Senin, 23 Agustus 2021

 

Mengenang Kota Kabul Saat Taliban Berkuasa Tahun 1997

Musthafa Abd Rahman ;  Wartawan Kompas di Kairo, Mesir

KOMPAS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

Jatuhnya kembali kota Kabul ke tangan Taliban pada Minggu (15/8/2021) segera mengingatkan kembali ketika penulis melakukan kunjungan pertama ke ibu kota Afghanistan itu pada 27 Maret 1997 yang saat itu juga di bawah kekuasaan Taliban.

 

Kunjungan kedua ke Kabul dilakukan pada awal tahun 2002, saat kota Kabul sudah lepas dari tangan Taliban, menyusul invasi AS ke Afghanistan setelah  serangan teroris atas kota New York dan Washington DC pada 11 September 2001.

 

Saat itu, pada 1997, berita tentang keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan dalam waktu singkat masih menghiasi media-media internasional. Dunia tercengang dan sekaligus heboh, Taliban yang baru didirikan tahun 1994 di Kandahar mampu memukul mundur pasukan Mujahidin pimpinan panglima legendaris, Ahmed Shah Masood, dari Kabul pada 1996.

 

Padahal, pasukan Mujahidin yang lain dari Hezb-i-Islami pimpinan Gulbuddin Hekmatyar tidak mampu memukul mundur setapak pun pasukan Ahmed Shah Masood dari kota Kabul dalam pertempuran selama hampir empat tahun (1992-1996).

 

Saat itu, seusai meliput konferensi tingkat tinggi (KTT) darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Islamabad, Pakistan, pada Maret 1997, segera dirasakan negeri Afghanistan yang baru enam bulan jatuh ke tangan Taliban sudah di ambang pintu.

 

Berkat bantuan KBRI Islamabad, penulis berhasil mendapat visa dari kedubes Afghanistan di ibu kota Pakistan itu. Kebetulan saat itu ada dua diplomat Indonesia di Afghanistan yang mengungsi ke New Delhi, India, mau masuk ke Afghanistan untuk menengok gedung KBRI di Kabul. Kami bertiga, saya dan dua diplomat Indonesia tersebut, lalu berangkat menuju Afghanistan pada pagi hari, 27 Maret 1997.

 

Hanya sekitar dua jam sejak meluncur dari kota Islamabad, kami sudah sampai di Torkham, pintu gerbang perbatasan Pakistan-Afghanistan. Hanya beberapa saat setelah itu, urusan imigrasi di Torkham sudah selesai dan kami melanjutkan perjalanan ke Kabul.

 

Tentu dalam perjalanan saat itu, sesuatu yang ada dalam benak pikiran adalah ingin segera sampai ke kota Kabul untuk melihat langsung kehidupan kota setelah enam bulan berada di bawah kontrol Taliban. Setelah melalui perjalanan darat panjang dan berat selama 14 jam dari Islamabad ke Kabul, pada malam hari 27 Maret 1997, penulis dan dua diplomat Indonesia tiba di ibu kota Afghanistan itu.

 

Hanya pancaran sayup-sayup dari sinar lampu lilin di balik jendela rumah-rumah penduduk yang didapat penulis ketika memasuki Kabul pada malam itu. ”Kota Kabul gelap gulita seperti ini, sudah kami alami sejak tahun 1993,” ujar salah seorang diplomat yang sudah empat tahun bertugas di Kabul kepada penulis yang berada di satu taksi dari Islamabad ke Kabul.

 

Malam pertama di Kabul terpaksa dilewati dengan pikiran tentang penderitaan rakyat Afghanistan yang harus hidup sekian tahun tanpa penerangan lampu. Tak terasa suasana pagi hari di Kota Kabul pun tiba. Segera terlihat keindahan alam Kabul yang dikelilingi perbukitan dengan sisa salju warna putih di puncak-puncak perbukitan.

 

Maklum, bulan Maret adalah musim transisi di Afghanistan  dari musim dingin ke musim semi sehingga sisa salju warna putih masih terlihat cukup mencolok di perbukitan sekitar kota. Terlintas dalam pikiran betapa indahnya negeri ini jika tidak tercabik-cabik oleh perang berkepanjangan sejak era pendudukan Uni Soviet (1979-1989).

 

Konon, Kabul dengan cuaca yang sejuk sebelum era pendudukan Uni Soviet menjadi tempat idola peristirahatan orang-orang Pakistan pada musim panas. Namun, keindahan alam kota itu tidak berbanding lurus dengan kehidupan yang sangat menoton dan bahkan primitif saat itu.

 

Kebetulan hari Jumat, 28 Maret 1997, merupakan hari libur resmi di Afghanistan. Jalan-jalan kota tampak lengang, tak ada hiruk-pikuk lalu lintas kendaraan. Pemandangan yang mencolok hanya sepeda-sepeda yang ditunggangi oleh warga Afghan yang rata-rata sudah lanjut usia dan berjenggot panjang.

 

Sesekali terlihat kaum perempuan Afghan yang berpakaian burka (pakaian yang menutupi seluruh tubuh). Lagu-lagu masih sempat terdengar dari dalam taksi yang sedang lewat, tetapi cuma suara-suara tanpa diringi musik.

 

”Assalamu alaikum... assalamu alaikum... Bismillah… bismillah…. Ini suara di tape recorder di mobil yang harus sering dibunyikan sekarang,” kata Bahtiar yang merupakan pegawai lokal KBRI Kabul.

 

Meski demikian, keamanan pada masa Taliban dirasakan sangat baik. Tak terlihat satu pun penduduk sipil yang menyandang senjata api atau tubuhnya diikat dengan sabuk peluru seperti yang sering terlihat pada foto-foto para Mujahidin di media cetak dan stasiun televisi internasional. Pemerintah Taliban rupanya sudah melucuti semua senjata dari warga sipil Afghan.

 

Kini, bagaimana melihat kehidupan kota Kabul dan negeri Afghanistan pada era kekuasaan Taliban jilid 2 yang dimulai pada 15 Agustus 2021?

 

Rentang waktu yang panjang, yakni hampir seperempat abad, antara jarak kekuasaan Taliban pertama di Kabul pada tahun 1997 dan kekuasaan Taliban kedua di kota itu pada 2021, membersitkan pertanyaan tentang corak kehidupan ibu kota Afghanistan itu antara dua masa yang berbeda, tapi di bawah rezim yang sama.

 

Dunia kini gelisah dan bertanya, apakah kehidupan Kota Kabul dan negeri Afghanistan setelah kembali dikuasai Taliban akan kembali ke belakang seperti Kabul dan negeri Afghanistan pada seperembad abad yang lalu saat Taliban berkuasa di negeri itu (1996-2001).

 

Rentang waktu seperempat abad adalah waktu yang cukup panjang. Secara alamiah perjalanan manusia dan suatu wilayah dengan rentang waktu sepanjang itu, pasti ada perubahan.

 

Tentu terlalu dini menilai kehidupan Kabul dan negeri Afghanistan saat ini karena Taliban baru beberapa hari berkuasa lagi di negeri itu. Taliban saat ini pasti lebih fokus melakukan konsolidasi untuk menciptakan stabilitas keamanan di dalam negeri dalam upaya memperkuat kekuasaannya.

 

Harapan besar tentu Afghanistan tidak kembali ke belakang seperti seperempat abad lalu. Kota Kabul dan Afghanistan hendaknya bisa lebih maju dan modern, seperti negara-negara tetangganya, Pakistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Kazakhstan.

 

Harapan kini tertuju pada para pemimpin Taliban baru yang masih muda dan  notabene dari generasi kedua Taliban setelah era pendiri, Mullah Mohammed Omar.

 

Dalam jajaran pimpinan Taliban kini ada pemimpin tertinggi Taliban yang merupakan penerus Mullah Mohammed Omar yang meninggal tahun 2013, yaitu Mullah Hibatullah Akhundzada (60), Abdul Ghani Baradar (53), Sirajuddin Haqqani (48), Mullah Amir Khan Muttaqi (51), dan Mullah Mohammad Yaqoob (31).

 

Masih butuh waktu lagi untuk bisa mengambil kesimpulan tentang wajah baru Kabul dan Afghanistan pada era jilid 2 kekuasaan Taliban. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/08/20/mengenang-kota-kabul-saat-taliban-berkuasa-tahun-1997/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar