Sabtu, 15 Mei 2021

 

Samakan Persepsi soal KPK

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 15 Mei 2021

 

 

                                                           

Polemik seputar 75 pegawai KPK  yang  tak lolos tes wawasan kebangsaan terus bergulir.  Kini, mereka telah diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab.

 

Tes wawasan kebangsaan ini tindak lanjut dari UU No 19/2019 tentang KPK, yang mengamanatkan bahwa komisi itu  bagian dari rumpun eksekutif. Konsekuensinya, pegawai KPK  harus menjadi aparatur sipil negara atau ASN. Aturan ini lalu  diturunkan ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.

 

Pasal 3 PP itu  menyebutkan, salah satu syarat pengalihan menjadi ASN adalah harus setia dan taat pada Pancasila dan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan pemerintah yang sah.  Selanjutnya, di Pasal 5 Ayat 4 Peraturan KPK No 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi ASN disebutkan, untuk memenuhi syarat setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah dilaksanakan  tes wawasan kebangsaan. Seluruhnya ada 1.349 pegawai KPK yang mengikuti tes  tersebut.

 

KPK berjalan  dengan sistem dan  tak boleh diidentikkan  dengan orang per orang. Sistem itu dibangun agar KPK bekerja profesional dan insan di dalamnya  tak memiliki kepentingan lain, seperti politik,  saat memberantas korupsi.

 

Sistem itu juga dibangun untuk memastikan KPK mematuhi ketentuan di republik  ini, seperti putusan  Mahkamah Konstitusi yang menyatakan,  dalam alih status  pegawai KPK menjadi ASN tak boleh ada pegawai KPK yang dirugikan.

 

Tindak lanjut dari tidak lolosnya 75 pegawai KPK  dalam tes wawasan kebangsaan merupakan   bagian dari ujian terhadap sistem di KPK. Masih ada ujian lainnya, seperti adanya  barang bukti yang dicuri, operasi penyitaan yang ditengarai bocor, dan   adanya penyidik KPK yang diduga memeras.

 

Menjaga sistem di KPK, kini, tak dapat hanya  oleh  internal  komisi itu. Kemauan politik dari luar, seperti pemerintah, amat dibutuhkan. Apalagi,  KPK  bagian  dari rumpun eksekutif.

 

Ironisnya, beda persepsi cenderung terjadi antara  elite politik dan rakyat terkait KPK. Pada 2019, elite politik menyatakan, revisi UU KPK dilakukan  untuk memperkuat lembaga itu. Namun, rakyat melihat sebaliknya.

 

Pandangan rakyat ini berlanjut dalam Indeks Persepsi Korupsi  (IPK)  Indonesia tahun 2020 yang turun  tiga poin dari 40 pada 2019 menjadi 37. Sejak 2008, baru pada 2020 IPK Indonesia mengalami penurunan skor.

 

Selain sejumlah prestasi seperti di bidang infrastruktur, adalah amat membanggakan jika    Presiden Joko Widodo juga dapat memimpin elite politik negeri ini untuk menyamakan persepsinya dengan rakyat tentang penguatan KPK dan upaya menjaga  semangat pemberantasan korupsi.

 

Presiden tak hanya punya modal waktu tiga tahun di sisa pemerintahannya untuk mewujudkan hal  itu. Namun, juga tingkat  kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan, yang menurut hasil survei Litbang Kompas pada  April lalu  mencapai 69 persen. Ini  meningkat dibandingkan Januari 2021 yang sebesar 66,3 persen dan  Agustus 2020 sebesar 65,9 persen.

 

Mari, selagi masih ada waktu dan kesempatan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar