasi Geospasial (BIG) bertugas memimpin NNA di Indonesia. Pengelolaan toponim di Indonesia melibatkan berbagai kementerian dan lembaga karena luasnya cakupan kegiatan sosial ekonomi yang memerlukan informasi nama tempat.

 

Kementerian dan lembaga tersebut meliputi Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Direktorat Toponimi dan Batas Wilayah, Kementerian Dalam Negeri; Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial; Bidang Pemetaan dan Toponimi, Kedeputian Koordinasi Kedaulatan Maritim, Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi; Direktorat Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan; Direktorat Hukum Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri. Selain itu juga Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan); Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut; serta Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat.

 

Koordinasi antara semua kementerian dan lembaga terkait senantiasa mengacu ke berbagai aturan dan undang-undang yang berlaku, antara lain  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang ini, antara lain, mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam nama geografi, atau bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.

 

Selain itu, juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Peraturan pemerintah ini, antara lain, mengatur bahwa nama rupabumi menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal paling singkat lima tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal. Selain itu, nama rupabumi menghindari penggunaan nama yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan/atau daerah; dan memenuhi kaidah penulisan nama rupabumi dan kaidah spasial.

 

Pemberian toponim seharusnya mematuhi UU No 24/2009 serta PP No 2/2021 yang berakar pada bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Namun, ada kalanya, penamaan yang menggunakan nama asing diperbolehkan apabila memiliki nilai budaya dan sejarah. Pada masa penjajahan Belanda, dibangun 459 benteng di Indonesia. Ini beberapa contoh nama benteng di Nusantara: Fort Rotterdam (1545) di Ujung Pandang; Fort Belgica (1611) di Pulau Banda; Fort Vastenberg (1745) di Solo; dan Fort Du Bus (1828) di Papua. Nama-nama asing tersebut diperbolehkan untuk dipertahankan karena memiliki nilai sejarah.

 

Kasus pengusulan nama asing, misalnya, untuk penamaan bandara di Kabupaten Tambrauw sebagai Bandara Douglas McArthur. Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 553.2/799/SJ, tertanggal 6 Februari 2018, meminta Gubernur Papua Barat membatalkan pemberian nama tersebut dan mengganti dengan nama lokal agar mematuhi Permendagri No 39/2008 serta UU No 24/2009. Nama asing dapat saja diusulkan apabila yang bersangkutan telah wafat sekurang-kurangnya lima tahun, berjasa luar biasa bagi Indonesia, serta memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. Akhirnya setelah dikaji ulang oleh pemda setempat, bandara tersebut diberi nama Bandara Werur.

 

Jati diri bangsa

 

Indonesia merupakan negara hukum, dengan demikian harus tunduk dan patuh pada undang-undang serta peraturan yang berlaku. Toponim sangat terkait dengan upaya menjaga identitas dan jati diri bangsa, menyimpan memori kolektif bangsa, memelihara kearifan lokal, melestarikan keanekaragaman bahasa dan budaya bangsa, termasuk menjaga batas negara serta kedaulatan bangsa.

 

Berikut ini contoh kasus batas negara dan kedaulatan bangsa. Pertama, kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional, yaitu The UN International Court of Justice, dalam mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia dianggap memiliki kelengkapan dokumentasi administrasi serta mengelola kedua pulau tersebut dibandingkan Indonesia sehingga pada 17 Desember 2002 Pulau Sipadan dan Ligitan di kawasan Kalimantan Timur diserahkan ke Malaysia.

 

Harus diakui secara jujur bahwa sebelum 2002 Indonesia cenderung lalai dalam penataan nama rupabumi. Bahkan, pada saat itu, terdapat sekitar 8.000 pulau tak bernama. Kasus ini merupakan penggugah bahwa nama rupabumi perlu diperhatikan agar terwujud tertib administrasi kekayaan bangsa dan tidak terjadi lagi pencaplokan di masa mendatang.

 

Kedua, Indonesia memiliki batas laut dengan sejumlah negara tetangga, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua Niugini, Timor Leste, dan Australia. Namun, Indonesia tidak bertetangga dengan China sehingga tidak memiliki batas laut dengan China. Tindakan Indonesia memberi nama Laut Natuna Utara justru memperlihatkan tanggung jawab untuk melindungi daerah tersebut dari penangkapan ikan ilegal dan dari segala ancaman terhadap eksplorasi minyak dan gas bumi.

 

Pihak China berkeberatan, tetapi Indonesia mendasarkan diri pada konvensi PBB tentang hukum laut, yaitu The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Setiap negara berkewajiban dan berhak mengelola sumber daya laut di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai. Penetapan nama Laut Natuna Utara dan bukan Laut China Selatan sangat terkait dengan batas wilayah kedaulatan NKRI.

 

Mencermati beberapa kasus penamaan, dapat dipahami mengapa PBB membentuk UNGEGN untuk mengelola pembakuan toponim di seluruh dunia. Pembakuan itu tertuang dalam Manual for the National Standardization of Geographical Names yang mencakup pemberian, pengubahan, penghapusan, dan penggabungan nama.

 

Nama berkontribusi besar serta merupakan bagian yang penting dan berguna dalam kehidupan kita sehari-hari. Nama menjadi elemen dari sebuah geolocational system yang sangat efisien, termasuk untuk menemukan tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

 

Pada masa pandemi ini, hampir semua layanan daring (dalam jaringan) sangat membutuhkan nama tempat yang tepat dan akurat. Oleh karena itu, melakukan kajian toponimi bukanlah pekerjaan sepele, justru merupakan pekerjaan besar berskala nasional dan internasional demi ketertiban dan kenyamanan sosial ekonomi.

 

Kini saatnya membahas konsiderasi penamaan rupabumi buatan manusia berupa nama jalan yang biasa disebut sebagai odonim. Dari sudut pandang toponimi, nama tempat atau toponim adalah artefak budaya.

 

Pertama, toponim memberikan informasi tentang kondisi alam dan budaya pada saat nama itu diciptakan yang mewakili memori kolektif mengenai tempat itu sehingga berfungsi sebagai dokumentasi sejarah. Kedua, toponim merupakan bagian dari bahasa dan sejarah lokal yang perlu dilestarikan. Ketiga, toponim mencerminkan hubungan antara komunitas setempat dan lingkungannya.

 

Dengan demikian, dapat dipahami mengapa resolusi UNGEGN mendasarkan diri pada nama dan bahasa lokal. Dari sudut pandang lanskap linguistik, penggunaan nama dan bahasa di ruang publik memperlihatkan identitas, jati diri, serta relasi kuasa.

 

Penghargaan dan penghormatan

 

Bermula dari penghargaan dan penghormatan Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) kepada Indonesia berupa penggantian nama Al Maarid Street menjadi President Joko Widodo Street, yang membelah Abu Dhabi National Exhibition Center dengan Embassy Area. Peresmian dilakukan pada 19 Oktober 2020 oleh Sheikh Khalid bin Mohammed bin Zayed Al Nahyan, Chairman Abu Dhabi Executive Office.

 

Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Pemerintah UEA pada 23 September 2019 ketika meresmikan King Salman bin Abdulaziz Al Saud Street sebagai bentuk penghormatan bagi Raja Salman. Niat baik Pemerintah UEA ternyata bertentangan dengan Resolusi VIII/2 UNGEGN mengenai Commemorative Naming Practice for Geographical Features yang justru mencegah pemberian nama rupabumi dengan nama orang yang masih hidup sebagai salah satu upaya menghindari kultus individu.

 

Penamaan jalan itu terjadi, kemungkinan besar karena Pemerintah UEA belum membentuk National Names Authority (NNA) sebagaimana disarankan oleh UNGEGN. Karena itu UEA belum memiliki undang-undang atau aturan yang mencakup pemberian, pengubahan, penghapusan, dan penggabungan nama sebagaimana tertuang dalam Manual for the National Standardization of Geographical Names yang disepakati oleh semua anggota PBB.

 

Selanjutnya, pada 12 April 2021, ruas elevated sepanjang 36,4 kilometer diganti namanya menjadi Jalan Tol Layang MBZ Sheikh Mohamed bin Zayed. Peresmian penggantian nama itu dihadiri oleh Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Duta Besar RI untuk UEA, serta Duta Besar UEA untuk Indonesia.

 

Niat baik ini tampaknya bertujuan membalas tindakan UEA meresmikan President Joko Widodo Street sekaligus memperkuat hubungan diplomatik antara Indonesia dan UEA yang telah terjalin sejak 1976. Dari sudut pandang hubungan diplomatik tentu saja tindakan itu dapat dipahami. Namun, tidak selaras dengan kesepakatan internasional, terlebih lagi tidak sejalan dengan prinsip penamaan unsur rupabumi yang tertera di UU No 24/2009 dan PP No 2/2021 yang keduanya ditandatangani oleh Presiden RI.

 

Mengapa pemberian nama jalan ini terkesan mendadak serta tidak melalui prosedur yang seharusnya? Apa yang menyebabkan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri PUPR tidak sempat berkoordinasi dengan BIG? Mengingat tugas pokok dan fungsi BIG berdasarkan PP No 2/2021 melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penataan dan pembakuan nama rupabumi di seluruh Indonesia.

 

Selain itu, menurut pendapat saya, selayaknyalah BIG sebagai NNA di Indonesia bersama Direktorat Toponimi dan Batas Wilayah, Kementerian Dalam Negeri lebih aktif melakukan sosialisasi mengenai aturan penamaan rupabumi di Indonesia kepada semua kementerian dan lembaga pemerintah dan juga kepada masyarakat agar gotong royong menjaga indentitas budaya bangsa. Sehubungan dengan hal itu, konsiderasi yang dapat saya berikan adalah merekomendasikan agar pemerintah segera melakukan langkah pengubahan nama sebagaimana tertera di aturan UNGEGN dan juga agar mematuhi UU No 24/2009 serta PP No 2/2021.

 

Hal ini tidak mudah karena menyangkut hubungan bilateral dengan negara sahabat. Namun, apabila hal ini dilaksanakan dengan niat baik dan hati yang tulus, saya percaya bahwa Pemerintah UEA akan memahami dan mendukung Indonesia berdiri tegak sebagai sebuah negara hukum. Selain itu, kiranya dapat mempertimbangkan hal itu bersama Kementerian Luar Negeri yang memahami seluk beluk diplomasi internasional, agar penghargaan dan penghormatan antara negara sahabat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk sehingga tidak harus dalam bentuk nama jalan yang melanggar UU dan PP.

 

Semoga  Allah memberi kemudahan dan solusi yang elegan untuk menyelesaikan masalah ini sehingga hubungan bilateral antara Indonesia dan Pemerintah UEA tetap harmonis dan bahkan semakin kokoh. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar