Senin, 23 Agustus 2021

 

Inersia Politikus

Budi Darma ;  Sastrawan dan Guru Besar Emeritus Unesa

KOMPAS, 21 Agustus 2021 (1 Desember 2015)

 

 

                                                           

Tengoklah peristiwa ini: seorang laki-laki—panggil: Bejo—Bejo, jatuh cinta kepada seorang perempuan, Pawestri.

 

Karena jatuh cinta, Bejo berhasrat mendekati Pawestri. Dalam hati berjanjilah Bejo kepada dirinya, ”Besok sore saya akan ke rumah Pawestri, lalu dia akan saya ajak nonton film.” Waktu pun berjalan dan tibalah saatnya bagi Bejo memenuhi janji dalam hatinya. Ternyata Bejo punya alasan menunda rencana kunjungannya ke rumah Pawestri. Alasannya, saat akan berangkat ke rumah Pawestri, tiba-tiba perutnya sakit. Janji ditunda sampai hari berikutnya. Pada hari berikutnya, ketika tiba saatnya dia harus ke rumah Pawestri, tiba-tiba kepalanya pusing.

 

Janji kepada dirinya pun ditunda lagi. Keesokan hari, ketika dia akan berangkat ke rumah Pawestri, tiba-tiba dia sadar bahwa dia mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikan segera. Janji mengunjungi Pawestri pun ditunda lagi. Penundaan-penundaan semacam ini, inilah yang dinamakan inersia.

 

Selepas Perang Dunia I, inersia banyak melanda orang-orang kaya Amerika dan Eropa. Perang Dunia I telah merusak banyak tatanan masyarakat dan, akibatnya, masyarakat menjadi ”lumpuh.” Namun, ”kelumpuhan” ini relatif tak berlangsung lama. Tak lama setelah Perang Dunia I usai, industri tumbuh dengan ganas. Lahirlah banyak kelas orang kaya baru (OKB). Orang yang sebelum Perang Dunia I sudah kaya bertambah kaya.

 

Kendati kaya, mau tak mau secara tak sadar mereka tak bisa membebaskan diri dari trauma Perang Dunia I. Akibatnya, mereka menjadi, menurut istilah TS Eliot, the hollow men. Mereka adalah orang-orang hebat, hidup mereka serba gemerlap, tetapi pada hakikatnya mereka hanya orang-orang yang kosong, tanpa pegangan spiritual. Karena tak punya pegangan spiritual, mereka cenderung berfoya-foya dan berfoya-foya demi kepentingan berfoya-foya itu sendiri.

 

Kita dapat menduga bahwa para tokoh politik kita, khususnya yang kelas berat, bukanlah orang-orang yang miskin harta. Mereka bukan hanya sekadar hidup berkecukupan, melainkan lebih dari itu. Dari mana mereka memperoleh harta, kita tak tahu pasti, tetapi kira-kira karena mereka punya kesempatan mencari harta, baik halal maupun yang kehalalannya diragukan. Ini pulalah yang terjadi kepada orang-orang kaya, khususnya orang-orang kaya baru selepas Perang Dunia I. Karena itu, waktu itu ada istilah bootlegging.

 

Makna harfiah bootlegging adalah menyembunyikan barang, khususnya barang tak halal, ke dalam sepatu boot. Dengan demikian, ketika berjalan, termasuk waktu dia melewati batas negara, para petugas tak menaruh curiga. Karena itu, bootlegging identik dengan penyelundupan dan tindakan tak halal lain, misalnya menerima suap dan korupsi. Awalnya, bootlegging hanyalah penyelundupan kecil-kecilan, tetapi dalam perkembangannya bisa juga berarti penyelundupan besar-besaran atau juga perbuatan tak halal yang melanggar batas kewajaran.

 

Sangat mahir

 

Para bootlegger sangat mahir dalam melakukan penyelundupan dan tindakan tak halal. Dalam prinsip hidup mereka, tak ada kata inersia dalam mengeruk harta. Namun, dalam kasus yang sebetulnya merupakan kewajiban moral mereka untuk menyelesaikan kasus itu dengan cepat dan bijaksana, mereka adalah penderita inersia kelas ulung. Mereka cenderung menunda-nunda penyelesaian cepat dan bijaksana yang merupakan tanggung jawab moral mereka.

 

Mungkin ada bedanya antara inersia orang-orang culun dan para politisi kelas berat. Orang culun menderita inersia karena memang dia hanya mampu bermimpi tak mampu bertindak, sedangkan inersia politikus kelas berat mungkin dilandasi strategi dan taktik serba canggih. Menunda untuk kepentingan politik, menunda untuk keuntungan mereka. Apakah kepentingan mereka berkaitan dengan kepentingan rakyat tergantung tiap politikus kelas berat itu. Istilah the hollow men bagi orang culun mungkin terbatas kekosongan spiritual dan, bagi politikus kelas berat, mungkin istilah ini identik pula dengan tunamoral. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/budi-darma-inersia-politikus/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar