Merawat
Kebangsaan Kita Pontjo Sutowo ; Ketua Aliansi Kebangsaan, PembinaYSNB, Ketua
Umum FKPPI |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Bangunan
negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya
ikat tanah yang merenggang. Dengan
satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan
bisa saja mengalami proses likuefaksi (liquefaction) atau sirna ilang
kertaning bumi. Demikian Yudi Latif dalam tulisannya di Kompas, 11 Oktober
2018. Sementara,
The Fund For Peace dalam laporan pengukuran Indeks Negara Gagal atau Fragile
State Index 2021 masih menempatkan Indonesia masuk dalam kategori “warning”
sebagai negara gagal. Indonesia menduduki ranking 99 dari 179 negara dengan
skor 67,6. Banyak
pihak memang khawatir bahwa bangsa ini sedang mengalami perapuhan nilai-nilai
kebangsaannya. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen ini. Bahkan sampai
saat ini kita masih merasakan fenomena terpolarisasinya kelompok masyarakat
hanya karena perbedaan aspirasi politik. Saat
ini saja, ketika kita sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang dampaknya
begitu luas, semangat dan rasa kebangsaan kita kembali menghadapi ujian.
Terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan sering kali juga dipicu
oleh perilaku beberapa elite politik kita, yang justru menjadi faktor
pemecah-belah ketika mereka menggunakan sentimen primordial, seperti sentimen
suku dan agama, yang hidup di masyarakat, untuk memobilisasi dukungan dalam
pilpres dan pilkada. Politisasi
sentimen primordial seperti ini dalam banyak kasus membuat terbelahnya
kelompok masyarakat yang sangat tajam, sehingga pada eskalasi tertentu
berpotensi mengancam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang kita sepakati bersama
sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia. Menurut
analisa beberapa pakar terhadap temuan The Fund For Peace di atas, ada
sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada kategori
"warning" sebagai negara gagal. Antara lain karena
persoalan-persoalan budaya, seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman
(pluralitas) dan kebangsaan kita. Pancasila sebagai paradigma Upaya
memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa tentu harus selalu kita
perjuangkan agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses
transformasi menjadi “common domain” yang efektif menjaga keutuhan bangsa
kita yang majemuk. Menurut
Anderson dalam bukunya, National Integration in Indonesia (1989), ada
beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun
common domain bangsa Indonesia. Antara lain, kesamaan sejarah, kesamaan
atribut-atribut sosial budaya, saling ketergantungan antar daerah, dan
kehendak hidup bersama. Selain
faktor-faktor tersebut, menurut hemat saya, ada satu faktor penting yang kita
miliki sejak awal kemerdekaan, yaitu Pancasila sebagai “shared values” yang
bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi
struktur dan kultur, demi terwujudnya common domain ke-Indonesia-an kita,
tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Walaupun
bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan common domain
bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan kita, namun saat ini kita merasakan adanya
berbagai “paradoks” dalam realitas kebangsaan kita. Kita memiliki Pancasila
yang telah disepakati sebagai ideologi kebangsaan, namun kenyataannya kita
seakan menjauh darinya. Dalam
konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan kita, ada beberapa fenomena
yang menguatkan sinyalemen paradoksal tersebut. Antara lain, adalah
menguatnya politik identitas, politisasi sentimen primordial, terjadinya
pembelahan publik yang sangat tajam akibat pilkada, pilpres, dan lain-lain.
Oleh karena itu maka Pancasila harus terus didorong agar dijadikan sebagai paradigma
atau “kerangka operasional” dalam membangun kebangsaan Indonesia. Pendidikan yang tepat Guna
merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia maka
pembangunan ”ranah mental spiritual” melalui keandalan rezim “pendidikan dan
pengetahuan” sebagai agensi utamanya adalah sangat penting. Seperti
kata Yudi Latif dalam bukunya Pendidikan yang Berkebudayaan (2020),
“Pendidikan itu ibarat benih harapan. Manakala masyarakat dilanda kegelapan,
keterbelakangan, keterpurukan, kekacauan, sedang tidak tahu kunci solusinya,
maka sandaran pamungkasnya adalah pendidikan. Bila benih itu mendapatkan
pengairan, penerangan, dan perawatan jiwa yang baik, ia akan tumbuh jadi
pohon pengetahuan, kebijaksanaan, dan peradaban yang subur-luhur”. Oleh
karena itu, kita masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan
nasional sebagai upaya kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu
keluarga (pendidikan informal), masyarakat (pendidikan non-formal), dan
lembaga pendidikan formal. Tentu
menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sistem pendidikan nasional kita saat
ini sudah mampu berperan sebagai “agen transformasi sosial” dalam merawat
nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Karena kita
menyadari pendidikan yang ‘tidak-tepat’, tidak akan berperan dalam
pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa. Menyadari
begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi
kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk melalui “pendidikan yang
tepat”, maka kami merekomendasikan kurikulum terkait muatan pendidikan
nasional, yaitu yang menyangkut “Kebangsaan, Etika, dan Logika”, yang kami
sebut “Tri Matra”. Muatan
pendidikan tersebut juga pernah diusulkan oleh Aliansi Kebangsaan bersama
Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
(PPAD), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-putri TNI/Polri
(FKPPI), NU-Circle, dan mitra strategis lainnya melalui Naskah Akademik
sebagai masukan dalam pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas di DPR. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/merawat-kebangsaan-kita/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar