Senin, 23 Agustus 2021

 

"Quo Vadis" BPPT di Era Ekonomi Inovasi

Hammam Riza ;  Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

KOMPAS, 21 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pada 21 Agustus 2021 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi genap 43 tahun. Momentum ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan refleksi dalam upaya mencari peta jalan ke masa depan, meraih teknologi maju untuk Indonesia 100 tahun merdeka pada 2045. Mampukah badan ini terus berinovasi tiada henti?

 

Bisakah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga kaji terap teknologi mengawal transformasi ekonomi berbasis inovasi, mencapai visi NKRI yang berdaulat, mandiri, maju, dan berdaya saing?

 

Berdirinya BPPT tak lepas dari peran Prof Ing BJ Habibie, tokoh teknokrat yang tidak hanya terkenal di kalangan nasional, tetapi juga dunia. Gagasan besarnya adalah mengejar peradaban teknologi untuk kemandirian bangsa.

 

Pembangunan teknologi perlu dipersiapkan untuk menyongsong masa depan. Untuk itu, BPPT dibutuhkan sebagai satu wahana yang mengkaji masalah-masalah teknologi secara mendalam dan menyeluruh agar kehadiran dan penerapannya benar-benar mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa, khususnya dalam rangka mengembangkan industri dan produksi nasional yang dapat memperkuat ketahanan nasional.

 

BPPT mengimbangi tugas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Jika Bappenas merancang kebijakan makro, BPPT memastikan kebijakan itu terealisasi dengan mengawalnya dengan kajian kebijakan dan penerapan teknologinya. Demikian strategisnya peran dan keberadaan BPPT, sudah banyak sumbangsih yang diberikan, mulai dari capaian teknologi untuk ketahanan pangan hingga kedaulatan industri pertahanan.

 

Dalam situasi yang sangat mendesak dan diperlukan kecepatan yang luar biasa, BPPT juga mampu melahirkan karya inovasi untuk penanganan pandemi Covid-19. Dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak Maret 2020, BPPT bersama ekosistem inovasi TFRIC-19 mampu menghasilkan produk yang sangat dibutuhkan untuk keperluan 3T (testing, tracing, treatment).

 

Produk tersebut mulai dari tes cepat antibodi, reagen PCR, mobile BSL-2, hingga ventilator. Tidak terhitung produk inovasi karya BPPT yang dihasilkan selama kurun waktu empat dekade keberadaannya.

 

Inovasi menjadi kata kunci untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa. Romer (1990), Eaton dan Kortum (1995), Rosenberg (2004), Aghion dan Akcigit (2015), Soerawidjaja (2017), dan sejumlah pakar ekonomi lain juga menekankan pentingnya inovasi teknologi sebagai mesin atau motor pertumbuhan ekonomi.

 

Artinya, BPPT berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Selain menghasilkan inovasi, sejak awal berdiri, BPPT berperan sebagai pengawal di garda terdepan terhadap teknologi kunci yang akan digunakan di Indonesia. BPPT menjadi technology clearing house, di mana peran akuisisi teknologi dijalankan.

 

BPPT juga menjadi pusat pelayanan teknologi, yang meliputi rekomendasi, advokasi, audit teknologi, alih teknologi, konsultasi, pengujian, hingga proyek percontohan, sejalan dengan fungsi BPPT sebagai pusat kecerdasan teknologi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 

Inovasi dan ekonomi

 

Bicara ekonomi, sangat erat hubungannya dengan inovasi. Apalagi jika Indonesia ingin mengatasi ketertinggalan dan menjadi negara lima besar dunia dalam kekuatan ekonomi.

 

Mengacu pada Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun dibutuhkan untuk menjadi negara maju. Untuk bisa mencapai itu, porsi sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB) harus ditingkatkan.

 

Peningkatan industri manufaktur hanya bisa dilakukan dengan memperkuat dan memperbanyak pasokan inovasi pada industri. Inovasi meningkatkan technology readiness level (TRL), manufacturing readiness level (MRL), dan pada akhirnya meningkatkan total factor productivity (TFP) yang menjadi ciri ekonomi berbasis inovasi.

 

Artinya, jika ingin pertumbuhan ekonomi melompat dengan capaian per tahun di atas 8 persen, pembangunan nasional harus dilakukan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis pada inovasi.

 

Kita harus belajar dari apa yang dilakukan Korea yang, seperti Indonesia, sama-sama terlepas dari pendudukan Jepang tahun 1945. Saat ini Indonesia jauh tertinggal dari Korea dalam perekonomian. Pertumbuhan ekonomi Korea dimulai tahun 1962, dengan kebijakan teknologi yang diusung adalah ”from imitation to innovation”.

 

Dengan kebijakan iptek tersebut, ekonomi Korea telah tumbuh menjadi salah satu yang tercepat di dunia. Transformasi ekonomi Korea dalam waktu kurang dari 30 tahun maju pesat dari sebuah negara pertanian menjadi negara industri. Indeks daya saing Korea jauh meninggalkan Indonesia, Korea di peringkat ke-13, sedangkan Indonesia ke-50 (WEF, 2020).

 

Ada dua hal penting yang harus ada dalam upaya menciptakan lompatan ekonomi, yaitu adanya kelembagaan yang menghasilkan inovasi dan perlunya penguatan regulasi terkait iptek. Indonesia memiliki keduanya.

 

Pertama, BPPT merupakan lembaga yang menghasilkan inovasi. Kedua, baru dua tahun ini diberlakuan UU No 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dalam rangka memperkuat peran iptek di pembangunan nasional.

 

BPPT dan implementasi UU No 11 Tahun 2019

 

UU No 11 Tahun 2019 dirancang untuk memperkuat kelembagaan iptek yang akan menyelenggarakan iptek dengan orientasi keluaran inovasi yang dapat langsung berkontribusi pada pembangunan nasional.

 

Untuk itu, dalam UU No 11 Tahun 2019 telah diposisikan adanya kelembagaan iptek dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan peran, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Kelembagaan iptek (Pasal 42) dan BRIN (Pasal 48) merupakan satu ekosistem invensi dan inovasi yang ada dalam Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).

 

Keberadaan kelembagaan iptek yang terdiri atas lima unsur haruslah eksis dalam Sisnas Iptek. Fungsi dan kewenangan kelembagaan iptek ditegaskan dalam Pasal 43-Pasal 47.

 

Keberadaan BRIN dalam Sisnas Iptek, sesuai Pasal 48 dan Penjelasannya, hanya untuk ”mengarahkan” dan ”menyinergikan”, serta melakukan orkestrasi penyelenggaraan iptek oleh kelembagaan iptek.

 

Desain Sisnas Iptek dalam UU ini yang memosisikan dua entitas penting tersebut—jika berjalan sesuai dengan pengaturan yang ada dalam UU ini—akan memberikan manfaat yang besar terhadap peran iptek bagi pembangunan nasional.

 

BPPT sebagai salah satu unsur kelembagaan iptek sangatlah siap dengan peran dan posisi yang telah didesain dalam pengaturan Sisnas Iptek. BPPT selama ini telah memainkan peran sesuai UU No 11 Tahun 2019.

 

Presiden Joko Widodo pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional BPPT 8 Maret 2021 menekankan, BPPT harus berburu inovasi dan teknologi, menjadi lembaga akuisisi teknologi maju dari mana pun, dan menjadi pusat kecerdasan teknologi di Indonesia. Ketiga peran tersebut sebenarnya sudah menjadi karakteristik dan ciri (DNA) BPPT sejak saat didirikan.

 

Pengalaman, struktur organisasi, dan kapasitas SDM yang dimiliki saat ini seharusnya bisa semakin memperkuat kemampuan BPPT untuk menjalankan tiga peran yang diinginkan Presiden, dalam rangka mendukung percepatan dan lompatan pertumbuhan ekonomi.

 

Artinya, jika keberadaan BPPT dipertahankan seperti amanah UU No 11 Tahun 2019, maka, menurut Presiden, BRIN harus mampu mengorkestrasi SDM, infrastruktur, program dan anggaran, agar menjadi kekuatan besar untuk menghasilkan karya nyata yang menyejahterakan rakyat.

 

Selain itu, BRIN harus segera menyinergikan peneliti di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta, start up teknologi, talenta diaspora, dan anak-anak muda yang sangat militan.

 

BPPT akan berperan membantu BRIN dalam upaya bersama mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi, melalui penguasaan teknologi, pendayagunaan teknologi, dan menjamin keberhasilan penerapannya.

 

Kerja sama dalam satu kesatuan sistem antara BPPT sebagai salah satu unsur kelembagaan iptek dan BRIN sebagai dirigen akan memaksimalkan hasil penyelenggaraan iptek.

 

Namun, jika keliru dalam penafsiran kata integrasi, dengan menerjemahkan sebagai peleburan, akan terjadi ketidakpastian capaian dan pasokan inovasi, yang artinya terjadi pembekuan peran iptek, sehingga akan berakibat terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi dan bahkan kemunduran.

 

Quo vadis BPPT. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/quo-vadis-bppt-di-era-ekonomi-inovasi/

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar