Senin, 23 Agustus 2021

 

Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia

Trias Kuncahyono ;  Wartawan Senior

KOMPAS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sejarah berulang di Afghanistan. Ibu kota Kabul, untuk kedua kalinya, jatuh ke tangan kelompok Taliban, hari Jumat (13/8/2021).

 

Pada 26 September 1996, kelompok oposisi bersenjata ini, merebut Kabul. Ketika itu, mereka menyingkirkan Presiden Burhanuddin Rabbani; sebelumnya mereka menggantung Presiden Mohammad Najibullah yang dicap sebagai bonekanya Uni Soviet.

 

Proses kejatuhan Kabul, beberapa hari lalu seperti mengulang yang terjadi pada 1996. Sebelum merebut Kabul, kelompok fundamentalis ini menguasai Kandahar. Dari Kandahar mereka bergerak ke utara merebut Kabul. Sekarang pun demikian. Jatuhnya Kabul, memaksa Presiden Ashraf Ghani meninggalkan Afghanistan mencari selamat. Dulu setelah merebut Kabul mereka memberi nama baru Afghanistan yakni Emirat Islam Afganistan. Demikian pula kini.

 

Setidaknya ada empat hal yang “mempermudah” Taliban merebut kembali Kabul. Pertama, pemerintah Karzai dan kemudian juga Ashraf Ghani dianggap tak efektif, tak mampu meningkatkan kualitas hidup, tak mampu menjamin keamanan bila tanpa bantuan AS dan NATO. Pemerintah Afghanistan digerogoti korupsi akut. Dalam Corruption Perceptions Index 2020, Afghanistan peringkat 165 dari 180 negara dengan skor 19.

 

Kedua, keputusan AS dan NATO penopang utama keamanan, menarik pasukan dari Afganistan. Pasukan AS secara penuh akan ditarik pada 11 September 2021. Ketiga, digelarnya perundingan perdamaian dengan AS, menjadi semacam alasan bagi Taliban memandang diri mereka sendiri dan AS sebagai pemegang kekuasaan riil di Afganistan. Apalagi, Taliban selalu mempertanyakan legitimasi dan kredibilitas pemerintah Kabul yang dibentuk dan dikontrol kekuatan asing (Felix Kuehn, 2018). Dengan kata lain, Taliban tidak menganggap pemerintah Kabul.

 

Keempat, lahirnya “generasi baru” Taliban atau yang sering disebut “neo-Taliban” pada 2002, yang berbeda dengan “Taliban lama” (1994-2001). Mereka melakukan adaptasi taktis dan strategis. Ideologi mereka pun mengalami evolusi. Mereka berusaha memoderasi kebijakannya dan menjadikan diri mereka sebagai gerakan kemerdekaan arus utama (Alia Brahimi; 2010).

 

Pertanyaannya, apa setelah menguasai Kabul dan mendirikan pemerintahan baru, mereka akan menerapkan kebijakan berdasarkan agama dengan sangat keras, kaku, dan ketat serta bertekad menyebarkan ideologinya ke seluruh Timur Tengah dan kawasan lain?

 

Dulu ketika berkuasa, Taliban melarang musik, televisi, radio, games, bentuk-bentuk hiburan lain. Mereka melarang wanita bekerja di luar rumah, melarang anak-anak perempuan bersekolah dan menutup sekolah, melarang kaum wanita keluar rumah kecuali ditemani oleh suami, ayah, saudara laki-laki, atau anak laki-laki. Di depan umum, wanita harus menutup seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki. Ini pengaruh Wahabisme, bukan adat Afganistan (Barfield, Thomas, 2008).

 

Para lelaki harus mengenakan turban, berjanggut panjang, rambut pendek, dan mengenakan pakaian tradisional shalwar kameez. Bila tak menaati dihukum. Taliban mengklaim bisa memulihkan perdamaian dan keamanan di Afghanistan setelah pendudukan Uni Soviet dan perang saudara, melalui penerapan hukum syariah yang ketat.

 

 “Neo-Taliban”

 

Taliban—bahasa Pashto, yang berarti murid atau siswa—muncul tahun 1980-an dalam bentuk front gerilyawan Taliban. Mereka bergabung dengan partai Mujahidin, Harakat-i Enqelab-i Islami (Gerakan Revolusi Islam) melawan pasukan pendudukan Uni Soviet (1979-1989). Tahun 1992 terlibat perang saudara (Antonio Giustozzi, 2011).

 

Dengan menggunakan nama Taliban (jamak dari talib) mereka ingin mengambil jarak dari politik Mujahidin dan mengisyaratkan mereka adalah gerakan untuk membersihkan masyarakat dan bukannya partai yang hanya mencari kekuasaan. Maka, tujuan didirikannya Taliban adalah untuk memulihkan perdamaian, menegakkan hukum syariah, dan mempertahankan karakter Islam Afganistan (Andrew R Smith, 2011).

 

Tetapi, kenyataannya pada November 1994, mereka menjadi gerakan fundamentalis dan muncul sebagai kekuatan politik dan militer. Mereka tak lagi menggunakan taktik gerilya, melainkan menjadi pasukan semi-reguler untuk melakukan pertempuran konvensional.

 

Gerakan ini beranggotakan para siswa, pemuda pedesaan etnis Pashtun (di Afghanistan Selatan dan Barat), berpendidikan rendah, miskin, yang sebagian besar direkrut dari kamp-kamp pengungsi dan sekolah agama, madrasah di Pakistan (Maryam Jami, 2020). Kelahiran kelompok ini mendapat dukungan Pakistan, yang berusaha mengamankan rute perdagangan ke Asia Tengah.

 

Setelah merebut Kabul (1996) mereka berkuasa hingga disingkirkan AS pada 2001. Meski kekuasaannya diruntuhkan AS, lewat Operation Enduring Freedom, mereka tak mati, hanya kehilangan kekuasaan. Mereka yang sebagian besar berasal dari suku Pashtun, dengan mudah menyelamatkan diri, karena mendiami dua wilayah sekaligus: Afghanistan dan wilayah barat-laut Pakistan.

 

Maka, ketika tersingkir dari Afghanistan, kelompok militan garis keras Taliban masuk ke kawasan Pegunungan Hindu Kush dan wilayah suku-suku di North Western Frontier Province (NWFP) Pakistan; sementara yang moderat bergabung dengan masyarakat hanya dengan memotong janggut dan tak lagi berjubah panjang (Shehzad H Qazi, 2011). Tetapi, pelan-pelan mereka berkumpul kembali dan mengonsolidasikan kekuatan di perbatasan Pakistan.

 

Mereka benar-benar menjadi “musuh dalam selimut.” Gerakan Taliban yang dimulai di Pakistan pada 2002 inilah, yang menjelma menjadi “neo-Taliban.” Mereka banyak berasal dari kelompok dan suku lokal Pakistan dari Federally Administered Tribal Areas (FATA).

 

Dengan pengecualian beberapa pemimpin kunci, sebagian besar “Taliban lama” awalnya tak bergabung dengan gerakan ini. Namun, kemudian bergabung kembali setelah usaha mereka bergabung dengan pemerintah Karzai tak dipedulikan.

 

Yang membedakan dengan “Taliban lama” adalah kelompok baru ini berasal dari unsur yang beragam, tak hanya “sisa-sisa laskar Taliban.” Mereka merekrut sekutu secara nasional. Dengan demikian, mereka menerima siapa saja yang memiliki pandangan sama terhadap pasukan pendudukan, pemerintah Kabul, dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan, tanpa memandang etnis dan suku, tak harus etnis Pashtun.

 

Karena itu, anggota “neo-Taliban” ini berasal dari grup-grup lokal, partai-partai politik, grup-grup jihad, komponen-komponen suku berbeda-beda. Maka Thomas Ruttig (2010) menyebut “secara organisasi, Taliban adalah jaringan dari jaringan.” Dalam rumusan lain, dapat dikatakan, “neo-Taliban” tidak lain adalah gerakan monolitik dan bersatu. Mereka bukanlah kelompok yang bersatu dengan satu visi untuk Afghanistan, tidak seperti Taliban tahun 1990-an.

 

Strategi perjuangan “neo-Taliban” pun meninggalkan strategi lama yang hanya mengandalkan pada kekuatan senjata. Mereka telah mengembangkan apa yang disebut sebagai “perang generasi keempat.” “Peperangan generasi keempat 'menggunakan semua jaringan yang tersedia—politik, ekonomi, sosial, dan militer. Itulah mengapa mereka mau, antara lain, berunding dengan AS.

 

Mereka memperbaharui taktik dan strategi perjuangan. Misalnya, membuat “outlet media yang canggih, yang memproduksi ribuan DVD dan rekaman-rekaman inspirasi. Taliban juga menggunakan situs web, stasiun radio FM dan email, serta para juru bicara mereka pun melayani wawancara dengan wartawan di Pakistan” (Andrew R Smith, 2011). Suatu hal yang ditabukan di masa lalu.

 

Yang juga membedakan dengan “Taliban lama” adalah sifat ideologis “neo-Taliban” dualistik, menampilkan struktur organisasi vertikal dalam bentuk supra-tribal dan supraetnik, Islamis, dan nasionalis. Namun, struktur horizontalnya tetap ditentukan oleh jaringan yang berakar pada masyarakat suku Pashtun. Mereka, “neo-Taliban” inilah yang beberapa hari silam merebut Kabul dan mendepak pemerintah lama dan mendirikan Emirat Islam Afghanistan.

 

Perlu diwaspadai

 

Keluwesannya—termasuk memperbaharui taktik dan strategi, serta memperluas komponen organisasi—menjadi faktor keberhasilan mereka merebut Kabul. Karena itu, perubahan taktik dan strategi dalam perjuangannya—menggunakan segala cara dan sarana termasuk teknologi komunikasi dan informasi modern— mesti diwaspadai termasuk oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, seperti NIIS dulu yang menggunakan teknologi komunikasi dan informasi modern untuk menyebarkan ajaran, ideologi, propaganda, juga rekrutmennya.

 

Dengan teknologi komunikasi dan informasi modern sekarang ini, mereka bisa dengan mudah menyebarkan fundamentalisme, ekstremisme dan talibanismenya ke mana saja, termasuk ke Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih mudah terpukau oleh hal-hal yang berbau atau dibungkus agama. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/afganistan-neo-taliban-indonesia/

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar