Rabu, 12 Mei 2021

 

Ratapan Abadi di Afghanistan

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 11 Mei 2021

 

 

                                                           

Sebelum pasukan AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) diputuskan ditarik dari Afghanistan, kekerasan bersenjata sudah seperti  bagian dari kehidupan di negara itu. Setelah pasukan asing diumumkan ditarik dari negeri tersebut, kekerasan semakin intens dengan skala kebrutalan yang tak terbayangkan. Pelaku serangan sudah gelap mata, tak membedakan target militer atau sipil, dewasa atau anak-anak, laki-laki atau perempuan, lokasi pertempuran atau sekolah. Nyawa dan kehidupan seolah sudah tak ada harganya.

 

”Saya sudah tidak tahu lagi, negeri macam apa tempat kami tinggal ini,” ucap salah satu kerabat korban serangan bom di depan sekolah  Sayed ul Shuhada di Distrik Das-i-Barchi di pinggiran ibu kota Kabul, Sabtu (8/5/2021). Sedikitnya 68 orang, kebanyakan siswi dan perempuan remaja usia 12-20 tahun, tewas, serta 165 orang terluka. Pilihan tempat dan waktu peledakan, yakni saat para siswi keluar dari sekolah, memperkuat kekhawatiran bahwa kelompok-kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak, menjadi korban paling menderita akibat kekerasan di Afghanistan.

 

Masih terngiang ratapan itu, belum  kering air mata, dan belum sembuh duka akibat insiden itu, Senin (10/5) di Provinsi Zabul, wilayah selatan negara itu, ranjau jalan meledakkan bus, menewaskan  11 orang dan melukai 28 orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Senin dini hari, ledakan juga menghantam minibus di Provinsi Parwan, utara Kabul, menewaskan dua orang dan melukai sembilan orang. Ratapan demi ratapan terus bergema di Afghanistan, seolah itu abadi.

 

Kekerasan melonjak beberapa pekan terakhir setelah AS mengumumkan penarikan pasukannya dari Afghanistan paling lambat 11 September 2021. Penarikan pasukan ini bagian dari kesepakatan AS dan Taliban di Doha, Qatar, 2020. Dalam kesepakatan itu, AS meminta jaminan kepada Taliban bahwa Afghanistan tidak dijadikan pangkalan serangan-serangan teroris ke AS. Bagaimana Afghanistan? Diharapkan yang bertikai, terutama pemerintahan Presiden Ashraf Ghani dan Taliban, berdialog membentuk pemerintahan.

 

Namun, bukan dialog yang mengemuka, melainkan justru konflik, pertempuran, dan kekerasan. Berulang kali Taliban dibujuk kubu Ghani untuk duduk bersama merancang masa depan Afghanistan. Namun, tak ada tanda-tanda kelompok itu bersedia berdialog. Itu sebabnya, seperti dituduhkan Ghani dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs, 4 Mei 2021, Taliban terlihat lebih tertarik pada kekuasaan daripada perdamaian.

 

Jika jalan perdamaian  tampak suram, bagaimana meminimalkan kekerasan akibat penarikan pasukan asing? Melalui Twitter, Dubes China untuk Afghanistan Wang Yu melontarkan kritik bahwa hendaknya penarikan pasukan asing dilakukan secara bertanggung jawab agar tidak memantik kekacauan lebih besar, yang memicu penderitaan rakyat Afghanistan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar