Idul
Fitri Tanpa Mudik M Zainuddin ; Guru Besar Sosiologi
Agama dan Wakil Rektor I Bidang Akademik UIN Maliki Malang |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Penyekatan arus lalu
lintas di sejumlah titik mudik pada hari pertama larangan mudik, Kamis
(6/5/2021), sudah diterapkan dengan tegas oleh pemerintah melalui Kementerian
Perhubungan dan Kepolisian Negara RI. Operasi Ketupat telah menurunkan
155.000 personel gabungan TNI-Polri. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah arus mudik dan mengantisipasi penyebaran baru Covid-19, yang selama
ini sudah berangsur-angsur menurun dan membaik. Ledakan kasus dan lonjakan
jumlah kematian akibat Covid-19 di India menjadi perhatian besar dunia dan
memberikan pelajaran penting bagi kita semua. Kita tidak boleh mengulang
kesalahan serupa dan hal ini sekaligus menjadi ujian solidaritas
bangsa-bangsa untuk saling membantu mengatasi pandemi yang sudah berjalan
setahun lebih. Sebagaimana dirilis oleh
Our World Data, kurva epidemiologi Covid-19 di India pada 16-17 September
2020 mencapai puncaknya dengan lebih dari 93.000 kasus per hari, dan pada 14
Februari 2021 terus mengalami penurunan hingga level terendah dengan 11.199
kasus per hari. Di hadapan para pemimpin
negara yang menghadiri Forum Ekonomi Dunia, pada Januari 2021, Perdana
Menteri India Narendra Modi mengekspresikan kepercayaan dirinya soal
infrastruktur kesehatan dan kesiapsiagaan India menghadapi Covid-19. Namun, keberhasilan India
itu hanya berlangsung hingga pertengahan Februari 2021. Setelah itu, kasus
baru perlahan meningkat, bahkan sejak Maret 2021 melesat dengan kurva
epidemiologi naik tajam akibat pemerintah pusat dan negara bagian
melonggarkan pembatasan dan protokol kesehatan. Pelonggaran pembatasan dan
protokol kesehatan itu membuat masyarakat berani melepas masker di ruang
publik dan melakukan ritual masif serta melaksanakan pemilu di lima negara
bagian. Akibatnya, kasus baru dan angka kematian melonjak tajam. Data Worldometers
menunjukkan, kasus Covid-19 di India per 10 Mei 2021 tercatat 22.662.410,
tertinggi kedua setelah Amerika Serikat (AS), dengan angka kasus baru 388.499
dan angka kematian harian mencapai 246.146. Selama bulan puasa
Ramadhan umat Islam telah melakukan ritual besar, yaitu siam (puasa)
Ramadhan, plus semua rangkaian ibadah dan amal kebajikan lain, seperti shalat
Tarawih dan shalat sunah lainnya, demikian juga tadarus Al-Quran. Maka, di bulan Syawal
mereka digolongkan oleh Allah sebagai orang yang mendapat kemenangan dan
kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri). Idul Fitri ada karena
adanya siam Ramadhan, dan tidak ada identitas fitri jika tidak ada
pelaksanaan siam Ramadhan tersebut. Kenapa umat Islam pada
hari raya fitri dikembalikan ke fitrahnya? Karena selama Ramadhan hingga Syawal,
semua karunia ditumpahkan oleh Allah kepada umat Islam. Paling tidak ada
tujuh macam karunia itu. Pertama, diturunkan rahmat
pada putaran sepuluh hari pertama (al-’asyr al-awwal). Kedua, diberikan
ampunan (magfirah) pada putaran sepuluh hari kedua atau pertengahan (al-’asyr
al-ausath). Ketiga, dibebaskan dari siksa neraka, yang telah diturunkan pada
putaran sepuluh hari terakhir (al-’asyr al-awakhir). Keempat, diturunkan lailat
al-qadar pada malam-malam ganjil yang nilainya lebih baik dari seribu bulan
setara 83 usia manusia. Kelima, pelaksanaan zakat
fitrah, yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah manusia.
Keenam, pahala puasa sunah enam hari Syawal, yang nilainya setara dengan
puasa satu tahun. Ketujuh, halalbihalal, saling memaafkan di antara mereka
yang dapat menghapus dosa antarsesama. Larangan
mudik Dalam Idul Fitri, umat
Islam memulai lembaran baru dengan mengisi amal-amal saleh. Tradisi
silaturahmi, saling berkunjung ke sanak saudara, tetangga, dan kawan serta
memuliakan tamu adalah perilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Umat Islam berlatih untuk
tetap menjalankan kesabaran dalam berbagai hal karena orang sabar adalah
kekasih Tuhan. Namun, saat ini, karena Idul Fitri masih dalam kondisi pandemi
Covid-19 yang belum juga berakhir, dan pemerintah telah memberlakukan
kebijakan larangan mudik atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat,
orang kota tak dapat mudik seperti biasa. Hanya saja, yang perlu
diantisipasi oleh pemerintah juga, larangan mudik bagi orang-orang kota akan
dimanfaatkan untuk berbelanja atau berekreasi di beberapa mal dan
tempat-tempat wisata lain. Di sinilah potensi untuk
berkerumun dan mungkin berdesakan juga tidak dapat dielakkan. Kasus
pelonjakan jumlah dan angka penyebaran Covid-19 di India karena pelonggaran
peraturan yang diterapkan oleh pemerintah dan euforianya masyarakat harus
menjadi pelajaran bersama. Belajar dari pengalaman
India tersebut, kita bangsa Indonesia harus taat asas dan mengikuti kebijakan
pemerintah untuk menjaga keselamatan jiwa (hifdz al-nafs). Dalam kaidah Islam
pun dinyatakan, ”menolak kerusakan (penyakit) harus didahulukan daripada
meraih kemaslahatan”. Silaturahmi
virtual Tanpa mengurangi nilai
silaturahmi sebagai sebuah tradisi yang baik bangsa ini, halalbihalal juga
dapat dilakukan secara daring (online), bisa melalui Whatsapp (WA), pesan
singkat (SMS), Facebook, Instagram, messenger, zoom, v-meet, dan sebagainya. Karena implementasi dari
iman dan ibadah ritual dalam ajaran Islam mesti berdampak nilai (impact
value) terhadap kemanusiaan, seseorang belum diakui imannya sebelum ia
mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Sebuah riwayat
menceritakan bahwa suatu hari Nabi pernah bertanya kepada para sahabat,
”Tahukah kalian, siapakah yang disebut orang yang bangkrut (muflis) itu?”
Para sahabat menjawab, ”Orang bangkrut adalah orang yang semua harta bendanya
ludes.” Kemudian Nabi menegaskan,
”Bukan, bukan itu yang disebut orang bangkrut itu. Orang bangkrut adalah
orang yang saat menghadap Allah di hari kiamat dengan membawa pahala
shalatnya, puasanya, zakatnya, dan hajinya, tetapi pada waktu hidup di dunia
ia suka berbuat zalim (mengganggu saudaranya, tetangga, merampas hak orang
lain) dan pada waktu meninggal belum sempat meminta maaf kepada mereka.” Pada zaman modern ini,
tradisi positif, seperti silaturahmi, yang telah dibangun orangtua kita dulu
sudah semakin punah. Hal ini disebabkan kehidupan modern cenderung
materialistis dan individualistis. Orang bersedia berteman
jika ada kepentingan kerja atau bisnis. Di kota-kota besar, misalnya, antara
tetangga satu dan tetangga yang lain tidak saling mengenal karena rumah
mereka sudah dibatasi oleh pagar dan dinding tembok yang tinggi. Sebagaimana diramalkan
oleh Alvin Toffler, zaman modern akan melahirkan manusia-manusia impersonal,
manusia yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya. Namun, beruntung, umat
Islam masih memiliki tradisi yang baik yang perlu dilestarikan untuk
mengatasi dampak modernisasi tersebut, seperti tadarus Al-Quran, tahlil dan
yasin berjemaah, berzanji, dan diba’, menyelenggarakan majelis-majelis
taklim, baik di tingkat RT maupun RW. Tradisi tersebut merupakan
salah satu bagian dari bentuk ukhuwah islamiyah, ukhuwah basyariyah dari
sekian tradisi baik lainnya yang ada dalam ajaran Islam dan tradisi Islam
Nusantara. Tradisi silaturahmi, saling berkunjung ke saudara, tetangga, dan
kawan, memuliakan tamu, meski melalui media sosial, merupakan perilaku
positif yang diajarkan Islam. Bahkan Nabi menegaskan,
jika seseorang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, ia harus
menjalin silaturahmi. Akhirnya, meski Lebaran tanpa disertai
mudik, kita tetap menjaga silaturahmi, dan semoga ibadah puasa kita selama
bulan Ramadhan berdampak pada kehidupan sehari-hari selama sebelas bulan ke
depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar