Investasi
di Atas Inovasi Irsan A Pawennei ; Co-founder &
Advisor Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Presiden Joko Widodo pada
28 April 2021 resmi mengumumkan dua kementerian dengan nomenklatur baru dalam
reshuffle kedua Kabinet Indonesia Maju. Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) dinaikkan menjadi Kementerian Investasi. Kementerian Riset dan
Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dipecah, Kementerian Riset
dan Teknologi dilebur pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi (Kemendikbud Ristek). Keputusan ini sesuai
dengan Undang-Undang (UU) Kementerian Negara yang membatasi jumlah
kementerian. Urusan riset dan teknologi terpaksa harus ”dikorbankan” demi
adanya kementerian yang mengurusi kebijakan investasi. Walaupun pada hari
yang sama dilantik juga Kepala BRIN, kewenangan kementerian yang lebih besar
dibandingkan dengan badan mengindikasikan kurangnya perhatian terhadap riset. Di sisi lain, pemerintah
menaruh perhatian besar pada investasi yang diawali dengan adanya kementerian
koordinator yang mengatur urusan investasi, dan sekarang adanya Kementerian
Investasi. Kelembagaan ini didukung omnibus law UU No 11/2020 yang bertujuan
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi. Yang jadi pertanyaan,
apakah keputusan mengobarkan investasi dan mengorbankan riset inovasi ini
akan mengantar Indonesia jadi bangsa berpendapatan tinggi? Pendongkrak
daya saing Berdasarkan Global
Innovation Index (GII) 2020, salah satu aspek yang berpotensi jadi
pendongkrak posisi Indonesia yang masih berada di posisi ke-85 adalah terkait
riset. Aspek ini memiliki jumlah indikator kelemahan terbanyak, misalnya
gross expenditure on R&D di peringkat ke-85 dan global R&D companies
belum ada datanya. Kondisi ini menunjukkan
berbagai pihak masih menganggap inovasi sebagai faktor biaya yang mengurangi
keuntungan, bukan investasi yang berdampak positif terhadap ekonomi. Di sisi
kebijakan, posisi inovasi yang hendaknya dikategorikan sebagai investasi
sudah berlandaskan hukum dengan adanya UU No 11/2019 tentang Sistem Nasional
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang menyatakan iptek berkedudukan sebagai
modal dan investasi. Posisi ini diperkuat UU No
11/2020 tentang Cipta Kerja dengan adanya salah satu tujuan UU itu untuk
melakukan penyesuaian berbagai pengaturan agar berlandaskan iptek. Harapan
implementasi kebijakan ini sekarang berada di pundak BRIN. Sebagaimana disampaikan
Bambang Brodjonegoro saat menjabat Menteri Ristek/Kepala BRIN pada Kompas
(24/2/2021), inovasi sebagai arus utama roda perekonomian sehingga investasi
harus dikaitkan dengan inovasi. Walaupun BRIN tak punya
kewenangan kebijakan seperti halnya kementerian, sebagai lembaga yang
dibentuk berdasarkan UU, BRIN diharapkan dapat bekerja sama dengan
Kemendikbud Ristek dalam memperkuat ekosistem pengetahuan dan inovasi. Peran
utama BRIN mengintegrasikan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan
penerapan (litbangjirap), serta invensi dan inovasi. Tiga
aspek Dalam rangka menjalankan
fungsi integrasi dalam ekosistem pengetahuan dan inovasi, terdapat setidaknya
tiga aspek yang mendesak untuk dikoordinasikan, yaitu regulasi, kelembagaan,
dan pendanaan. Pertama, penetapan
peraturan pelaksana UU No 11/2019 yang harus terlaksana tahun ini. Terdapat
tiga peraturan pemerintah (PP) yang penting untuk dapat segera ditetapkan,
yaitu PP Penyelenggaraan Iptek, PP Rencana Induk Pemajuan Iptek, PP Sumber
Daya Iptek. Rencana induk pemajuan
iptek dapat menjadi acuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
2026-2045 yang akan menjadi warisan Presiden Jokowi pada akhir
pemerintahannya. Kedua, pengintegrasian
lembaga litbangjirap, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ke dalam BRIN. Sebaiknya
dapat dimulai dengan adanya perencanaan dan anggaran berupa project funding
berdasarkan tantangan (challenges) yang dikoordinasikan BRIN. Selain itu, perpanjangan
tangan BRIN di daerah juga perlu dioptimalkan dengan adanya Badan Riset dan
Inovasi Daerah (BRIDa). Ketiga, penambahan sumber
pendanaan. Kementerian Keuangan telah mengalokasikan nilai pokok dana abadi
litbangjirap sebesar Rp 4,9 triliun dengan prakiraan potensi hasil imbal
sekitar Rp 200 miliar yang dapat dimanfaatkan pada 2021. Dengan memerhatikan posisi
iptek sebagai investasi, keberadaan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) juga
bisa menjadi sumber pendanaan baru dan dapat menunjukkan tingginya perhatian
pemerintah terhadap riset dan inovasi. Saling
melengkapi Beberapa usulan tersebut
didasarkan pada prinsip bahwa suatu negara tidak harus menjadi negara maju
terlebih dahulu untuk berprestasi dalam inovasi. Hal ini terlihat dari GII
2020, yang memperlihatkan beberapa negara tetangga mampu meraih peringkat
pertama pada beberapa indikator, yaitu Thailand pada pendanaan R&D dari
swasta, serta Malaysia pada nilai ekspor teknologi tinggi. Peningkatan
kapasitas inovasi negara akan berdampak langsung terhadap daya saing dan
pertumbuhan ekonomi. Investasi dan inovasi bukan dua sisi mata
uang yang bertolak belakang, melainkan dua aspek yang saling melengkapi dan
tidak saling mengorbankan. Investasi memang katalis pertumbuhan ekonomi,
tetapi riset dan inovasi yang akan menjamin keberlanjutan eksistensi suatu
bangsa. Di sini pentingnya mengobarkan investasi yang seiring dengan
penguatan riset dan inovasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar