Sabtu, 15 Mei 2021

 

23 Tahun dalam Harapan

Al Araf ;  Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Centra Initiative

KOMPAS, 15 Mei 2021

 

 

                                                           

"Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?". "Bensin motorku penuh dan dimandiin tuh satu tangki. Terus dibakar kan aku ini. Tangan kananku tak lagi sempurna. Bekas luka bakar 21 tahun (kini 23) silam masih jelas di sekujur tubuh.”

 

Itulah dua penggalan cerita saksi dan korban pada tragedi Mei 1998 yang diungkapkan Candra Jap dan Iwan Firman, seperti dikutip media. Tentu ada banyak kisah memilukan lainnya yang belum terungkap seperti banyaknya perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia yang menjadi korban kekerasan pada tragedi itu. Pengalaman pahit dalam tragedi tersebut telah menjadi memori kolektif yang menyakitkan, dan bagi korban pengalaman itu tentu akan sulit dilupakan.

 

Namun demikian, cerita pedih tentang peristiwa Mei 1998 hingga kini sepertinya hanya menjadi cerita yang tidak memiliki ujung penyelesaiannya. Sudah hampir 23 tahun sejak tragedi tersebut, penantian panjang korban akan keadilan belum terpenuhi karena upaya mengungkap kebenaran dan keadilan melalui jalur hukum pengadilan tak kunjung direalisasikan negara.

 

Terencana

 

Peristiwa kerusuhan dan kekerasan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 tentu tak bisa dilepaskan dari dinamika sosial-politik pada masa itu dan berbagai peristiwa yang terjadi sebelumnya: Pemilu 1997, penculikan aktivis, krisis ekonomi, dan maraknya demonstrasi mahasiswa, khususnya tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 yang hingga kini masih jadi misteri.

 

Dalam ringkasan eksekutif laporan Komnas HAM tentang kerusuhan Mei 98 disebutkan, peristiwa itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cara-cara represif yang dipergunakan rezim Orde Baru dalam pengelolaan masalah bangsa yang bertujuan menghapus semua potensi perlawanan murni dari kelompok masyarakat.

 

Kekerasan dan kerusuhan Mei 1998 bukanlah peristiwa yang terjadi secara alami dan spontan, tetapi peristiwa yang terencana dan sistematis.

 

Berdasarkan fakta-fakta hasil penyelidikan Komnas HAM, ada indikasi terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan telah terpenuhi meliputi unsur serangan yang bersifat meluas; terjadi secara sistematis; serangan terhadap penduduk sipil.

 

Unsur meluas dapat dilihat dari adanya fakta secara kumulatif, yakni terjadinya serangan kekerasan di berbagai tempat di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia, yang diikuti dengan jatuhnya korban jiwa dari penduduk sipil di beberapa tempat.

 

Serangan yang terjadi secara sistematis dapat terlihat dari kebijakan negara dan kewenangan politik yang ada yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di masa Orde Baru, diikuti dengan pengondisian kebencian dan pengambinghitaman etnis Tionghoa, yang menyebabkan masyarakat Tionghoa jadi sasaran kerusuhan.

 

Unsur terencana dan sistematis kerusuhan juga dapat dilihat dari ciri-ciri pelaku kerusuhan yang hampir sama, di mana mereka terlatih, terorganisasi, memiliki sistem komunikasi dan membawa peralatan tertentu untuk merusak dan membakar.

 

Di dalam laporan Komnas HAM disebutkan, peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 menggambarkan adanya pembiaran terjadinya kerusuhan dan pelanggaran HAM berat, yang bisa dilihat dari temuan fakta di mana banyak terjadi kekosongan aparat dan atau tindakan aparat yang membiarkan kerusuhan itu terjadi. Kurang lebih ada 55 lokasi di mana tidak terlihat adanya aparat keamanan di lokasi kerusuhan.

 

Serangan terhadap penduduk sipil terjadi di beberapa tempat dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan seperti pembakaran, pembunuhan, penganiayaan, kekerasan seksual terhadap perempuan, perusakan rumah dan bangunan, perampasan barang milik pribadi, penjarahan dan lainnya

 

Janji politik impunitas

 

Meskipun ada bukti kuat dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat pada tragedi Mei 1998, hingga kini penyelesaian kasus itu tak kunjung tuntas terselesaikan. Padahal, penyelesaian tragedi Mei dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya bagian dari agenda reformasi 1998 khususnya dalam konteks pemenuhan hak-hak keadilan korban.

 

Hampir setiap rezim pemerintahan di masa reformasi ini lari dari kewajiban konstitusionalnya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya kasus kerusuhan Mei 1998. Jika ada rezim politik yang berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, itu hanya sebatas janji yang indah didengar tetapi tak kunjung terealisasikan.

 

Sungguh ironis memang, di alam demokrasi yang sejatinya mewajibkan kepada negara untuk memenuhi hak asasi warga negara, kita masih terus melihat catatan merah negara dalam penegakan HAM serta proses impunitas yang terus berlangsung. Ruang dan instrumen demokrasi bukan lagi digunakan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan memajukan HAM, tetapi untuk perebutan kekuasaan dan jabatan dalam struktur kekuasaan negara, ataupun keuntungan yang bersifat materi.

 

Impunitas telah menjadi sesuatu yang biasa saja di republik ini. Impunitas menjadi cermin buruk kekuasaan yang tidak kunjung dipecahkan. Padahal, impunitas adalah bagian dari kejahatan itu sendiri. Pelaku kekerasan ada, korban kekerasan ada, instrumen hukum tersedia tetapi kemauan politik pemerintah yang tidak ada sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat terkatung-katung.

 

Bolak balik berkas oleh Kejaksaan kepada Komnas HAM dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sesungguhnya hanya dalih kekuasaan yang memang tidak mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk kasus kerusuhan Mei.

 

Kalkulasi politik kekuasaan demi mempertahankan rezim kekuasaan jauh lebih penting ketimbang mengambil langkah berani untuk memajukan kemanusiaan dengan membawa para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM ke meja peradilan. Dilanggengkannya impunitas di negeri ini memberi dampak pada terus berulangnya kekerasan dan pelanggaran HAM sebagaimana marak terjadi belakangan ini di Papua.

 

Negara yang abai dan tidak mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan terus melanggengkan impunitas adalah negara yang tidak menghormati nilai kemanusiaan dan nilai peradaban. Karena penuntasan kasus pelanggaran HAM dan penghormatan terhadap HAM adalah nilai esensial dari penghormatan kita atas martabat kemanusiaan dan peradaban.

 

Keadilan

 

Dua puluh tiga tahun tragedi Mei yang kelam itu telah berlalu. Harapan akan tegaknya keadilan pada peristiwa itu akan terus dinantikan oleh korban dan keluarga korban.

 

Sebagai sebuah bangsa, penantian untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu juga menjadi kepentingan kita bersama yang menginginkan sebuah kepastian bahwa praktik politik kotor dengan cara represif seperti terjadi pada kerusuhan Mei 1998 tidak terjadi lagi di masa datang. Dalam konteks ini, kita semestinya mengingat kembali sebuah pesan yang disampaikan George Santayana: bangsa yang tidak belajar dari masa lalu, akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama.

 

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu termasuk tragedi Mei 1998 merupakan bagian dari koreksi dan menjadi pembelajaran bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Dengan mengungkap kebenaran dan menghukum para pelaku kekerasan kita bisa berharap kasus serupa tidak terulang di masa datang.

 

Pemerintahan Jokowi sebenarnya masih memiliki waktu cukup untuk menyelesaikan kasus kerusuhan Mei 1998 dan kasus pelanggaran HAM lain.

 

Apalagi Presiden sudah berulang kali berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

 

Kemauan dan keberanian politik Presiden Jokowi menjadi kunci penting dalam menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM. Presiden harus berani keluar dari bayang-bayang ketakutan bahwa jika Presiden menyelesaikan kasus pelanggaran HAM akan mendapatkan tekanan-tekanan politik yang membahayakan kekuasaanya.

 

Sudah cukup bagi Presiden Jokowi berjanji politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sudah saatnya janji politik itu direalisasikan menjadi kenyataan dengan memberi jawaban keadilan bagi korban.

 

Di tengah harapan disertai pesimisme pada kekuasaan dan di tengah keadilan yang tak kunjung datang, perjuangan menemukan keadilan itu harus terus dirawat. Mengutip Albert Camus “terlepas dari penderitaan, mereka yang tak lagi ada dan takkan pernah bisa tergantikan serta luka atas ketidakadilan, kita tetap harus menyuarakan, bukan penyesalan, tapi kata-kata harapan. (Albert Camus, Resistance, Rebellion and Death: Essays) ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar