Revolusi
Kebaikan Idi Subandy Ibrahim ; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK)
Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar Luar Biasa di Program
Doktor Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Gunung Djati (SGD) Bandung; dan
Pengajar Luar Biasa di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB)
Malang |
KOMPAS, 21 Agustus 2021
Pandemi
Covid-19 telah menghadirkan berbagai kesulitan bagi rakyat Indonesia.
Kesulitan yang tak terbayangkan sebelumnya. Akan tetapi, rupanya dalam setiap
kesulitan bersama selalu menyembul berkah. Munculnya kehendak untuk
bahu-membahu dan menguatnya rasa solidaritas di berbagai lapisan masyarakat
untuk bangkit bersama. Momen
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Ke-76 RI punya makna mendalam. Karena juga
menjadi momen perjuangan dan harapan. Perjuangan di tengah ketidakpastian
melawan ”musuh” tak terlihat. Juga harapan untuk bangkit dengan semangat
kebersamaan. Memasuki
tahun kedua pandemi, kita seperti sedang membuka kembali buku sejarah baru,
di mana setiap orang menulis kisah hidupnya sendiri. Ketika dibuka, ia
membentangkan cerita mengenai kesedihan, kecemasan, depresi, kesusahan,
kerentanan, dan tekanan hidup. Tetapi juga menggoreskan kisah ketabahan,
kesabaran, daya tahan, persatuan, dan kecintaan manusia kepada kebaikan. Penduduk
Indonesia berjumlah sekitar 257 juta jiwa, 35 juta di antaranya tergolong
kurang beruntung. Bagi orang kecil, kehidupan pada masa pandemi seperti
berjalan di terik matahari yang tanpa pelindung. Kita tahu tidak sedikit
rakyat setiap hari harus berjuang agar selalu ada makanan di atas meja
mereka. Kini dampak PHK dan keterbatasan akses usaha semakin menjatuhkan
harapan mereka sampai titik terendah. Bantuan pemerintah atau masyarakat yang
sampai kepada mereka seperti tetesan air di tengah dahaga. Bantuan
pemerintah tidak selalu sampai ke tangan yang paling membutuhkan. Jika pun
sampai, tidak selalu digunakan seperti yang diharapkan pemerintah. Aksi
solidaritas kemanusiaan dari berbagai pihak, termasuk para sukarelawan,
selama pandemi menjadi alternatif kecil dalam membantu menutupi celah
berbagai keterbatasan tersebut. Bagaimanapun,
di tengah berbagai kesulitan, rasa optimisme muncul bahwa harapan itu
tidaklah sedang menggantang asap atau mengukir langit. Kini kita menyaksikan
bahwa lembaran sejarah pada masa pandemi juga ditulis pribadi-pribadi yang
berani. Mereka yang menulis kisah hidupnya dengan pengorbanan dan kebaikan.
Mereka yang berani menanggung risiko. Tak jarang demi orang lain yang
melampaui dirinya. Seperti kisah perjuangan tenaga kesehatan atau petugas dan
aparat berhati mulia. Api
kedermawanan dan rasa welas asih tidak pernah redup dalam hati dan tetap
terjaga dengan baik dalam tindakan. Orang merasa berbahagia selama ia dapat
berbuat baik untuk orang lain. Setiap hari kita menyaksikan berita betapa
rasa kemanusiaan tidak pernah padam di hati orang-orang kecil. Orang yang
membagikan makanan, minuman, obat, dan camilan kepada banyak orang.
Orang-orang yang dengan kemampuan terbatas mengulurkan tangan bantuan kepada
yang membutuhkan. Seperti para sukarelawan tanpa menunggu komando memainkan
orkestra kebaikan hati dan kedermawanan. Untuk membantu meringankan beban
kalangan masyarakat bawah yang terkena dampak langsung pandemi. Gejolak
pandemi yang belum sepunuhnya surut akan seperti mendaki puncak gunung terjal
sehingga dibutuhkan kerja sama dari para pendaki agar bisa sampai dengan
selamat bersama di tujuan. Kerja sama dari sejumlah komponen bangsa,
aktor-aktor negara, dan non-negara dalam berbagai jenjang dan jalur dalam
melibatkan diri secara aktif meringankan beban masyarakat bawah yang terkena
dampak langsung pandemi dan pembatasan sosial sudah tidak bisa ditawar-tawar. Dalam
sebuah dunia di mana miliaran orang terhubung dengan media sosial, komunikasi
dan pesan kebaikan bisa menjadi penyembuh bagi mereka yang merasa sendirian
karena terisolasi dari orang lain. Kita menyaksikan, kini para artis,
pejabat, dan aparat mulai rajin blusukan membagikan bantuan sosial, seperti
kebutuhan pokok, kepada masyarakat bawah sambil mengabarkannya ke berbagai
platform media sosial. Meski ada yang mengkritiknya sebagai semacam
”narsisisme kedermawanan”, dampak baiknya jelas lebih terasa bagi masyarakat
ketimbang mereka tidak melakukannya. Sayangnya,
dunia digital juga tak jarang menjadi pemicu kesalapahaman dan simpang siur
mengenai berbagai hal yang terkait dengan pandemi. Celakanya, tak jarang pula
justru ada pihak yang meraup keuntungan dari viral dengan adanya kegaduhan
seputar pandemi atau vaksinasi. Dalam masyarakat yang sedang tertekan,
disinformasi dan misinformasi bisa menjadi pemantik perpecahan. Semakin
rendah tingkat kepercayaan terhadap sumber resmi, akan semakin membuat hoaks
menjadi primadona. Mengembalikan keterpercayaan informasi pemerintah adalah
jalan lain penyembuhan ”pandemi” di dunia digital. Di
masa seperti ini, kita perlu melakukan revolusi kebaikan, memperluas
imajinasi kita secara radikal dalam memandang kebaikan dan apa artinya
berbuat baik. Kita perlu menumbuhkan apa yang disebut Dalai Lama, pemimpin
spiritual Tibet, sebagai ”atmosfer kebaikan” di berbagai bidang kehidupan.
Semakin tinggi kedudukan, semakin besar ruang untuk berbuat baik. Semakin
besar materi, semakin besar peluang untuk melakukannya. Akhir-akhir
ini kita melihat kecenderungan kuat terhadap perlunya pengakuan atas hak-hak
binatang. Para penyayang binatang bisa menghabiskan uang jutaan rupiah per
bulan untuk makanan dan perawatan hewan piaraannya. Jika manusia bisa begitu
peduli dengan nasib binatang, pada masa pandemi ini, imajinasi kebaikan itu
tinggal diperluas kepada anak-anak yang kehilangan orangtua dan mungkin akan
menjalani masa depan tak pasti jika tanpa solusi perlindungan. Para
ahli menyebutkan, imajinasi kebaikan terkait erat dengan kapasitas empati.
Empati adalah perekat yang mengikat kemanusiaan kita. Dengan empati, kita
menempatkan diri pada posisi orang lain. Kita merasakan penderitaan dan
kesusahan orang lain. Ketika digunakan untuk memperluas kepedulian, empati
berfungsi sebagai panduan untuk merekatkan rasa solidaritas komunitas dan
menatanya untuk keluar dari kesulitan. ”Memupuk
empati memungkinkan kita membantu tidak hanya diri kita sendiri,” demikian
kata Helen Riess dalam buku The Empathy Effect (2018), ”tetapi juga semua
orang yang berhubungan dengan kita, baik untuk sesaat maupun seumur hidup.” Menumbuhkan
peradaban dan budaya empati adalah tantangan kemanusiaan kita saat ini.
Sekian lama para ahli menyebut seni dan sastra bisa menumbuhkan kapasitas
empati. Karena, seni dan sastra bisa menumbuhkan kepekaan akan keindahan dan
kehalusan perasaan akan kehidupan. Seni dan sastra yang relevan dengan siswa
akan mendekatkannya dengan kehidupan sekaligus menajamkan rasa kepedulian dan
kecintaannya kepada manusia dan lingkungannya. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/revolusi-kebaikan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar