Memaknai
Pengorbanan Diri Toto TIS Suparto ; Penulis Filsafat Moral |
KOMPAS, 19 Agustus 2021
Selalu
ada pengorbanan pada berbagai tempat dan di setiap waktu. Sewaktu negeri ini berjuang
meraih kemerdekaan, pengorbanan para pejuang tak terkira nilainya. Sewaktu
Ibu Pertiwi bersedih karena pandemi Covid-19 berkepanjangan, pengorbanan
garda terdepan tiada henti tanpa mengenal lelah, bahkan berkorban nyawa. Angka-angka
duka berkejaran saban hari. Di antara angka duka itu, terdapat nama-nama
garda terdepan yang dipanggil Sang Khalik. Satu per satu dokter terbaik
berguguran. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan lelayu periode Maret
2020 sampai Juli 2021 tercatat 545 dokter wafat akibat terpapar virus korona.
Selain dokter, LaporCovid melaporkan 373 perawat, 208 bidan, 46 dokter gigi,
dan 32 ahli teknologi laboratorium medik meninggal karena terpapar Covid-19. Mereka
bersama dengan 110.619 orang lainnya (data per 10 Agustus 2021) pulang ke
pangkuan Ilahi tanpa peluk pisah keluarga. Tak ada taburan bunga dari kolega.
Isak tangis pun hanya sayup-sayup terdengar jauh dari pusara. Hanya beberapa
petugas mengenakan alat pelindung diri (APD) yang melepas kepulangan itu.
Namun mereka tetap terukir di segenap sanubari masyarakat Indonesia sebagai
pejuang dengan berbagai bentuk pengorbanan diri. Kepentingan lebih luas Pejuang
kemerdekaan ataupun pejuang Covid-19, dalam hal pengorbanan diri merelakan
sesuatu yang berharga pada dirinya, entah itu berupa harta, tenaga, pikiran,
waktu, bahkan nyawa, untuk diberikan kepada orang lain demi kebahagiaan orang
lain. Di sini ada pengorbanan kesenangan atau kepuasan diri demi mendapatkan
kesenangan dan kepuasan lebih besar di masa depan. Secara
individu, para dokter dan perawat mencapai kepuasan diri bilamana imun
meningkat demi bekerja sesuai tupoksi yang ditetapkan. Semestinya itu sudah
cukup. Mereka menjalankan tugas, hasil akhir ada di luar kemampuan mereka. Namun
banyak di antara mereka tidak sekadar berkutat pada kepuasan diri. Mereka
mengorbankan kepuasannya demi kepentingan umum yang lebih besar, semisal bisa
menyembuhkan sebanyak mungkin korban yang terpapar Covid-19. Inilah
personifikasi pejuang; kesediaan berbuat, berjuang, dan berkorban bagi
kemanusiaan serta nilai-nilai luhur yang universal. Pejuang
itu memang tidak pernah berucap, tetapi bertindak dan dalam tindakan mereka
seolah ada pesan: ”Saya harus menentang diri (saya) di sini dengan mengatakan
bahwa memandang pengorbanan diri pada hakikatnya merupakan sarana yang sering
kali diperlukan untuk mengembangkan tujuan kebahagiaan dan kesejahteraan
maksimal bagi seluruh masyarakat” ( Henry Hazlitt, 2003:148). Tindakan
pengorbanan diri acap mengundang rasa hormat orang lain. Seperti ucapan
seorang perempuan eksekutif : ”Para nakes (tenaga kesehatan) ini berada di
garis depan memerangi pandemik global setiap hari dengan mempertaruhkan hidup
mereka untuk menyelamatkan orang lain. Meskipun mereka mungkin tidak melihat
diri mereka sendiri sebagai orang yang hebat, namun, kami melihat
kepahlawanan itu.” Pengorbanan di masa pandemi Ucapan
itu kenyataan. Kita melihat dan kita memperoleh pelajaran berharga. Makna
pengorbanan diri itu bisa menjadi pembelajaran kita bersama. Kita pun bisa berkorban
sekecil apa pun. Ini yang selayaknya kita lakukan dengan ketulusan diri. Kita
mungkin dalam pengorbanan diri yang sederhana, lebih pada bagaimana seseorang
mau berbuat dengan kesanggupannya untuk mendahulukan kepentingan orang lain
daripada kepentingan sendiri. Mendahulukan kepentingan orang lain adalah
pengorbanan diri. Di
sinilah diperlukan ketulusan saat seseorang memutuskan untuk mendahulukan
kepentingan orang lain. Di sini pula pertimbangan untung rugi dikalkulasi
dengan sebuah kepasrahan kepada Sang Pencipta. Ia punya keyakinan, saat
menabur benih kebaikan dalam kehidupannya, maka yakin Sang Pencipta akan
memberikan buah kenikmatan. Keyakinan ini akan menjadi kekuatan untuk
mengoptimalkan potensi hati, akal, ataupun jasmani bagi pengorbanan diri. Pada
masa pembatasan, apa pun istilahnya, seorang pemilik toko (bisa) melakukan
pengorbanan diri demi kepentingan orang banyak. Kepentingan diri disisihkan
dengan langkah konkret mengikuti aturan mengurangi jam operasional.
Akibatnya, pendapatan berkurang. Meski berkurang, kerelaan mengikuti aturan
pemerintah merupakan kelebihan seseorang. Ia telah mewujudkan pengorbanan
diri. Kita
juga tengah melakukan pengorbanan diri saat mengikuti kebijakan pembatasan
ataupun menaati prokes. Perjalanan bisnis, misalkan, tertunda demi menekan
mobilitas. Hobi jalan-jalan juga mesti dikendalikan karena anjuran di rumah
saja. Pendek
kata, selama pandemi berkepanjangan ini dibutuhkan pengorbanan diri agar
badai korona cepat berlalu. Kenyataannya, pengorbanan diri tidaklah mudah.
Lihat saja, fakta mengungkapkan masih banyak anggota masyarakat mendahulukan
kepentingannya sendiri tanpa memperhitungkan kepentingan bersama. Maka yang
kemudian terjadi adalah sebagian masyarakat yang menolak vaksin, masih senang
keluyuran di luar rumah, bikin hajatan, mengundang kerumunan, dan dengan
gagahnya tampil tanpa masker di ruang publik. Semoga
Agustus ini, walau tanpa perayaan meriah, tetap memberikan perenungan kepada
kita tentang makna pengorbanan diri. Dari perenungan itu timbullah dorongan
untuk bertindak dengan pengorbanan diri, sesederhana apa pun. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/memaknai-pengorbanan-diri/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar