Rabu, 12 Mei 2021

 

Tumbuh Tanpa Berkembang

Enny Sri Hartati ;  Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance

KOMPAS, 11 Mei 2021

 

 

                                                           

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan,  ekonomi Indonesia masih terkontraksi 0,74 persen pada triwulan I-2021. Artinya, perekonomian masih berada dalam zona resesi. Apalagi, pertumbuhan triwulanan (qtq) kembali memburuk.

 

Sebenarnya pada triwulan III-2020, ekonomi sempat tumbuh positif 5,05 persen (qtq). Sayang, perbaikan itu tak berlanjut. Pada triwulan IV-2020 kembali minus 0,42 persen (qtq), bahkan pada triwulan I-2021 kontraksinya memburuk menjadi minus 0,96 persen (qtq).

 

Meski demikian, kontraksi secara tahunan (yoy) terus mengalami perbaikan dengan angka minus yang makin mengecil. Pertumbuhan secara tahunan (yoy) secara persisten terus mengalami perbaikan selama tahun 2020 hingga triwulan I-2021. Mulai dari kontraksi terdalam pada triwulan II sebesar minus 5,32 persen, terus membaik menjadi minus 3,49 persen (triwulan III), dan minus 2,19 persen (triwulan IV). Perbaikan tersebut terjadi baik secara sektoral maupun pengeluaran.

 

Secara rata-rata, semua sektor yang mengalami kontraksi sangat dalam pada triwulan II 2020 telah membaik. Setidaknya, secara statistik, kontraksi mengecil, termasuk pada sektor-sektor utama yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi. Sektor perdagangan dari minus 7,59 persen menjadi minus 1,23 persen. Sektor industri pengolahan dari minus 6,18 persen menjadi minus 1,38 persen. Juga sektor konstruksi dari minus 5,39 persen menjadi minus 0,79 persen.

 

Berbagai perbaikan angka statistik itu tentu menumbuhkan optimisme. Bahkan, pemerintah sangat yakin, pada triwulan II-2021 ekonomi akan tumbuh di kisaran 6,9-7,8 persen. Memang, secara statistik, target pertumbuhan positif di atas 4 persen akan cukup mudah.

 

Pasalnya, produk domestik bruto (PDB), atas dasar harga konstan 2010 pada triwulan II-2020, anjlok menjadi Rp 2.589,8 triliun. Pada triwulan I-2021, PDB telah kembali mencapai Rp 2.683,1 triliun.  Sementara PDB triwulan I-2020 sudah berada pada level Rp 2.703 triliun.

 

Tentu tidak sulit untuk mencapai target PDB pada triwulan II-2021 berada pada kisaran  Rp 2.703-an triliun. Dengan asumsi itu, ekonomi triwulan II-2021 sudah mampu tumbuh sekitar 4,28 persen. Walaupun sesungguhnya masih berada pada level yang sama seperti triwulan I-2020.

 

Artinya, terdapat pertumbuhan, tetapi pada level yang masih stagnan atau belum ada penambahan jumlah PDB. Bahkan, secara per kapita jelas mengalami penurunan jika hanya mampu tumbuh 4,38 persen (Rp 2.703-an triliun). Pasalnya, jumlah penduduk bertambah dari 269,6 juta orang  (2020) menjadi 271,4 juta orang (2021).

 

Dengan demikian, untuk mampu mengalami pemulihan ekonomi, pada triwulan II-2021 minimal harus tumbuh 5-6 persen. Persoalannya, jika masih terjadi penurunan pendapatan per kapita, tentu berimplikasi langsung terhadap daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama perekonomian.

 

Kendala krusial

 

Pemerintah memang telah menetapkan target pertumbuhan triwulan II-2021 pada kisaran 7 persen. Namun, terdapat sejumlah tantangan yang masih menjadi pekerjaan rumah. Pertama,  konsumsi rumah tangga justru masih tertekan, masih tumbuh  negatif 2,23 persen pada triwulan I-2021. Padahal, konsumsi pemerintah tumbuh 2,96 persen, apalagi ekspor dan impor masing-masing telah tumbuh positif 6,74 persen dan 5,27 persen.

 

Artinya, tren perbaikan kinerja makroekonomi tidak menyentuh sisi fundamental ekonomi, yaitu berdampak pada pemulihan daya beli masyarakat. Padahal, pemerintah telah merealisasikan anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 55 triliun pada triwulan I-2021, naik 16,5 persen. Ironisnya, konsumsi makanan dan minuman, selain restoran, masih negatif 2,31 persen, lebih buruk dibandingkan dengan triwulan IV-2020 yang negatif 1,39 persen.

 

Jika konsumsi kebutuhan dasar saja masih negatif, pemulihan daya beli untuk kebutuhan sekunder dan tersier tentu masih jauh dari harapan. Beberapa indikator yang mengonfirmasi masih lemahnya daya beli, antara lain, terlihat jelas dari data penjualan ritel. Sampai dengan triwulan I-20,21, hasil survei Bank Indonesia indeks penjualan ritel diperkirakan masih terkontraksi sekitar minus 17,2 persen (yoy).

 

Demikian juga angka inflasi di bawah 1,5 persen. Sementara itu, sekalipun indeks keyakinan konsumen pada Maret 2021  meningkat menjadi 93,4, keyakinan konsumen pada kondisi ekonomi saat ini (IKE) masih berada di level pesimistis, yaitu 72,6. Hal itu disebabkan persepsi terhadap ketersediaan lapangan kerja masih berada pada level 59,6.

 

Ramadhan dan Idul Fitri 2021 diharapkan mampu menjadi pengungkit ekonomi triwulan II-2021. Memang, pemerintah memastikan akan tetap memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada ASN dan TNI-Polri, termasuk gaji ke-13. Namun, perhitungan THR 2021, ASN hanya berdasarkan gaji pokok, tidak memasukkan tunjangan kinerja. Sementara gaji ke-13 baru dicairkan pada Juni 2021. Adapun THR karyawan swasta masih banyak yang terkendala keterbatasan kemampuan perusahaan.

 

Kedua, semakin minimnya lapangan kerja. Sekalipun investasi kontraksinya menurun menjadi minus 0,23 persen, investasi yang mulai masuk lebih didominasi oleh sektor-sektor jasa padat modal. Sementara sektor padat karya justru makin terpuruk.

 

Terlihat jelas pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi minus 13,28 persen. Demikian juga industri pengolahan tembakau juga minus 9,58 persen, industri bahan galian bukan logam minus 7,28 persen, serta industri alat angkutan minus 10,93 persen. Jika industri-industri yang notabene padat karya itu kontraksinya makin meningkat, tentu kian berisiko meningkatkan angka pengangguran.

 

Artinya, bisa menjadi percuma sekalipun Purchasing Manager Index (PMI) Indonesia naik ke level 54,6 pada April 2021. Sekalipun berada pada zona ekspansi, jika tidak berdampak pada penyediaan lapangan kerja, tetap sulit menuju pemulihan ekonomi.

 

Ketiga, pengabaian terhadap ”Mutiara Hitam”. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup resilien selama pandemi, tetap mampu tumbuh positif. Sayangnya, prestasi ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan petani, peternak, dan petambak. Harga gabah di tingkat petani per April 2021 mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir.

 

Ironisnya, di tengah pasokan melimpah, pemerintah sebelumnya justru mewacanakan untuk impor beras. Data BPS di 27 provinsi selama April 2021, harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 4.275 per kilogram. Turunnya harga GKP tentu berdampak pada anjloknya nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan hingga di bawah titik impas 100. NTP tanaman pangan pada Maret dan April 2021 masing-masing sebesar 97,39 dan 96,24. Artinya, indeks harga yang dibayarkan lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga yang diterima petani.

 

Jika kondisi ini terus dibiarkan, daya beli petani pasti juga terpuruk. Apalagi, awal Mei 2021 merupakan awal musim giling tebu dan produksi garam. Jika dengan alibi stabilisasi harga dalam rangka Lebaran, lantas terjadi lonjakan impor gula/garam yang tidak terkendali, ujung-ujungnya akan mengorbankan petani dan petambak karena terjadi kejatuhan harga di petani tebu dan petambak garam.

 

Selama ini, sektor pertanian menjadi contoh nyata, sektor yang terus tumbuh, tetapi kesejahteraan petani tidak pernah berkembang, growth without development. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar