Senin, 23 Agustus 2021

 

Takut Merdeka

Limas Sutanto ;  Psikiater

KOMPAS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sungguhkah kebebasan menyenangkan? Ia dielu-elukan, tetapi banyak dihindari. Erich Fromm menjuduli bukunya pada 1941, Escape from Freedom; dalam kemerdekaan, orang-orang beramai-ramai meninggalkannya. Fromm meyakini, merdekanya manusia itu tatkala ia spontan mengekspresikan dirinya dan perbuatannya.

 

Merdeka atau bebas, adalah autentisitas, perwujudan pribadi seluruhnya dalam tindakan kreatif. Psikoanalis yang lahir di Frankfurt, Jerman, itu tidak khawatir hal ini bakal menjadikan kekacauan, karena ketulenan orang adalah akrabnya ia dengan kemanusiaannya. Suatu pengalaman yang memungkinkan dia mengerti dan menghargai kemanusiaan liyan, dan karena itu membisakannya berbagi dengannya.

 

Dalam merdeka ada keterhubungan mendalam, tak sekadar yang konvensional, antara diri dan orang lain. Kebebasan mengekspresikan seluruh diri, tindakan kreatif, keterhubungan mendalam melalui berbagi dan berdialog yang setara, adalah wujud-wujud kemerdekaan.

 

Ia bukan hanya “bebas dari”, freedom from; melainkan pula “merdeka untuk”, freedom to. Merdekanya orang Indonesia bukan hanya bebasnya dia dari penjajahan oleh pemerintahan kolonial asing, melainkan warga Indonesia yang mengejawantahkan seluruh dirinya dalam tindakan kreatif, penciptaan kebaharuan apa saja yang baik untuk dirinya, bagi liyan, dan juga buat dunia.

 

Tanggung jawab kemerdekaan

 

Sejak 17 Agustus 1945 hingga kini, itu tak serta-merta menjadi ada lantas menetap begitu saja, bukan yang taken for granted. Berpasang-surut; banyak surutnya, tatkala dalam sejarah ekspresi diri dan penciptaan dibajak segelintir pihak yang berkekuasaan.

 

Pernyataan diri warga negara yang setara, equal, tidak terhindar mengejawantah sebagai kehendak berdialog tajam, sebagai kritik, dibalas dengan otoritarianisme dan destruksi yang memaksakan kepatuhan, konformitas.

 

Fromm menyebutotoritarianisme, destructiveness, dan konformitas sebagai konsekuensi-konsekuensi larinya manusia dari kemerdekaan yang menakutkan. Ada takut merdeka. Khalayak ramai mengelu-elukan kebebasan, mengagumi proklamasi kemerdekaan, tanpa menyadari ia membawa kecemasan, die Angst vor der Freiheit.

 

Tanggung jawab kemerdekaan adalah ansietas dan rasa tak berdaya, anxiety and helplessness, yang mencekam; membikin mereka yang merayakannya melarikan diri, memeluk otoritarianisme, berbuat merusak unsur-unsur kehidupan yang terhayati tak dapat dikontrol, dan menuntut ketaatan nir-kekritisan.

 

Menemukan, menciptakan, penguasa yang tidak takut tak bisa mengontrol pihak-pihak lain, yang dapat mengganti potensi kecemasannya dengan keberanian berdialog bernas dan mendengarkan, dan menerima kritik, adalah keperluan yang penting untuk menjadikan kemerdekaan hidup.

 

Mendengarkan ini tidak menafsirkan, menampung banyak sekali sampai melahirkan mengerti dan menerima yang lega. Prosesnya digambarkan oleh Freud, “mendengarkan yang melayang-layang”, secara equal, tidak buru-buru menyimpulkan, evenly suspended, atau evenly hovering.

 

Bion menggambarkannya sebagai “mendengarkan saja tanpa mengingat maupun menghendaki”, to listen without memory or desire. Untuk sementara bisa disisihkan dulu keperluan hadirnya warga negara pemberani yang siap kesakitan, karena adanya mereka akan banyak difasilitasi oleh beradanya penguasa berkarakteristik seperti demikian. Pemilihan dalam demokrasi katanya disediakan. Ia bisa digunakan untuk keperluan itu.

 

Rekam jejak dipercayai menceritakan pribadi, apakah ke depan, nanti, seseorang bakal melarikan diri dari kebebasan, untuk menjadi penguasa otoritarian yang tidak enggan merusak “lawan” yang terasa sulit dikendalikan dan memaksakan ketaatan, meniadakan dialog tajam, menutup telinga terhadap suara kritis.

 

Tak bermain-main dengan the history of the person, itu perlu. Ungkapan “Itu kan dulu, sekarang sudah berubah”, hampir selalu merupakan dalih belaka, dalam psikodinamika disebut rasionalisasi, suatu jenis menipu dengan memanfaatkan uraian yang seperti masuk akal bagi diri yang lebih banyak irasional ketimbang bening bernalar.

 

Sederhana itu jujur, maka tinggal dengan sederhana membaca rekam jejak tanpa banyak ilmu, tidak dengan prakonsepsi maupun prasangka. Lihat saja riwayat itu, begitu saja, maka akan terhayati siapakah sang pribadi.

 

Hal yang perlu adalah kerajinan mencari, mengumpulkan data, referensi, dalam diam, sebanyak mungkin. Kelambanan menghimpun data akan menyesatkan.

 

Tak hadir

 

Merayakan proklamasi kemerdekaan saat ini, mengharukan, karena kebebasan yang sudah diumumkan itu di hari-hari ini tidak terasa hadir dalam ekspresi autentik pribadi manusia yang mengejawantahkan dialog, mendengarkan, dan belum dalam tindakan kreatif untuk menghentikan penularan Covid-19 dengan signifikan.

 

Setiap hari berdatangan berita duka, ada saudara dan kenalan yang sakit, yang mati. Ova Emilia dalam artikelnya (Kompas, 9/8/2021) menyebut 598 orang dokter telah gugur sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia.

 

Mengelukan kemerdekaan dalam kesedihan mendalam, sebuah ironi nyata di sini, kini. Kesempatan yang masih ada perlu dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh menjawab tragedi dengan merdeka. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/mengelukan-kemerdekaan-dalam-kecemasan/

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar