Pandemi,
Pahlawan, dan (Ilusi) Media Sosial Agus Salim Irsyadullah ; Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Pemimpin
Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat |
DETIKNEWS, 16
Agustus 2021
Apa yang biasa
dilakukan orang-orang ketika dalam kondisi darurat? Menelpon layanan 110
kepolisian? Menelpon layanan 118/119 ambulans? Atau menelepon layanan 113
petugas kebakaran? Barangkali
orang-orang terlalu gugup dan panik untuk memanggil layanan itu. Bisa jadi
tidak sempat. Orang-orang akan sibuk mencari pertolongan pertama menghadapi
kepanikan. Teman, keluarga, atau tetangga sekitar yang kita panggil. Tapi,
pertolongan pertama itu barangkali tidak ada. Selama kebijakan PPKM Darurat
dan juga kebijakan-kebijakan yang lalu (maupun yang akan datang) terkait
pandemi, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Kita telah terkurung dan
terjebak dalam satu ruangan dan dikacaukan ilusi yang sama. Kita merasakan
bagaimana kesulitan mencari sepeser rupiah. Beberapa dari kita bahkan hanya
bisa memainkan sendok dan piring kosong yang saling saut. Pikiran kita
terus dibayangi oleh tawa anak dan keluarga di rumah. Tak sampai hati rasanya
membayangkan tawa mereka berubah menjadi derai air mata. Bisakah kebutuhan
esok hari tercukupi? Itu sebuah pertanyaan menyayat hati. Kita
benar-benar dibuat chaos oleh pandemi. Kita sama-sama berjalan dalam labirin
keputusasaan. Belum genap seminggu, satu, dua, tiga, hingga empat orang
dikabarkan meninggal. Katanya, terkena Covid-19. Kita bertanya-tanya, siapa
gerangan pahlawan yang bisa menjadi penyelamat di tengah kekalutan seperti
ini? Jika kita
pernah mendengar cerita Don Quixote de La Mancha, kita mungkin bakal
ramai-ramai menyebut Alonzo Quinjano sebagai pahlawan. Bersama kuda peliharaannya
yang diberi nama Rocinante, dan seorang teman bernama Sancho Panza, mereka
berkelana dari desa ke desa menumpas kejahatan. Alonzo dikenal hebat dalam
menumpas kejahatan. Tak ada satu pun musuh yang lolos dari genggamannya.
Alonzo benar-benar menjadi pahlawan, bahkan mungkin dalam kondisi darurat
sekalipun. Kehebatan
Alonzo menumpas kejahatan dikemas apik oleh Miguel de Cervantes dalam satu
karya besar berjudul Don Quixote de La Mancha (1605). Buku yang disebut-sebut
sebagai karya fiksi terbaik sepanjang masa itu bercerita tentang lika-liku
hidup Alonzo Quinjano menjadi pahlawan. Alonzo membantu gadis-gadis yang
tersika, melawan para raksasa hingga melawan ketidakadilan. Tapi, apa
jadinya jika Miguel de Cervantes justru malah mengganyang cerita Alonzo
sebatas rekaan cerita dalam kepala? Akankah kita tetap menjadikan Alonzo
sebagai penyelamat kita? Mungkin tidak. Kita mengetahui Miguel de Cervantes
telah mempermalukan Alonzo dengan membuatnya terobsesi oleh romansa ksatria
tahun 1500-an. Alonzo yang
telah membaca banyak kisah dongeng tentang ksatria, kehilangan akal sehat dan
mengidap halusinasi. Kewarasan Alonzo alias Don Quixote terganggu akibat
terlalu banyak membaca. Ia tak mampu mengendalikan pikiran untuk membedakan
antara realita dan fantasi. Ia benar-benar pandai menghayal dan percaya bahwa
dirinya adalah sosok pahlawan dalam cerita. Alonzo telah menipu kita. Tapi tunggu.
Fantasi kisah epik Alonzo benar-benar membius kita. Beberapa dari kita
mungkin telah menyerupai Alonzo. Mereka berlomba menjadi pahlawan dan
menawarkan solusi atas krisis yang kita alami. Di sebuah ruang virtual,
orang-orang berbicara strategi. Mereka siap menjadi garda terdepan melawan
krisis ini. Di satu sisi,
kita telah berjalan cukup jauh mengarungi waktu. Tapi hingga saat ini, kita
tak diperlihatkan orang-orang itu berada di garda depan. Mereka seperti
pahlawan kesiangan. Mereka berdiri gagah memegang tombak di medan perang.
Tapi tak bisa berbuat banyak. Kita dibuat jengkel. Kita kecewa. Bahkan, kita
mungkin tak akan lagi percaya pada mereka. Pada akhirnya
kita dilanda keputusasaan. Pahlawan yang kita nantikan, tak bisa berbuat
banyak. Kita memutuskan meninggalkan pahlawan itu. Lalu, kembali berdiam di
ruang media sosial. Di sana, kita bisa hidup bebas. Tanpa takut terkena
virus. Tanpa takut anak kelaparan, dan tanpa dirundung kematian. Media sosial
adalah surga dunia bagi orang-orang yang putus asa. Kita tak perlu bekerja
keras mencari sesuatu yang sulit kita dapat di dunia realita. Media sosial
menawarkan seribu satu kebahagiaan. Kita bisa dengan mudah menjelajah
sudut-sudut dunia. Bertemu orang-orang baru dan berkenalan banyak orang tanpa
keraguan. Untuk setiap peristiwa dan keadaan, kita bisa membagikan dan
mengetahuinya di sini. Kita benar-benar saling terhubung. Tanpa sekat dan
diskriminasi. Kita benar-benar merayakan keputusasaan. Sebuah
perusahaan media asal Inggris, We Are
Social yang bekerja sama dengan Hootsuite dalam Digital 2021: The Latest
Insights Inti The State of Digital, merilis rata-rata orang Indonesia
menghabiskan tiga jam 14 menit sehari untuk mengakses media sosial. Kisaran
waktu tersebut menjadi kedua tertinggi di Asia, hanya di bawah Filipina yang
menghabiskan 3,8 jam. Negara-negara seperti Malaysia, Thailand, India,
Vietnam, dan Singapura bersinggungan dengan media sosial dalam kisaran dua
jam per hari. Sementara itu, Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan
sekitar satu jam per hari. Jepang menghabiskan waktu paling sedikit, yakni
hanya 46 menit setiap hari. Laporan ini
cukup untuk menandakan kita lebih nyaman menikmati dunia fantasi. Pandemi
memang memaksa orang mengandalkan internet. Di saat kita gelagapan mencari
cara bertahan melawan gempuran pandemi, dan pahlawan itu gagal, kita memilih
media sosial sebagai hunian baru. Kita mungkin berpikir itu akan menjadi cara
bertahan dan membuat imun kebal. Demi menjaga kesehatan dan kenyamanan, media
sosial menjadi alternatif lain di tengah kekalutan. Tapi tunggu,
nyatanya dugaan kita salah. Semakin banyak orang-orang dilanda kepanikan dan
keputusasaan, mereka bakal mencari tempat perlindungan yang nyaman. Dan itu
turut memicu kegaduhan media sosial semakin riuh. Di ruang-ruang yang
sebelumnya tanpa virus, kini mulai muncul. Virus ketidakwarasan, virus
kebencian, virus propaganda, dan sejumlah virus lain yang bahkan lebih
berbahaya. Kegaduhan yang
terjadi di media sosial ini mendapat sorotan tajam dari seorang filsuf Jerman
penganut Mazhab Frankfrut, Jurgen Habegrmas yang menyebut media sosial
sebagai ruang publik. Konsep ruang publik ini membuat penggunanya bebas
mengungkapkan gagasan, opini, hingga kritik secara bebas. Sayang, kebebasan
yang dikatakan Habermas kini benar-benar terbebas. Tanpa sekat. Ruang yang
semula nyaman itu tiba-tiba gaduh. Seruan
keputusasaan menggema di setiap sudut ruang media sosial. Kita yang dulu
membangga-banggakan media sosial, kini terjebak di dalamnya. Kita berjalan
dari satu pintu ke pintu lain. Namun pintu pembebasan tak kunjung menampakkan
diri. Kita tak bisa keluar. Anak kecil, dewasa, hingga orang tua kompak menyanyikan
keputusasaan. Sekarang,
setelah kita bertukar cawan untuk sebuah keputusasaan, kita tersadar.
Pahlawan itu tidak benar-benar hadir untuk menolong. Ia hanya berganti kostum
untuk kemudian disebut sebagai pahlawan. Percayalah, satu-satunya pahlawan
adalah diri kita sendiri. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5684060/pandemi-pahlawan-dan-ilusi-media-sosial |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar