Manisnya
Berlebaran dalam Sunyi Neli Triana ; Wartawan (Penulis
kolom “Catatan Urban”) Kompas |
KOMPAS, 15 Mei 2021
Puasa wajib di bulan
Ramadhan tuntas sudah, shalat Id dan membayar zakat fitrah ditunaikan, tak
lupa silaturahmi dan saling bermaafan dengan keluarga, handai tolan, serta
teman, ataupun kolega. Itu semua membuat Lebaran selalu menjadi momen
menyenangkan. Selebihnya, ini saatnya mengenakan baju santai dan menikmati
hari libur. Terbayang berada di Kota
Surakarta di Jawa Tengah, libur Lebaran berarti menyusuri jalanan kota.
Tradisi ngiras alias jajan di luar rumah menemukan waktu terbaiknya sepanjang
pagi sampai dini hari di kota yang lebih tenar dengan sebutan Solo ini. Berburu
sego liwet atau sego gudeg diselingi ketan bubuk dan jenang sumsum campur
jenang grendul sungguh nikmat. Coba juga menyantap soto gading, tengkleng,
dan pecel. Belum cukup. Mari,
lanjutkan singgah di antara sekian banyak warung dan restoran baru yang naik
daun. Oya, warung lawasan seperti angkringan atau hik dan warung susu murni
memiliki penggemarnya sendiri untuk nongkrong malam-malam. Asyik dan
menyenangkan, melambat dari aktivitas pada hari normal. Kala ”sumur” alias si susu
murni hangat dituangkan ke gelas bening yang baru saja jadi obyek juggling
para pengelola salah satu warung susu murni Shi-Jack yang memang jago
akrobat, sensasi rasa senang menjalari tubuh. Lanjutkan memanen rasa itu
dengan menyeruput susu lezat itu sambil menyantap pisang owol dan rupa-rupa
jajanan lain. Comot sekalian nasi bungkus kecil-kecil yang ada di sana.
Sempurna. Puff..., puff..., puff....
Sayang, gelembung-gelembung ingatan indah itu meletus sirna tergantikan oleh
kesadaran bahwa dua tahun terakhir tradisi mudik terhambat. Tahun depan pun
belum ada jaminan imajinasi indah pengalaman mudik seperti dulu kala bakal
dapat dirasakan. Sebagian warga urban patuh
tidak pulang kampung dalam dua kali Lebaran ini. Mereka memahami dirinya tak
terpisahkan dari dinamika kehidupan perkotaan yang berpotensi besar
bersinggungan dengan banyak setiap kali beraktivitas. Kota sejak dulu tempat
arus barang dan manusia datang dan pergi berganti-ganti setiap hari. Potensi
virus korona jenis baru hinggap pada diri kita atau salah satu barang kita
juga amat besar. Larangan mudik dari pemerintah dipatuhi sebagai bentuk
tanggung jawab pada diri sendiri, orang lain, dan pastinya pada negara. Masih
saja mudik Sayangnya, lagi, pada
tahun kedua pandemi membelenggu Indonesia, masih ada saja warga dengan
kesadaran rendah nekat melawan imbauan pemerintah. Apa daya, di luar masa
Lebaran saja, masih banyak penduduk kota yang enggan memakai masker dengan
benar, menjaga jarak, mencuci tangan, mengurangi mobilitas yang tidak
mendesak, dan menghindari kerumunan. Pemerintah juga seperti
berdiri gontai. Sedikit-sedikit goyah oleh keputusan yang kontra dengan
kebijakan yang diambil sebelumnya. Sekelilingnya tertutup kabut, mata tak
dapat melihat jauh, rentangan tangan meraba ruang hampa. Data, analisis, dan
saran dari para ahli yang masih bisa melihat sinar di tengah kabut sering
kali tidak diolah dengan baik. Tiba-tiba saja ada keputusan dan ”kaki”
diminta melangkah. Hasilnya, berkali-kali terjadi ledakan kasus, kewalahan
sana-sini, ekonomi tak juga meningkat, rakyat yang menderita kian banyak. Saat pemerintah kembali
melarang mudik tahun ini disertai penyekatan di banyak simpul akses
antarwilayah, tempat wisata ternyata diizinkan buka. Pasar dan pusat belanja
pun boleh beroperasi. Tidak heran jika kepadatan di fasilitas publik di dalam
kota tak terbendung. Di media massa konvensional sampai ke media sosial,
berbagi informasi dan kekhawatiran tentang potensi ledakan kasus seusai
Lebaran bertebaran didengungkan. Di lapangan, kerumunan terus muncul. Kelelahan psikologi
terkait pandemi atau pandemic fatigue disebut menjadi alasan ketidaktaatan
massal menjalankan protokol kesehatan. Di sisi lain, berbagai stimulus
penggerak ekonomi seperti bantuan langsung tunai (BLT) bagi yang terdampak
pandemi dan tunjangan hari raya (THR) beruntun cair siap dibelanjakan, siap
dibagikan kepada keluarga. Sebagian orang lainnya tak
beruntung mendapat BLT dan THR, sementara pekerjaan atau penghasilan layak
mungkin sudah tinggal kenangan yang menyulitkan mereka bertahan di kota.
Semua alasan itu bisa jadi membakar semangat kaum urban perantau untuk tetap
mudik. Kegiatan
ekonomi normal baru Ekonomi yang terguncang
akibat pandemi memang belum dapat teratasi dengan baik. Pemerintah berusaha
tetap optimistis dan melaporkan ada kenaikan tipis pertumbuhan ekonomi sejak
akhir tahun lalu hingga tiga bulan pertama 2021 ini. Namun, berbagai strategi
sepertinya belum membuahkan hasil maksimal di tengah berbagai pembatasan. Belum semua pekerjaan atau
usaha dapat berubah dijalankan dengan sistem daring dari rumah tiap
pekerjanya. Migrasi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam kancah usaha
daring (online) pun masih jauh dari tuntas. Bahkan, di perkotaan seperti
Jakarta dan sekitarnya, dengan melihat keramaian di pasar, di mal, di
jalan-jalan, jual beli konvensional secara tatap muka nyata masih tetap
mendominasi, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Masih perlu banyak gagasan
baru dan upaya-upaya baru agar dapat hijrah menjadi kegiatan ekonomi di era
normal baru sesuai dengan tuntutan perilaku saat sampai sesudah pandemi. Tiap
pemerintah daerah lewat dewan kerajinan nasional, dinas sosial, serta
instansi yang mengelola koperasi dan UMKM perlu melihat ulang potensi lokal,
pengemasan, dan pemasarannya di masa pagebluk ini. Dunia masih sama-sama
terbentang luas, hanya fisik yang harus saling berjarak. Peluang-peluang baru
ada, tinggal bagaimana menggalinya. Kebutuhan sehari-hari masih tetap harus
dipenuhi. Kebutuhan terkait perawatan kesehatan bagi si sakit ataupun untuk
menjaga yang lain tetap fit sudah pasti meningkat. Kita semua juga masih
butuh hiburan agar tidak terseret situasi dan menjadi ikut tertekan secara
psikologi. Pada 1998, ada imbauan
untuk menyumbang emas, selain menukar tabungan uang asing menjadi rupiah, memotong
gaji pegawai, dan menekan pembelian barang impor untuk membantu mengentaskan
Indonesia dari krisis moneter (Jajak Pendapat Kompas tentang Gerakan Cinta
Rupiah, 26 Januari 1998). Di masa sekarang,
inisiatif menggerakkan kalangan berpunya untuk berbagi kekayaan saat negara
membutuhkan bisa diwujudkan dengan lebih jelas bentuk dan sasarannya.
Bagaimana kalau kaum berada dijadikan target sebagai pasar khusus berbagai
produk terbatas dan berkelas? Keran wisatawan asing
belum jelas kapan dapat dibuka. Membanting harga tiket pesawat atau kereta
api dan melonggarkan aturan perjalanan hanya akan membuat orang tergerak
bepergian secara massal. Jadi, mengapa tidak membuka bubble pariwisata
domestik bagi masyarakat kelas atas? Upaya itu bisa dimulai
dari Jakarta-Bali. Kini, Bali termasuk daerah paling terpuruk perekonomiannya
karena industri pariwisatanya hancur. Jakarta di sisi lain, meskipun turut
terpukul pandemi, tetap menjadi pusat kekuatan ekonomi Indonesia. Jika upaya
itu berhasil, berikutnya bisa mencoba membuka poros gelembung dari kota
”kaya” lain dan alternatif destinasi lain dapat bertahap disiapkan. Paket wisata dikemas dalam
kelompok kecil. Kuota terbatas untuk setiap tempat pelesiran di Bali dengan
biaya yang pantas bagi setiap pelaku bisnis pariwisata untuk hidup
bermartabat. Upaya agar kalangan tajir
meneteskan pundi-pundi rezekinya ke kalangan di bawahnya dapat diterapkan
dalam memasarkan paket makanan khas daerah yang istimewa, hasil kerajinan
produk UMKM bernilai seni tinggi, barang-barang fungsional berkualitas
tinggi, seperti perawatan wajah serta tubuh, perawatan kesehatan tradisional,
hingga yang bisa dipakai sehari-hari di rumah. Semakin dipikirkan berbagai
potensi lain pasti akan bermunculan. Yang menyasar pasar massal
bagaimana? Menata kota agar makin adaptif terhadap ancaman pagebluk, termasuk
membangun alternatif tempat wisata dalam kota, selalu masuk opsi utama
dikembangkan. Taman kota yang tidak butuh biaya masuk atau wahana pelesiran
yang perlu merogoh kocek untuk menikmatinya sama-sama baik untuk menyehatkan
jiwa raga warga kota sekaligus menggeliatkan perekonomian. Namun, perlu
dipikirkan matang caranya agar tidak mengundang kerumunan di lapangan. Berbagai produk kebutuhan
sehari-hari selalu dapat diproduksi untuk banyak lapisan lini target
pemasaran. Gerakan masker kain ber-Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
beberapa waktu lalu diluncurkan adalah langkah baik. Sayangnya kurang
bergaung. Padahal, dengan SNI ini,
produksi masker kain akan menjadi sesuai kebutuhan harian masyarakat untuk
menahan virus korona baru tak masuk ke tubuh kita. Produsen yang bisa
memenuhi masker kain ber-SNI harus memenuhi kriteria tertentu dan ini menjadi
peluang tiap daerah untuk menggulirkan industri masker berkualitas baik yang
bisa dipakai ulang. Untuk masker medis pun
sama, standar SNI wajib diberlakukan dan pengawasan penuh tak boleh kendor.
Terkait peralatan medis ini menjadi peluang produsen skala besar bersamaan
dengan produk kesehatan lain yang permintaannya meningkat selama pandemi. Semakin digali, kian
banyak peluang ekonomi yang dapat dikembangkan. Protokol kesehatan pun bisa
menjadi panduan menekan risiko penularan Covid-19. Ide dari bawah di tingkat
daerah pun amat diperlukan, karena tidak semua kebijakan dari pusat cocok
untuk semua daerah. Bukan kendala lagi berkomunikasi dua arah antara pusat
dan daerah di era 4.0 menuju 5.0 ini. Normal baru butuh dirintis
dan dibentuk sedari awal. Tanpa upaya nyata yang efektif mewujudkan hidup
normal baru, pandemi dan semua dampaknya akan kian sulit diatasi. Jika itu
yang terjadi, Lebaran tanpa mudik atau tak bisa menyusuri kota asal masih
akan berlanjut. Masih ada waktu untuk berpikir jernih,
menghentikan kesalahan berulang, demi langkah yang lebih terarah. Di kala
merayakan Idul Fitri dan menikmati liburan tanpa mudik, berjarak dari hingar
bingar kumpul-kumpul secara fisik, berlebaran dalam sunyi tetap ada sisi
manisnya. Bersama menghabiskan waktu bersama keluarga atau saudara terdekat.
Dengan begitu, diharapkan dapat berbuah keselamatan dan kehidupan bersama
yang lebih baik. Selamat Idul Fitri.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar