Senin, 23 Agustus 2021

 

Tidak Sampai 24 Jam

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 21 Agustus 2021

 

 

                                                           

Minggu, 15 Agustus 2021. Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menteri Kesehatan. ”Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini. Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran Rp 450.000-Rp 550.000,” kata Presiden melalui Youtube Sekretariat Presiden.

 

Presiden memberi arahan menyusul kritik mahalnya harga tes reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) dibandingkan dengan negara lain, khususnya India. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menetapkan batas atas tarif PCR Rp 900.000. Tarif tersebut sudah lebih dari satu setengah tahun berlaku.

 

Senin, 16 Agustus 2021. Tak sampai 24 jam setelah arahan Presiden, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran tarif tertinggi PCR yang berlaku per 17 Agustus 2021. Batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR di Jawa dan Bali adalah Rp 495.000, sedangkan batas tarif tertinggi untuk PCR di luar Pulau Jawa dan Bali adalah Rp 525.000. Kimia Farma, perusahaan BUMN, menyesuaikan tarif PCR dari Rp 900.000 menjadi Rp 500.000. Beberapa klinik belum mengikuti edaran Kementerian Kesehatan dengan berbagai alasan. Ini harus diselesaikan. Belum diketahui realisasi arahan Presiden di daerah, khususnya kecepatan mendapatkan hasil tes PCR paling lama 24 jam.

 

Kasus tarif PCR menunjukkan efektifnya kepemimpinan Presiden Jokowi. Negara hadir mengintervensi pasar. Sesuatu yang positif. Keputusan yang diambil seiring dengan persepsi Presiden Jokowi soal demokrasi yang pernah disampaikannya dalam kampanye calon presiden. ”Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya.”

 

Perintah menurunkan tarif PCR bukan hal sederhana. Pemerintah berhadapan dengan pengimpor alat kesehatan serta klinik dan rumah sakit. Sudah bisa dibayangkan, berapa potensi cuan yang hilang, yang seharusnya menjadi milik perusahaan farmasi dan alat kesehatan ketika harga tertinggi resmi tarif PCR sebesar Rp 900.000 diturunkan menjadi Rp 550.000.

 

Efektivitas arahan Presiden tak bisa dilepaskan dari sikap pembantunya, seperti Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri BUMN Erick Thohir, yang loyal tegak lurus melaksanakan arahan Presiden. Berasal dari kalangan profesional, kedua pembantu Presiden itu menyadari bahwa penanggung jawab jalannya pemerintahan adalah Presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensiil, tidak ada tanggung jawab menteri karena para menteri adalah pembantu presiden.

 

Efektivitas perintah Presiden dalam kasus penurunan tarif PCR berbeda dengan perintah Presiden dalam kasus alih status pegawai KPK. Dalam kasus KPK, para pembantu Presiden terlalu banyak manuver atau banyak menafsirkan arahan Presiden yang sudah terang. Terasa ada upaya menyiasati perintah itu.

 

Pada 17 Mei 2021, melalui Youtube Sekretariat Presiden, Presiden Jokowi memberikan arahan, ”…. Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu maupun institusi KPK, dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan....”

 

Hingga 96 hari setelah Presiden Jokowi memberikan arahan, Jumat, 20 Agustus 2021, kisruh soal alih status pegawai KPK belum juga rampung. Pada 25 Mei 2021, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, seperti dikutip Kompas.com, mengatakan, berdasarkan rapat koordinasi yang melibatkan Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Pimpinan KPK menonaktifkan 51 pegawai KPK. Alasannya, menurut asesor, para pegawai itu tidak bisa diberikan pembinaan dan tidak bisa bergabung lagi dengan KPK.

 

Kisruh alih status pegawai KPK menjadi bola liar. Kasus itu menjadi beban politik Presiden Jokowi. Ombusman menyebut KPK telah melakukan tindakan tidak prosedural dalam melaksanakan tes wawasan kebangsaan dan tindak malaadministrasi. Kajian Ombusman dibantah Wakil Ketua KPK Nurul Gufron yang justru balik menuding Ombusman tidak berwenang memeriksa pengaduan pegawai KPK. Berbalas pantun sesama komisi ”menghibur” rakyat.

 

Terakhir, Komnas HAM menemukan fakta tes wawasan kebangsaan sebagai instrumen menyingkirkan pegawai KPK. Padahal, 75 pegawai KPK itu terdiri dari berbagai macam latar belakang suku dan agama. Komnas HAM meminta Presiden mengambil alih proses alih status pegawai KPK.

 

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berkomentar, ”Tidak semua masalah ditarik ke Presiden. Lalu yang di bawah ngapain.” Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK sedang mempelajari dan masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan MA.

 

Pembelaan terhadap KPK justru datang dari Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi yang mengatakan, penyelidikan tes wawasan kebangsaan bukan wewenang Komnas HAM. Hendardi ikut serta dalam proses seleksi pimpinan KPK. Aktivis lain mempertanyakan sikap itu.

 

Kisruh berkepanjangan KPK telah menjadi beban politik Presiden. Presiden secara moral telah menunjukkan sikap politik dengan tidak menandatangani UU KPK hasil revisi meski Presiden mengutus menteri membahasnya.

 

Rasanya, saatnya, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mengambil langkah terukur menyelesaikan kisruh KPK. Apabila diperlukan, bisa dibentuk tim untuk mengkaji semua aspek pertimbangan Mahkamah Konstitusi, Ombusman, dan Komnas HAM untuk melihat aspek legal dari alih status pegawai KPK dan kemudian memutuskannya. Kisruh KPK perlu segera diakhiri karena korupsi sudah menjadi endemi dan penyakit penyerta bangsa. Tak perlu menunggu berbulan-bulan, cukup 24 jam saja. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/08/21/tidak-sampai-24-jam/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar