Tidak
Sampai 24 Jam Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 21 Agustus 2021
Minggu,
15 Agustus 2021. Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menteri Kesehatan.
”Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini. Saya minta
agar biaya tes PCR berada di kisaran Rp 450.000-Rp 550.000,” kata Presiden
melalui Youtube Sekretariat Presiden. Presiden
memberi arahan menyusul kritik mahalnya harga tes reaksi berantai polimerase
(polymerase chain reaction/PCR) dibandingkan dengan negara lain, khususnya
India. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menetapkan batas atas tarif PCR Rp
900.000. Tarif tersebut sudah lebih dari satu setengah tahun berlaku. Senin,
16 Agustus 2021. Tak sampai 24 jam setelah arahan Presiden, Kementerian
Kesehatan mengeluarkan surat edaran tarif tertinggi PCR yang berlaku per 17
Agustus 2021. Batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR di Jawa dan Bali
adalah Rp 495.000, sedangkan batas tarif tertinggi untuk PCR di luar Pulau
Jawa dan Bali adalah Rp 525.000. Kimia Farma, perusahaan BUMN, menyesuaikan
tarif PCR dari Rp 900.000 menjadi Rp 500.000. Beberapa klinik belum mengikuti
edaran Kementerian Kesehatan dengan berbagai alasan. Ini harus diselesaikan.
Belum diketahui realisasi arahan Presiden di daerah, khususnya kecepatan
mendapatkan hasil tes PCR paling lama 24 jam. Kasus
tarif PCR menunjukkan efektifnya kepemimpinan Presiden Jokowi. Negara hadir
mengintervensi pasar. Sesuatu yang positif. Keputusan yang diambil seiring
dengan persepsi Presiden Jokowi soal demokrasi yang pernah disampaikannya
dalam kampanye calon presiden. ”Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan
melaksanakannya.” Perintah
menurunkan tarif PCR bukan hal sederhana. Pemerintah berhadapan dengan
pengimpor alat kesehatan serta klinik dan rumah sakit. Sudah bisa
dibayangkan, berapa potensi cuan yang hilang, yang seharusnya menjadi milik
perusahaan farmasi dan alat kesehatan ketika harga tertinggi resmi tarif PCR
sebesar Rp 900.000 diturunkan menjadi Rp 550.000. Efektivitas
arahan Presiden tak bisa dilepaskan dari sikap pembantunya, seperti Menteri
Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri BUMN Erick Thohir, yang loyal tegak
lurus melaksanakan arahan Presiden. Berasal dari kalangan profesional, kedua
pembantu Presiden itu menyadari bahwa penanggung jawab jalannya pemerintahan
adalah Presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensiil, tidak ada tanggung
jawab menteri karena para menteri adalah pembantu presiden. Efektivitas
perintah Presiden dalam kasus penurunan tarif PCR berbeda dengan perintah
Presiden dalam kasus alih status pegawai KPK. Dalam kasus KPK, para pembantu
Presiden terlalu banyak manuver atau banyak menafsirkan arahan Presiden yang
sudah terang. Terasa ada upaya menyiasati perintah itu. Pada
17 Mei 2021, melalui Youtube Sekretariat Presiden, Presiden Jokowi memberikan
arahan, ”…. Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya
menjadi masukan untuk langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu maupun
institusi KPK, dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75
pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Kalau dianggap ada kekurangan,
saya berpendapat masih ada peluang memperbaiki melalui pendidikan kedinasan
tentang wawasan kebangsaan....” Hingga
96 hari setelah Presiden Jokowi memberikan arahan, Jumat, 20 Agustus 2021,
kisruh soal alih status pegawai KPK belum juga rampung. Pada 25 Mei 2021,
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, seperti dikutip Kompas.com, mengatakan,
berdasarkan rapat koordinasi yang melibatkan Badan Kepegawaian Negara,
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Pimpinan
KPK menonaktifkan 51 pegawai KPK. Alasannya, menurut asesor, para pegawai itu
tidak bisa diberikan pembinaan dan tidak bisa bergabung lagi dengan KPK. Kisruh
alih status pegawai KPK menjadi bola liar. Kasus itu menjadi beban politik
Presiden Jokowi. Ombusman menyebut KPK telah melakukan tindakan tidak
prosedural dalam melaksanakan tes wawasan kebangsaan dan tindak
malaadministrasi. Kajian Ombusman dibantah Wakil Ketua KPK Nurul Gufron yang
justru balik menuding Ombusman tidak berwenang memeriksa pengaduan pegawai
KPK. Berbalas pantun sesama komisi ”menghibur” rakyat. Terakhir,
Komnas HAM menemukan fakta tes wawasan kebangsaan sebagai instrumen
menyingkirkan pegawai KPK. Padahal, 75 pegawai KPK itu terdiri dari berbagai
macam latar belakang suku dan agama. Komnas HAM meminta Presiden mengambil
alih proses alih status pegawai KPK. Kepala
Staf Kepresidenan Moeldoko berkomentar, ”Tidak semua masalah ditarik ke
Presiden. Lalu yang di bawah ngapain.” Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan,
KPK sedang mempelajari dan masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi dan
putusan MA. Pembelaan
terhadap KPK justru datang dari Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Hendardi yang mengatakan, penyelidikan tes wawasan kebangsaan bukan wewenang
Komnas HAM. Hendardi ikut serta dalam proses seleksi pimpinan KPK. Aktivis
lain mempertanyakan sikap itu. Kisruh
berkepanjangan KPK telah menjadi beban politik Presiden. Presiden secara
moral telah menunjukkan sikap politik dengan tidak menandatangani UU KPK
hasil revisi meski Presiden mengutus menteri membahasnya. Rasanya,
saatnya, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mengambil
langkah terukur menyelesaikan kisruh KPK. Apabila diperlukan, bisa dibentuk
tim untuk mengkaji semua aspek pertimbangan Mahkamah Konstitusi, Ombusman,
dan Komnas HAM untuk melihat aspek legal dari alih status pegawai KPK dan
kemudian memutuskannya. Kisruh KPK perlu segera diakhiri karena korupsi sudah
menjadi endemi dan penyakit penyerta bangsa. Tak perlu menunggu
berbulan-bulan, cukup 24 jam saja. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/08/21/tidak-sampai-24-jam/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar