Memaknai
Kemerdekaan Indonesia di Tengah Pandemi Budi Muliawan ; Pemerhati Sosial Kebangsaan, Alumni FH
Universitas Brawijaya dan Alumni Program Pascasarjana FH Universitas
Indonesia |
DETIKNEWS, 16
Agustus 2021
Sudah satu
tahun lebih bangsa Indonesia dikungkung pandemi COVID-19. Wabah yang
mengglobal ini tidak hanya memukul sektor kesehatan umat manusia, namun juga
mengena pada sektor-sektor yang lain, seperti ekonomi, pendidikan,
pariwisata, dan olahraga. Berbagai upaya
dilakukan agar wabah COVID-19 segera sirna. Namun dunia seolah-olah berhenti
bergerak ketika dilakukan berbagai macam upaya untuk mengendalikan penularan
dari virus jahat itu. Wabah ini bisa
terbilang sangat dahsyat. Berbagai macam kegiatan di mana pun adanya, harus
terpaksa ditunda, dibatalkan, atau pun bila digelar dengan pembatasan
penonton dan didukung protokol kesehatan yang sangat ketat. Akibat yang
demikian membuat banyak sektor mengalami kerugian. Bayangkan
berapa kerugian yang dialami Jepang saat menggelar Olimpiade Tokyo 2020.
Gelaran berbagai macam olahraga yang melibatkan seluruh negara di muka bumi
itu biasanya menghasilkan keuntungan yang melimpah dari sponsor dan penonton. Namun karena
dilarang datang ke Jepang atau pemberlakuan perjalanan yang ketat, Olimpiade
yang biasanya dikerumuni jutaan orang menjadi nihil sebab ada kesepakatan
Olimpiade digelar tanpa penonton. Tiket-tiket yang sedianya menjadi uang yang
berlimpah-limpah menjadi urung. Pemasukan dari penonton pun menjadi nihil.
Akibatnya, Jepang mengalami kerugian besar. Bangsa
Indonesia setiap Agustus memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan
Republik Indonesia. Menjelang puncak peringatan HUT 17 Agustus, di berbagai
tempat dari Istana Negara hingga balai desa di seluruh Indonesia, dilakukan
perayaan. Umbul-umbul, bendera, spanduk berwarna merah putih dipasang
sehingga suasana lingkungan menjadi meriah dan semarak. Tak hanya itu,
berbagai lomba dan karnaval digelar sehingga masyarakat terhibur dengan
tontonan gratis itu. Ritual atau
tradisi Agustusan itu juga berhenti karena wabah COVID-19. Akibatnya tak ada
kemeriahan dan kesemarakan. Lapangan-lapangan desa dan kabupaten yang setiap
Agustus dipenuhi masyarakat untuk menonton lomba atau hiburan menjadi lengang
akibat dilarangnya berbagai macam bentuk kerumunan. Paskibra dan Paskibraka
yang biasanya berformat 8, 17, dan 45 pun harus dikurangi jumlahnya dengan
alasan mengurangi kerumunan. Beruntung,
pemerintah kini menyiapkan berbagai permainan untuk mengisi waktu luang
selama bulan kemerdekaan ini. Masyarakat bisa ikut lomba khas 17-an di Rumah
Digital Indonesia (RDI) dan memenangkan hadiah jutaan rupiah. Di RDI, ada
empat lomba khas 17-an yang bisa kamu mainkan, yaitu lomba tarik tambang,
balap karung, makan kerupuk, dan panjat pinang. Ini ibarat oase di padang
tandus. Meski tak ada
yang tahu kapan COVID-19 bakal berakhir, kita tidak boleh menyerah, putus
asa, dan apatis dalam menghadapi kehidupan. Agustus dikenal sebagai bulan
kemerdekaan, harus dijadikan momentum bangkit dan melawan COVID-19. Pantang
menyerah! Dalam
perjalanan untuk menjadi merdeka, para pendahulu kita mengalami masa-masa
yang sangat sulit. Mereka terkukung oleh kekuasaan penjajah yang membuat kita
tidak bisa bebas 'ke mana-mana'. Semua diatur dan dibatasi, namun mereka
tidak pantang menyerah. Para pendahulu
terus sabar dan berusaha keras agar penjajah yang mengungkung itu bisa hilang
dan sirna dari bumi nusantara. Akibat kerja keras, perjuangan, kesabaran, dan
doa, akhirnya penjajah benar-benar lenyap dari Indonesia. Nah, semangat
para pahlawan dan pendahulu bangsa itu perlu terus digelorakan dan
dilestarikan dalam menghadapi wabah virus yang variannya terus berkembang.
Untuk menghadapi penjajah, para pendahulu bangsa mengutamakan sikap dan sifat
persatuan, saling tolong menolong, dan mengutamakan kepentingan masyarakat
dibanding kepentingan pribadi. Dalam
menghadapi pandemi ini, kita juga harus melakukan hal yang demikian. Bangsa
ini harus mengutamakan kepentingan bersama, yakni menaati protokol kesehatan
dan aturan-aturan PPKM lainnya. Bila kita abai, tidak menggunakan masker dan
bepergian dengan tujuan tidak jelas, hal demikian menunjukan kita lebih
mengutamakan kepentingan pribadi. Apa yang dilakukan tersebut bisa mengganggu
kepentingan bersama, yakni mencegah penularan. Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras,
dan antar golongan (SARA), ditambah perbedaan pandangan politik. Bila dilihat
dari berbagai perbedaan itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup di
tengah berbagai keragaman. Keragaman yang ada itu dijalin dalam satu ikatan
yang bernama Indonesia. Dalam
menghadapi wabah, bangsa yang beragam ini juga harus seperti paparan di atas,
yakni bersatu dan lebih mendahulukan kepentingan bersama. Saat ini masyarakat
yang tersebar dalam keragaman meghadapi masalah yang sama. Ibarat menghadapi
badai yang sama tetapi dalam perahu yang berbeda. Agar wabah
musibah itu cepat berlalu, maka semuanya harus saling tolong menolong.
Ibaratnya, bila ada perahu yang hendak tenggelam karena badai yang keras dan
kencang, perahu yang lain harus segera menolong tanpa pandang itu perahu
siapa. Bila ini dilakukan, maka perahu-perahu yang berlayar dalam ancaman
badai yang sama itu penumpangnya bisa terselamatkan semua. Dalam
kehidupan nyata, sikap saling membantu, tolong menolong, dalam menghadapi
COVID-19 harus diamalkan. Bila ada tetangga atau orang lain yang terpapar,
maka yang lain perlu memberi semangat, bantuan, dukungan, dan pertolongan
kepada mereka, seperti menyediakan makan saat isoman atau perawatan,
mencarikan oksigen dan darah bila dibutuhkan oleh yang terpapar. Sikap gotong
royong inilah yang membuat bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan. Sikap
gotong royong dalam membantu orang-orang yang terpapar inilah yang juga
membuat mereka bisa sembuh. Oleh sebab itu, di bulan Agustus inilah, kita
jadikan momentum untuk lebih meningkatkan sikap gotong royong untuk
membebaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari berbagai macam masalah. Sikap gotong
royong ini tidak membuat kita rugi. Pandangan yang berlogika untung rugi saat
ini kerap dijadikan alasan seseorang untuk berbuat sesuatu. Pandangan yang
demikian harus disingkirkan dan bukan sesuatu yang dituntunkan oleh
nilai-nilai luhur bangsa. Toh bila ada pandangan yang demikian, gotong royong
tak membuat seseorang rugi malah bisa membuat untung. Dirgahayu
Indonesia ke 76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5684974/memaknai-kemerdekaan-indonesia-di-tengah-pandemi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar