Rabu, 12 Mei 2021

 

Idul Fitri Tanpa Mudik

M Zainuddin ;  Guru Besar Sosiologi Agama dan Wakil Rektor I Bidang Akademik UIN Maliki Malang

KOMPAS, 11 Mei 2021

 

 

                                                           

Penyekatan arus lalu lintas di sejumlah titik mudik pada hari pertama larangan mudik, Kamis (6/5/2021), sudah diterapkan dengan tegas oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Negara RI. Operasi Ketupat telah menurunkan 155.000 personel gabungan TNI-Polri.

 

Hal ini dimaksudkan untuk mencegah arus mudik dan mengantisipasi penyebaran baru Covid-19, yang selama ini sudah berangsur-angsur menurun dan membaik.

 

Ledakan kasus dan lonjakan jumlah kematian akibat Covid-19 di India menjadi perhatian besar dunia dan memberikan pelajaran penting bagi kita semua. Kita tidak boleh mengulang kesalahan serupa dan hal ini sekaligus menjadi ujian solidaritas bangsa-bangsa untuk saling membantu mengatasi pandemi yang sudah berjalan setahun lebih.

 

Sebagaimana dirilis oleh Our World Data, kurva epidemiologi Covid-19 di India pada 16-17 September 2020 mencapai puncaknya dengan lebih dari 93.000 kasus per hari, dan pada 14 Februari 2021 terus mengalami penurunan hingga level terendah dengan 11.199 kasus per hari.

 

Di hadapan para pemimpin negara yang menghadiri Forum Ekonomi Dunia, pada Januari 2021, Perdana Menteri India Narendra Modi mengekspresikan kepercayaan dirinya soal infrastruktur kesehatan dan kesiapsiagaan India menghadapi Covid-19.

 

Namun, keberhasilan India itu hanya berlangsung hingga pertengahan Februari 2021. Setelah itu, kasus baru perlahan meningkat, bahkan sejak Maret 2021 melesat dengan kurva epidemiologi naik tajam akibat pemerintah pusat dan negara bagian melonggarkan pembatasan dan protokol kesehatan.

 

Pelonggaran pembatasan dan protokol kesehatan itu membuat masyarakat berani melepas masker di ruang publik dan melakukan ritual masif serta melaksanakan pemilu di lima negara bagian. Akibatnya, kasus baru dan angka kematian melonjak tajam.

 

Data Worldometers menunjukkan, kasus Covid-19 di India per 10 Mei 2021 tercatat 22.662.410, tertinggi kedua setelah Amerika Serikat (AS), dengan angka kasus baru 388.499 dan angka kematian harian mencapai 246.146.

 

Selama bulan puasa Ramadhan umat Islam telah melakukan ritual besar, yaitu siam (puasa) Ramadhan, plus semua rangkaian ibadah dan amal kebajikan lain, seperti shalat Tarawih dan shalat sunah lainnya, demikian juga tadarus Al-Quran.

 

Maka, di bulan Syawal mereka digolongkan oleh Allah sebagai orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri).

 

Idul Fitri ada karena adanya siam Ramadhan, dan tidak ada identitas fitri jika tidak ada pelaksanaan siam Ramadhan tersebut.

 

Kenapa umat Islam pada hari raya fitri dikembalikan ke fitrahnya? Karena selama Ramadhan hingga Syawal, semua karunia ditumpahkan oleh Allah kepada umat Islam. Paling tidak ada tujuh macam karunia itu.

 

Pertama, diturunkan rahmat pada putaran sepuluh hari pertama (al-’asyr al-awwal). Kedua, diberikan ampunan (magfirah) pada putaran sepuluh hari kedua atau pertengahan (al-’asyr al-ausath). Ketiga, dibebaskan dari siksa neraka, yang telah diturunkan pada putaran sepuluh hari terakhir (al-’asyr al-awakhir).

 

Keempat, diturunkan lailat al-qadar pada malam-malam ganjil yang nilainya lebih baik dari seribu bulan setara 83 usia manusia.

 

Kelima, pelaksanaan zakat fitrah, yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah manusia. Keenam, pahala puasa sunah enam hari Syawal, yang nilainya setara dengan puasa satu tahun. Ketujuh, halalbihalal, saling memaafkan di antara mereka yang dapat menghapus dosa antarsesama.

 

Larangan mudik

 

Dalam Idul Fitri, umat Islam memulai lembaran baru dengan mengisi amal-amal saleh. Tradisi silaturahmi, saling berkunjung ke sanak saudara, tetangga, dan kawan serta memuliakan tamu adalah perilaku positif yang diajarkan oleh Islam.

 

Umat Islam berlatih untuk tetap menjalankan kesabaran dalam berbagai hal karena orang sabar adalah kekasih Tuhan. Namun, saat ini, karena Idul Fitri masih dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, dan pemerintah telah memberlakukan kebijakan larangan mudik atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, orang kota tak dapat mudik seperti biasa.

 

Hanya saja, yang perlu diantisipasi oleh pemerintah juga, larangan mudik bagi orang-orang kota akan dimanfaatkan untuk berbelanja atau berekreasi di beberapa mal dan tempat-tempat wisata lain.

 

Di sinilah potensi untuk berkerumun dan mungkin berdesakan juga tidak dapat dielakkan. Kasus pelonjakan jumlah dan angka penyebaran Covid-19 di India karena pelonggaran peraturan yang diterapkan oleh pemerintah dan euforianya masyarakat harus menjadi pelajaran bersama.

 

Belajar dari pengalaman India tersebut, kita bangsa Indonesia harus taat asas dan mengikuti kebijakan pemerintah untuk menjaga keselamatan jiwa (hifdz al-nafs). Dalam kaidah Islam pun dinyatakan, ”menolak kerusakan (penyakit) harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan”.

 

Silaturahmi virtual

 

Tanpa mengurangi nilai silaturahmi sebagai sebuah tradisi yang baik bangsa ini, halalbihalal juga dapat dilakukan secara daring (online), bisa melalui Whatsapp (WA), pesan singkat (SMS), Facebook, Instagram, messenger, zoom, v-meet, dan sebagainya.

 

Karena implementasi dari iman dan ibadah ritual dalam ajaran Islam mesti berdampak nilai (impact value) terhadap kemanusiaan, seseorang belum diakui imannya sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.

 

Sebuah riwayat menceritakan bahwa suatu hari Nabi pernah bertanya kepada para sahabat, ”Tahukah kalian, siapakah yang disebut orang yang bangkrut (muflis) itu?” Para sahabat menjawab, ”Orang bangkrut adalah orang yang semua harta bendanya ludes.”

 

Kemudian Nabi menegaskan, ”Bukan, bukan itu yang disebut orang bangkrut itu. Orang bangkrut adalah orang yang saat menghadap Allah di hari kiamat dengan membawa pahala shalatnya, puasanya, zakatnya, dan hajinya, tetapi pada waktu hidup di dunia ia suka berbuat zalim (mengganggu saudaranya, tetangga, merampas hak orang lain) dan pada waktu meninggal belum sempat meminta maaf kepada mereka.”

 

Pada zaman modern ini, tradisi positif, seperti silaturahmi, yang telah dibangun orangtua kita dulu sudah semakin punah. Hal ini disebabkan kehidupan modern cenderung materialistis dan individualistis.

 

Orang bersedia berteman jika ada kepentingan kerja atau bisnis. Di kota-kota besar, misalnya, antara tetangga satu dan tetangga yang lain tidak saling mengenal karena rumah mereka sudah dibatasi oleh pagar dan dinding tembok yang tinggi.

 

Sebagaimana diramalkan oleh Alvin Toffler, zaman modern akan melahirkan manusia-manusia impersonal, manusia yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya.

 

Namun, beruntung, umat Islam masih memiliki tradisi yang baik yang perlu dilestarikan untuk mengatasi dampak modernisasi tersebut, seperti tadarus Al-Quran, tahlil dan yasin berjemaah, berzanji, dan diba’, menyelenggarakan majelis-majelis taklim, baik di tingkat RT maupun RW.

 

Tradisi tersebut merupakan salah satu bagian dari bentuk ukhuwah islamiyah, ukhuwah basyariyah dari sekian tradisi baik lainnya yang ada dalam ajaran Islam dan tradisi Islam Nusantara. Tradisi silaturahmi, saling berkunjung ke saudara, tetangga, dan kawan, memuliakan tamu, meski melalui media sosial, merupakan perilaku positif yang diajarkan Islam.

 

Bahkan Nabi menegaskan, jika seseorang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, ia harus menjalin silaturahmi.

 

Akhirnya, meski Lebaran tanpa disertai mudik, kita tetap menjaga silaturahmi, dan semoga ibadah puasa kita selama bulan Ramadhan berdampak pada kehidupan sehari-hari selama sebelas bulan ke depan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar