Perwujudan
Nyata Pancasila Franz Magnis-Suseno ; Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara di Jakarta |
KOMPAS, 19 Agustus 2021
Pancasila
nyata? Pancasila nyata tentu adalah Pancasila yang dipraktikkan, Pancasila
yang dilaksanakan, yang nyata-nyata menentukan kehidupan bangsa. Pada
18 Agustus 76 tahun lalu, kita memperingati pengesahan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Dan
pada akhir Pembukaannya tereja lima sila Pancasila sebagai landasan di
atasnya ”Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar”. Sejak
tanggal tersebut ditanyakan bagaimana Pancasila dapat menjadi nyata dalam
kehidupan bangsa. Tentu saja, pertanyaan itu sudah sering dijawab dan selalu
perlu diajukan berhadapan dengan tantangan baru yang dialami oleh bangsa
Indonesia. Implikasi nyata Pancasila Pancasila
harus menjadi nyata dalam perpolitikan negara, dalam arah pembangunan, dalam
perwujudan sistem hukum dan bahkan UUD, dalam mencari orientasi wawasan
kebudayaan, dalam wawasan ideologis bangsa. Dan dari sudut kesadaran dan
kelakuan nyata manusia Indonesia. Tulisan
ini semata-mata berfokus pada yang terakhir: apakah Pancasila dapat dibikin
nyata dalam kesadaran dan kelakuan sehari-hari manusia Indonesia —”dari
Sabang sampai Merauke”? Apa mungkin merumuskan implikasi Pancasila secara
praktis-nyata? Yang
dicari bukan suatu ”ringkasan” Pancasila. Pancasila sudah sangat ringkas dan
perlu diutarakan dan diuraikan dalam sekian dimensi kehidupan bangsa. Namun,
Pancasila kiranya punya implikasi bagi kehidupan sehari-hari manusia
Indonesia yang mudah dimengerti setiap orang, yang akan mempunyai dampak
sangat positif bagi kehidupan bersama kita dan bagi kestabilan negara
Indonesia yang majemuk. Apalagi
karena Pancasila, dan implikasi-implikasi praktis tersebut, bukan sebuah
filsafat impor dari luar negeri, melainkan berakar dalam-dalam dalam
tradisi-tradisi dan budaya-budaya bangsa Indonesia. Pancasila dan
implikasinya bukan sesuatu yang asing bagi manusia Indonesia. Lima pola kelakuan Berikut
ini saya angkat lima sikap dan kelakuan, mengikuti lima sila Pancasila, yang
tentu saja tidak menghabiskan seluruh makna Pancasila, tetapi di mana dapat
dikatakan: kalau lima sikap dan kelakuan itu semakin menjadi nyata, kita
sudah maju sangat jauh di perjalanan menjadi masyarakat beradab, damai, dan
positif. Sila
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah tentu saja harus menjadi nyata dalam
toleransi beragama. Budaya tradisional komunitas-komunitas Nusantara selalu
meyakini dan mempraktikkan keterbukaan kultural dan religius, ya toleransi.
Kekhasan bangsa Indonesia adalah kemajemukannya. Bangsa
Indonesia menjadi nyata—karena sudah terungkap dalam Sumpah Pemuda—bersedia
saling menerima dalam kekhasan etnik, budaya, dan agama masing-masing. Itu
yang namanya toleransi: bersedia menerima, menghormati, dan mensyukuri perbedaan. Sila
pertama Pancasila jadi nyata dalam toleransi. Dalam kesediaan untuk saling
menerima dalam identitas agama dan kepercayaan masing-masing. Itulah yang
mendasarkan rumus akhir sila pertama oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Maka,
agar sila pertama menjadi nyata, sejak dari rumah, sejak dari kelas pertama
SD, toleransi perlu diajarkan dan dilatih dalam menyikapi perbedaan-perbedaan
di antara kita, termasuk dalam kesediaan menghormati bagaimana masing-masing
kita menyatakan keagamaan dan kepercayaan. Sila
kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sudah tentu memuat kesediaan untuk
selalu saling memperlakukan orang lain sesuai dengan martabat sebagai
manusia, dan itu berarti, selalu dengan adil dan beradab. Beradab berarti
mengharamkan kekerasan. Orang
beradab tidak menyelesaikan konflik dengan kekerasan, dan itu berlaku sejak
umur muda. Orang beradab tak menyelesaikan konflik dengan berantem atau
mengancam, melainkan dengan musyawarah; dan kalau musyawarah tak berhasil
mencapai kesepakatan, dengan memakai dan menghormati jalan hukum. Sila
ketiga, Persatuan Indonesia, jadi nyata kalau orang Indonesia, sejak kecil,
diajak bangga bahwa ia Indonesia, kalau ia merasa solider dengan warga
sebangsa senasib sepenanggungan, kalau ia seperlunya bersedia berkorban bagi
bangsa dan negara. Cinta kepada bangsa dan negara sejak kecil perlu
ditanamkan dalam hati orang Indonesia. Sila
keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, memuat kesediaan untuk memecahkan masalah-masalah
yang kita hadapi secara demokratis. Artinya bukan secara otoriter, apalagi
dengan paksaan dan ancaman, menjadi dengan bersedia untuk saling mendengarkan
dan bicara bersama dan mencari pemecahan bersama. Secara praktis-pendek: kita
tidak pernah memaksakan diri. Sila
kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, barangkali merupakan
tuntutan paling dasar dari Pancasila: persatuan bangsa akan pecah kalau tidak
semua bagian bangsa merasa diperlakukan dengan adil dan hormat terhadap
martabat mereka. Sila
ini menyatakan, kita tidak maju kalau tidak semua ikut maju, kita tidak
pernah akan membiarkan tertinggal mereka yang lemah, miskin, terpojok, mereka
yang pernah menjadi korban. Karena itu, anak sejak kecil perlu dididik untuk
membuka mata, hati, dan tangan bagi orang-orang dalam lingkungannya yang
kelihatan tak hidup nyaman, manusiawi, miskin, dan lemah. Perwujudan nyata Pancasila Sebagai
kesimpulan, Pancasila sudah akan menjadi sangat nyata dalam kehidupan
sehari-hari apabila kita: (1) membangun toleransi terhadap mereka yang
beragama dan berkepercayaan berbeda, (2) apabila kita malu setiap kali kita
memakai kekerasan, (3) apabila kita saling mendukung dalam mencintai bangsa
dan negara kita, (4) apabila kita menyelesaikan masalah-masalah kita tak
pernah dengan ancaman dan paksaan, tetapi dengan bicara bersama dan saling
menghormati, dan (5) apabila kita tak membiarkan seseorang dalam lingkup kita
tetap miskin, telantar, tanpa kita bantu. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/pancasila-nyata |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar