Senin, 23 Agustus 2021

 

Polemik Grafiti hingga Ruang Publik yang Terkunci

Neli Triana ;  Wartawan Kompas, Penulis kolom “Catatan Urban”

KOMPAS, 21 Agustus 2021

 

 

                                                           

”Tuhan Aku Lapar”, tulisan di salah satu tembok di Jalan Aryawasangkara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, itu justru makin dikenal setelah dihapus. Hal yang sama terjadi dengan grafiti dan mural lain yang dinilai menghina simbol negara. Dinding-dinding di ruang urban memang sejak lama menjadi sarana sebagian warga menyatakan kritik sosial. Pada masa modern, media sosial menyambut teriakan dari dinding kota itu, menabuhnya kian kencang, dan memperluas jangkauan gemanya.

 

Yang terjadi kemudian, seperti fenomena viral unggahan lainnya di media sosial, selalu ada pro kontra. Tidak heran jika dibawa pula dalam tarik-menarik kelompok-kelompok berbeda kubu politik. Belum lagi kehadiran para pengambil kesempatan yang meraih ketenaran, bahkan dukungan publik dengan menunggangi isu-isu panas ini. Namun, di tengah keriuhan di dunia maya, sering kali terlupakan esensi kritik yang ditorehkan di tembok kota.

 

Di luar sana ada orang-orang terdampak pandemi yang memang benar-benar kesulitan untuk menyambung hidup. Ada yang trauma karena keluarga terdekatnya meninggal terjangkit Covid-19. Ada pula yang tertekan hingga terganggu mentalnya karena sulit beradaptasi dengan perubahan kehidupan selama pandemi. Bantuan resmi pemerintah ataupun solidaritas sesama warga belum menjangkau semua warga yang membutuhkan. Pernyataan di hamparan beton di sudut-sudut kota menjadi saluran realitas warga tersebut.

 

”Tulisan grafiti kontemporer di lingkungan perkotaan semakin ditentukan oleh adanya segregasi dan kontrol ruang sosial,” tulis Jeff Ferrel dalam laporan hasil risetnya berjudul ”Urban Graffiti: Crime, Control, and Resistance” yang terbit tahun 1995 lalu.

 

Meskipun hampir tiga dekade berlalu, hasil empat tahun penelitian lapangan Ferrel tentang grafiti di Denver, Colorado, Amerika Serikat, diiringi studi kasus di kota lain di AS dan Eropa, ini masih sangat relevan dengan tren grafiti pada masa kini. Ferrel menggarisbawahi bahwa grafiti hampir selalu terkait dengan upaya perlawanan terhadap kontrol oleh otoritas tertentu yang berpayung politik dan hukum. Perlawanan itu bukan tanpa sebab, melainkan karena ada hak dan kepentingan masyarakat yang belum dipenuhi atau dilindungi.

 

Grafiti, merujuk penjelasan di The Art Story, diambil dari ”graphein” kata dari bahasa Yunani yang berarti menggores, menggambar, atau menulis di media apa pun, termasuk dinding. Budaya menggores, menggambar, dan menulis telah ada sejak ribuan tahun lalu, bahkan lukisan di dinding goa zaman prasejarah dapat dikategorikan sebagai grafiti atau mural.

 

Pada masa modern, grafiti menjadi budaya urban yang mewabah, terutama setelah diadopsi sekelompok masyarakat di AS pada 1960-an hingga 1970-an. Ferrel menyatakan, pada era tersebut muncul ketidakpuasan karena ada ketidaksetaraan di bidang ekonomi, politik, dan etnik di AS. Grafiti hip-hop yang menjadi fokus riset Ferrel, misalnya, muncul dan berkembang di komunitas masyarakat berkulit hitam di New York.

 

Kala itu, bukan rahasia lagi, jika warga kulit hitam diasosiasikan dengan masyarakat yang berpendidikan rendah, miskin, kumuh, dan lekat dengan perilaku kriminal, termasuk maraknya geng dan kejahatan melibatkan geng. Setiap geng memiliki nama dan mengukuhkan eksistensinya lewat area-area tertentu yang direbut lalu dikuasai. Grafiti, salah satunya, menjadi penanda area geng dan identitas sekelompok orang tertentu.

 

Pesan kejujuran dalam bentuk grafiti terpampang di sebuah jembatan di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (21/8/2012). Pesan itu refleksi keprihatinan masyarakat atas masifnya kasus-kasus korupsi yang menjerat para pejabat, politisi, jaksa, bahkan hakim di negeri ini.

 

Namun, grafiti tak sekadar penanda area. Mencoba melihatnya dari atas laksana mata burung, kondisi komunitas kulit hitam separuh abad lalu menggambarkan masyarakat terpinggirkan. Mereka rata-rata menghuni kawasan tertentu dan ada banyak label sosial berkonotasi negatif dilekatkan kepada mereka. Akses mendapatkan hunian layak, pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik yang lebih baik tidak tersedia memadai.

 

Desakan untuk meraih kehidupan yang lebih baik, dihargai, dan amarah pada situasi yang serba tidak enak diwujudkan, antara lain, dengan goresan di dinding lingkungan sekitar tempat mereka dikotakkan oleh penguasa. Grafiti pun meluas menjadi media menyindir pemerintah dan menyuarakan kegelisahan kelompok ini. Pada akhirnya, tren grafiti di kota-kota di AS merembes dan menular ke kota-kota lain di dunia.

 

Antropolog dan arkeolog Troy Lovata dan sejarawan seni Elizabeth Olson, seperti dikutip The Art Story, mengatakan, peningkatan pesat gaya penulisan agresif yang muncul di dinding kota di seluruh dunia telah menjadi penanda pemberontakan internasional. Sementara ahli teori budaya Jean Baudrillard menyebutnya sebagai simbol hancurnya hubungan sosial.

 

Dalam perkembangannya, grafiti selalu diasosiasikan dengan tindakan menodai, bahkan merusak fasilitas publik yang pasti melanggar aturan. Ada anggapan umum bahwa produk ini selalu pantas dienyahkan. Ini berbeda dengan mural dan seni jalanan yang belakangan justru digandrungi.

 

Di kalangan seniman, tidak ada pembeda khusus antara grafiti, mural, dan seni jalanan (street art), apalagi ketiganya menggunakan media yang sama, yaitu benda atau bangunan di ruang publik. Pembedanya, menurut Art White Canvas, lebih pada status hukum.

 

Grafiti dipastikan selalu dibuat tanpa izin otoritas di kawasan bersangkutan dan pembuatnya cenderung tidak ingin identitasnya diketahui publik, apalagi aparat. Mural dibuat oleh seniman dengan identitas jelas, sering kali ada inisial atau tanda khusus dari sang pembuat, dan hampir selalu disebut untuk memperindah kota.

 

Seni jalanan, di sisi lain, bisa dikatakan perkembangan dari grafiti, sebutannya pun bisa neo-graffiti atau post-graffiti. Seni jalanan mencapai popularitasnya sejak Bansky, yang hingga kini tidak diketahui pasti siapa dia atau mereka sebenarnya, menjadi buah bibir dengan karya-karyanya yang menarik, sarat makna, dan bahkan bernilai uang tinggi karena disebut luar biasa oleh kritikus seni.

 

Bansky disebut menginisiasi seni jalanan yang tak hanya menggunakan dinding atau fasilitas publik sebagai media, tetapi melebarkan sayap dengan kreasi lain. Intinya, karya itu dilakukan dan dipaparkan di ruang publik dengan pesan tertentu. Bansky pernah menyindir kesenjangan dengan menghadirkan foto selebritas Paris Hilton keluar dari mobil mewah dikelilingi orang-orang miskin yang tak punya rumah.

 

Menguat selama pandemi

 

Sepanjang tahun lalu sampai sekarang, kala Covid-19 belum dapat diatasi, pembatasan aktivitas manusia masih terjadi di semua penjuru dunia. Terkekang, terancam dari sisi kesehatan juga ekonomi, dan masih munculnya situasi politik yang memanas, kesenjangan kaum tak berpunya dan berpunya, serta hal-hal lainnya membuat tekanan yang dirasakan masyarakat menguat.

 

Salah satu kanal kaum urban untuk mengeluarkan keresahan adalah kembali ke seni jalanan. Lewat ”The street art that expressed the world’s pain”, BBC.com menyoroti fenomena ini. Tragedi yang menimpa warga kulit hitam George Floyd yang mati di tangan polisi di AS, misalnya, mengilhami warga di Kenya, Pakistan, dan berbagai belahan dunia lain menyuarakan antirasisme di tengah pandemi. Gambar Floyd tak hanya ada di tembok kota, tetapi juga dilukis di badan truk.

 

Gambar-gambar itu bukan sekadar antirasisme. Wajah Floyd mewakili tuntutan rakyat kebanyakan di banyak negara agar kesenjangan di semua lini dikikis habis. Saat berbagai pembatasan masih menerus ditetapkan, grafiti, mural, dan seni jalanan yang diabadikan, lalu dibagikan via media sosial maupun media massa, menjadi gerakan massal nan sulit dibendung.

 

BBC.com pun mengutip pernyataan Susan A Philips, penulis buku The City Beneath: A Century of Los Angeles Graffiti dari sebuah artikel di LA Times. Menurut Philips, grafiti adalah intervensi kritis di ruang perkotaan, terutama ketika pemerintah kota dan aparat berusaha menutupnya. Bahkan, setelah protes bubar, grafiti berdiri sebagai bukti suara kolektif para pemrotes. Secara fisik, grafiti itu mungkin akan segera hilang, tetapi tidak sebelum didokumentasikan dan langgeng menjadi bagian dari sejarah.

 

Bagi para pembuat kebijakan, sepedas apa pun pernyataan warga anonim di ruang publik dapat menjadi kritik yang membangun dan masukan yang sangat berarti. Lebih baik mencari pemicu protes atau pernyataan tersebut dan mengatasinya dengan pendekatan manusiawi daripada represif.

 

Di luar itu, Smithsonian Magazine di kanal daringnya menyebutkan bahwa masyarakat perkotaan selalu membutuhkan ruang untuk berekspresi dan bersosialiasi. Sosialisasi ini sebenarnya tidak hanya untuk antarwarga, tetapi juga warga dengan pemimpinnya. Desain ruang urban yang memungkinkan masyarakat dapat saling berjumpa, bergerak bersama, bahkan unjuk rasa besar disebut dapat mengurangi tekanan warga. Potensi ledakan amarah, juga merusak fasilitas publik, pun dapat diminimalkan.

 

Sayangnya, tidak banyak kota di dunia menyediakan ruang terbuka luas di pusat kota yang memungkinkan warganya berinteraksi dengan sesama dan juga dengan pemimpin mereka secara langsung. Padahal, dengan penerapan aturan tegas, interaksi di ruang terbuka tetap dapat dilakukan selama pandemi.

 

Sayangnya lagi, di tengah wabah ini, ada pula kebijakan menutup ruang-ruang publik utama hingga di lingkungan permukiman dengan alasan bagian dari pembatasan aktivitas warga. Ini terjadi, antara lain, di kota-kota di Indonesia. Akibatnya, sebagai kanal pelepasan dari banyak tekanan, muncul kerumunan di lokasi-lokasi yang tidak terjamah penjagaan aparat, seperti di tengah perkampungan, di taman makam, dan di lahan-lahan kosong di sudut kota.

 

Vandalisme, termasuk grafiti, di tempat publik pun menjadi cara sebagian kaum muda menyalurkan unek-uneknya.

 

”A wall is a very big weapon. It’s one of the nastiest things you can hit someone with (Tembok adalah senjata yang sangat besar. Ini adalah satu dari hal-hal terburuk yang bisa kamu pakai untuk memukul seseorang)” kata Bansky, seperti dikutip di The Art Story. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/metro/2021/08/21/polemik-grafiti-hingga-ruang-publik-yang-terkunci/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar