Sabtu, 15 Mei 2021

 

Mudik Menengok (Sejarah) Kampung

Heri Priyatmoko ;  Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

KOMPAS, 15 Mei 2021

 

 

                                                           

Hati terasa teriris. ”Ritual” mudik tahun ini kembali terganggu oleh pagebluk Covid-19 yang masih menggila. Rombongan perantau gagal menjenguk kampung halaman lantaran berniat mematuhi anjuran pemerintah, kantong tipis akibat usahanya melempem, dan emoh kucing-kucingan dengan aparat berwajib yang mencegat di jalan. Sungkem orangtua di hari Lebaran serta bernostalgia di tanah kelahiran hanya ada dalam angan.

 

Selain berkumpul dengan brayat ageng (keluarga besar), mudik dipakainya untuk merenda kembali kisah kelampauan tatkala masih bocah. Saban lekuk tanah asal dicumbui lagi, memori sejarah pun disegarkan.

 

Fungsi mudik di sini untuk memulihkan kembali perihal sejarah desanya, yang tertepikan akibat kesibukan dan rutinitas yang menjemukan di tanah rantau. Pemudik bisa mendongengkan muasal kampung kepada buah hatinya seraya menikmati hamparan hijau. Atau, para cucu dengan takzim mendengarkan pengisahan kakek-neneknya yang menghabiskan masa tua di desa.

 

Terus terang, selama ini aspek toponim atau muasal daerah sering kali disepelekan oleh generasi kontemporer. Bahkan, sebagian dari kita kerap abai terhadap sejarah penamaan kampung halaman. Padahal, aspek tersebut sesungguhnya menarik lantaran acap ditemukan berbagai unsur cerita yang mengandung harmoni sosial dan humor yang berjalin kelindan dengan proses pembentukan identitas lokal.

 

Betapa pentingnya kampung dalam kajian ilmiah dibuktikan dengan munculnya beberapa pustaka. Ambillah misalnya, muasal nama tempat dan kampung di beberapa perkotaan Jawa dibukukan oleh Direktorat Sejarah. Saya turut menulis Toponim Magelang (2018) dan Toponim Yogyakarta (2019) dengan memanfaatkan sumber arsip, serat kuno, dan tradisi lisan. Tak ketinggalan pula tanah kelahiran Presiden Joko Widodo, Kota Solo, dikaji hingga membuahkan buku Toponimi Kota Surakarta.

 

Bukan hanya di Vorstenlanden (wilayah kerajaan) yang disesaki cerita lokal, di Batavia (Jakarta) yang menjadi pusatnya pemudik mencari sesuap nasi juga tersembunyi kearifan budaya. Kita bisa menyebut nama Rachmat Ruchiat. Ia keluar-masuk kampung dan mencatat sejarahnya, kemudian dituangkan dalam buku Asal Usul Nama Tempat di Jakarta.

 

Hasil kerja keras Rachmat Ruchiat itu bukan hanya mendekonstruksi pemahaman umum bahwa manusia jika berusia senja biasanya tidak produktif dan berleha-leha, melainkan juga demi menyelamatkan warga Jakarta dari ketidaktahuan akar sejarah akan wilayahnya sendiri. Dijumlah ada  48 nama tempat yang dikupas. Pembaca bakal keasyikan menyimak dan tidak perlu mengerutkan dahi. Pasalnya, selain bahasanya populer, di dalam buku tersebut disisipi pula foto-foto yang bisa mengurangi rasa bosan. Pikiran pembaca pun tidak dibikin meloncat-loncat dan kebingungan karena pembahasan nama tempat dibagi menjadi dua, masa prakolonial dan kolonial.

 

Konsep pemberian nama tempat

 

Penyusunan karya ini awalnya berangkat dari konsep toponimi, yaitu pengetahuan perihal nama tempat terutama mengenai asal-usulnya. Para ahli menggolongkannya sebagai salah satu ranting dari ilmu sejarah yang umumnya disebut onomastika (ilmu tentang nama). Ranting lainnya dari onomastika ialah antroponomi, yakni ilmu mengenai orang dengan berbagai atributnya, seperti gelar, pangkat kedudukan, dan silsilahnya.

 

Generasi milenial bakal tercerahkan dengan dituturkan konsep pemberian nama tempat. Pertama, penyebutan yang berdasarkan topografi atau keadaan alam tempat itu. Contoh, Tanah Tinggi di wilayah Jakarta Pusat diberi nama demikian lantaran lokasinya lebih tinggi dibandingkan dengan tempat di sekitarnya yang kala itu berupa rawa.

 

Kedua, terdapat tempat yang namanya berdasarkan tumbuhan atau pohon seperti Gambir (Uncaria gambir), Menteng (Pierardia racemosa), Pisangan (pohon pisang), Pulo Gadung (pohon gadung), dan Kemang (Mangifera kemanga). Wajar jika banyak ditemukan nama daerah yang mengacu pada jenis tanaman, sebab Batavia tempo doeloe merupakan daerah yang subur, tanahnya berasal dari muntahan letusan Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrongo yang mengalir dan turun ke wilayah rendah Batavia.

 

Ketiga, kelompok etnis tertentu cukup banyak digunakan sebagai nama tempat di Jakarta, macam nama Kampung Ambon, Kampung Bali, Kampung Makasar, dan Kampung Melayu lantaran aslinya memang dijadikan permukiman khusus kelompok etnis yang bersangkutan. Keempat, ada pula nama tempat yang mengikuti daerah asal penghuninya, seperti Pecinan dan Pekojan.

 

Kelima, beberapa lokasi mengingatkan kita pada profesi utama sebagian penduduk yang tinggal, seperti Pegangsaan, Penjaringan, dan Petukangan. Keenam, berdasarkan status atau kedudukan pemiliknya, semisal Kemayoran, Pejongkoran, Ragunan, dan Kemandoran. Ketujuh, penamaan dengan menggunakan kata ci yang dipengaruhi bahasa Sunda. Teladannya, Cipinang, Ciliwung, Cisadane, dan Cikeas.

 

Cukup menggelitik karya ini mengulas fenomena para pengembang yang memakai bahasa asing untuk nama tempat hunian yang dibangunnya. Modern Land, Raffles Hill, Lake Side, Jakarta Garden City adalah buktinya. Ditelisik lebih jauh, penamaan ini jelas mengandung maksud biar terdengar lebih modern sehingga menarik minat pembeli berdompet tebal.

 

Dari kilas balik ini, kita disadarkan bahwa mudik sebenarnya untuk mengerti ekosistem kampung bukan hanya berujud fisik dan tempat orang bermukim. Perkampungan di sekitar kita adalah culture mosaic (mosaik budaya) yang mestinya dirawat, ditulis kisahnya, dan dikabarkan ke publik. Ada baiknya pihak kelurahan (dengan dana desa) perlu menggelar program sosialisasi sejarah kampung agar generasi kekinian mengakrabi kampungnya sebagai warisan kakek moyang yang memantulkan keragaman budaya berikut riwayatnya.

 

Asa terpacak, dengan upaya ini bakal menumbuhkan rasa handarbeni dan terpupuknya kesadaran budaya lokal. Selanjutnya, mereka berpartisipasi menjaga kelestarian kampung yang berfaedah bagi kemajuan kota dan bangsa Indonesia. Dan, muaranya pada terjaganya keguyuban masyarakat di tingkat bawah. Jika mereka mengabaikan ekosistem kampung, lambat laun identitas dan bukti mata rantai kemajuan peradaban kota akan melenyap. Tradisi mudik mengingatkan semua itu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar