Berakhirnya
Perang Pasifik dan Kemerdekaan Indonesia Hasan Sadeli ; Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas
Indonesia |
DETIKNEWS, 16
Agustus 2021
Agustus 1945
adalah periode puncak yang menandai berakhirnya teater Perang Pasifik antara
pihak sekutu yang dipimpin Amerika Serikat (AS) melawan Jepang. Peristiwa
yang terus dikenang tertuju pada operasi pengeboman di dua kota, yakni
Hiroshima pada 6 Agustus dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang menewaskan dan
melukai ratusan ribu manusia. Selain itu, efek radiasi dari senjata nuklir
juga membekas dalam waktu yang lama. Pemandangan
mengerikan yang tidak tergambarkan itu membuat moril tentara Jepang runtuh
seketika. Padahal sebelumnya, pasukan Jepang dikenal selalu tampil
habis-habisan dalam setiap pertempuran. Mereka tidak segan untuk bunuh diri
dari pada harus menyerah. Pertempuran Saipan misalnya, dengan amat jelas
memperlihatkan watak pantang menyerah tentara Jepang. Pihak sekutu baru bisa
menaklukkan Jepang setelah melalui pertempuran selama berminggu-minggu. Buku berjudul
Perang Pasifik karya PK Ojong menyebutkan jumlah pasukan Jepang saat
pertempuran Saipan sebanyak tiga puluh dua ribu. Dari jumlah tersebut,
pasukan Jepang yang berhasil di tawan hanya kurang dari seribu tentara.
Sedangkan perang besar di Okinawa terkenal sebagai pertempuran dengan operasi
amfibi besar-besaran dan menghasilkan jumlah kematian yang tinggi. Dalam
pertempuran Okinawa, Jepang juga memperlihatkan strategi peperangan yang amat
brutal, yaitu taktik Kamikaze (serangan bunuh diri dengan pesawat). Lebih
dari 1000 pesawat dilibatkan dalam taktik tersebut. Sebenarnya masih banyak
pertempuran lain yang menjadi bagian dari rangkaian Perang Pasifik, seperti
pertempuran Iwo Jima, Midway, dan lainnya yang tidak akan cukup diringkas
dalam tulisan ini. Indonesia juga
tidak luput menjadi arena pementasan Perang Pasifik, dan bukan satu-satunya
wilayah di luar Jepang yang dijadikan area operasi pertempuran Pasifik.
Filipina, Papua Nugini, dan beberapa wilayah di kepulauan Pasifik juga tidak
luput dijadikan arena pertempuran. Fakta ini memperlihatkan bahwa Perang
Pasifik berlangsung secara berjilid-jilid, dengan cakupan operasi yang luas
yang tidak hanya terjadi di daratan, tetapi juga di lautan. Dijatuhkannya
bom di Hiroshima dan Nagasaki ialah konklusi untuk menutup jilid peperangan
tersebut. Jepang kemudian menyerah pada sekutu pada 15 Agustus 1945. Dampak bagi Indonesia Lalu apa
dampak menyerahnya Jepang untuk Indonesia? Sejujurnya, pertanyaan tersebut
kadang melahirkan jawaban yang menyedihkan. Orang yang tidak paham sejarah,
dengan mudah menebar analisis yang menyimpulkan bahwa kemerdekaan Indonesia
lebih besar dipengaruhi oleh menyerahnya Jepang terhadap sekutu. Bahkan tidak
sedikit di antaranya menyatakan kemerdekaan Indonesia ialah hadiah dari
Jepang atau pemberian pihak sekutu secara tidak langsung. Pernyataan itu
tentu terlalu dangkal, sepihak, dan yang paling fatal ialah menihiikan
heroisme para pahlawan. Alur sejarah tidak tunduk terhadap pola sederhana,
dan analogi parsial semacam itu. Bahwa terdapat pengaruh dari faktor luar
termasuk menyerahnya Jepang terhadap sekutu dalam Perang Pasifik, itu dapat
diterima. Tetapi menjadikannya sebagai sebab tunggal namanya over
simplifikasi. Jepang memang
menjanjikan kemerdekaan, tetapi bersifat semu-terselubung dengan harapan
rakyat Indonesia membantunya dalam Perang Pasifik. Janji-janji tersebut sudah
sering diutarakan sejak tahun 1944, dan nyatanya tidak satu pun yang menjadi
kenyataan. Sementara di
sisi lain, serangan pihak sekutu terhadap Jepang dalam Perang Pasifik sama
sekali tidak ditujukan untuk memerdekakan wilayah yang diduduki Jepang.
Bahkan ketika Belanda kembali berusaha untuk mengambil alih kekuasaannya di Indonesia,
pihak sekutu sama sekali bergeming. Jadi kedua asumsi yang menyatakan
"kemerdekaan hadiah dari Jepang" dan "kemerdekaan pemberian
sekutu" hanyalah asumsi yang menjauh dari fakta-fakta sejarah. Sekali lagi,
Indonesia memang memanfaatkan momentum kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik
untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan. Dan itu harus dipandang sebagai
bagian dari perjuangan yang brilian dan murni. Brilian,
karena setiap upaya yang ditempuh menuju proklamasi kemerdekaan tidak sampai
menimbulkan perpecahan, padalah di dalamnya terdapat dinamika antara golongan
muda yang dikomandoi Sukarni, Chairul Saleh, dkk dengan golongan
"setengah tua" yang digawangi Sukarno-Hatta. Perjuangan tersebut
juga murni, karena dalam prosesnya tidak terikat oleh janji, tekanan, serta
persetujuan dari pihak manapun, tidak terkecuali Jepang. Dan memang
demikianlah kenyataannya. Menyatukan Kepingan Perjuangan Kita harus
melihat sejarah perjuangan yang dilakukan oleh para pendahulu secara utuh dan
holistik. Jangan sampai ada bab yang tertinggal. Jangan pula melihat
kemerdekaan hanya melalui pendekatan temporalistik yang terpaku pada periode
lahirnya perasaan kebangsaan yang ditandai dengan sumpah pemuda sampai
sekitar periode proklamasi dikumandangkan. Karena sejarah
berlangsung dengan hukum sebab-akibat, maka lahirnya Sumpah Pemuda, lahirnya
nasionalisme, atau perasaan kebangsaan, adalah akibat dari persamaan nasib
(penderitaan) kehidupan di bawah campur tangan asing, yang kemudian
melahirkan gagasan untuk hidup dan berjuang bersama. Kita tentu
tidak ingin meletakkan perjuangan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu
seperti dalam Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), dan
peperangan sengit lain yang terjadi di berbagai daerah di Nusantara sebagai
perjuangan yang terpisah dari wacana sejarah nasional kita hari ini. Itu pun belum
termasuk perlawanan dan pertempuran kecil lain di berbagai daerah yang harus
terus digali dan dicatat untuk ditempatkan dalam gambar besar perjuangan
melawan hegemoni penjajah. Upaya-upaya tersebut, meskipun terjadi dalam aspek
temporal yang berbeda-beda, dan belum dilakukan dalam komando secara
terpusat, tetapi mengandung substansi yang sama, yakni sebagai ekspresi
kerinduan akan kehidupan merdeka, yang bebas dari bayang-bayang kolonialisme. Dengan kata
lain, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bukan peristiwa yang
berdiri sendiri, melainkan kelanjutan dari setiap upaya yang pernah dilakukan
pada masa lampau lewat berbagai pertempuran. Proklamasi kemerdekaan ialah
puncak kerinduan bangsa Indonesia akan kemerdekaan yang telah lama
diperjuangkan. Sejak itu,
untuk yang pertama kalinya dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia,
segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuatan asing hilang
secara tiba-tiba. (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern). Tetapi kondisi
tersebut juga tidak berlangsung lama. Musababnya ialah kedatangan sekutu
bersama Belanda yang hendak menegakkan kembali praktik kolonialnya. Indonesia
harus kembali melalui masa genting, termasuk harus mengalami peristiwa
pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Berbagai
peristiwa yang menyertai upaya mempertahankan kemerdekaan yang terhitung
sejak Oktober 1945 sampai Desember 1949 tersebut tidak hanya terjadi dalam
arena pertempuran fisik (Perang 10 November, Palagan Ambarawa, Peristiwa
Bandung Lautan Api, Serangan Umum 1 Maret 1949, Perang Puputan Margarana, dan
Medan Area), tetapi juga melalui upaya diplomasi di antaranya Perundingan
Linggarjati, Hoge Veluwe, Roem-Royen, Renville, dan dipuncaki oleh Konferensi
Meja Bundar (KMB). Tulisan
ringkas ini tentu tidak mampu untuk mencerminkan detail-detail mengenai
kompleksitas dan kesukaran perjuangan para pemimpin republik dalam merespons
kegentingan situasi yang terjadi saat itu. Bahkan beberapa pakar memilih
untuk fokus menyoroti bagian tertentu dalam periode perang kemerdekaan,
seperti yang ditemukan dalam buku karya Prof. R.Z Leirissa berjudul Kekuatan
Ketiga dan buku Renville karya Ide Anak Agung. Membaca
buku-buku tersebut membuat kita mengetahui tentang bagaimana strategi dan
kecermatan para pemimpin saat itu dalam melangkah dan mengambil keputusan.
Tetapi mendalaminya, tidak diragukan membuat suasana batin menjadi haru. Hal
ini karena di tengah segala keterbatasan dalam aspek persenjataan dan tekanan
situasi, para pemimpin republik saat itu tetap konsisten menunaikan janji
setia kepada proklamasi kemerdekaan.
● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5684161/berakhirnya-perang-pasifik-dan-kemerdekaan-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar