Simbol
dalam Pakaian Ninuk M Pambudy ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Ketika
menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR RI 2021 Presiden Joko
Widodo mengenakan pakaian adat suku Baduy. Dari waktu ke waktu Jokowi selalu
memakai pakaian adat suku-suku di Indonesia dalam Sidang Tahunan MPR. Berbeda
dari tahun-tahun sebelumnya, busana pilihan Presiden kali ini sederhana
sekali. Bagi
yang pernah berhubungan dengan suku Baduy akan mengenal kesederhanaan busana
masyarakat Baduy. Kainnya terbuat dari benang pintalan sendiri, ditenun
dengan alat tenun bukan mesin, dan teksturnya kasar. Modelnya sederhana,
kemeja lengan panjang tanpa kerah dengan bukaan depan. Padanannya celana
panjang longgar. Semua dalam warna hitam, dibuat memakai pewarna alam pada
cara pembuatan asli. Melengkapi busana tersebut, Jokowi memakai tas selempang
yang secara tradisional dibuat dari kulit pohon. Alas kakinya sepatu sandal
terbuka dengan ikat kepala dari kain yang sama sederhananya. Jokowi
menjelaskan alasannya memilih busana yang disiapkan Ketua Adat Masyarakat
Baduy Jaro Saija. Menurut laman Sekretariat Kabinet, Jokowi memilih busana
Baduy “…karena desainnya yang sederhana, simpel, dan nyaman dipakai,” Pakaian
sebagai simbol bukan barang baru dalam sosiologi, antropologi, filsafat, dan
psikologi. Dalam Outward Appereances. Dressing State & Society in
Indonesia (Henk Schulte Nordholt, editor; KITLV Press, 1997) yang membahas
mengenai busana dan gaya hidup masyarakat pada era kolonial Hinda Belanda
hingga awal masa kemerdekaan Indonesia, pakaian jelas menunjukkan jati diri
seseorang. Pakaian
juga menunjukkan kekuasaan imperialisme pada masyarakatnya, penundukan oleh
pemerintahan kolonial pada masyarakat biasa melalui pengaturan jenis pakaian
yang dengan cukup rinci ditunjukkan oleh Kees van Dijk. Strata sosial bukan
hanya dibagi atas kelas bangsawan (Jawa), rakyat biasa, dan budak yang
ditentukan oleh raja-raja dan para bangsawan, tetapi juga atas etnis
masyarakat yang dilekatkan dengan kedudukan hukumnya pada masa kolonial. Ketika
ditelisik memakai pendekatan jender seperti ditawarkan oleh Jean Geman Taylor
di dalam Outward Appearances, meskipun berangkat dari titik yang “sama”,
tetapi kedatangan budaya-budaya besar ke Nusantara dan penjajahan Hindia
Belanda membawa konsekuensi berbeda pada busana perempuan ketika Indonesia
merdeka. Salah
satunya adalah penggunaan peci yang oleh Soekarno dijadikan sebagai lambang
nasionalis untuk menjawab pembaratan pakaian resmi laki-laki berupa jas dan
celana panjang. Sementara untuk perempuan, Bung Karno tetap mendorong
penggunaan kain panjang dan kebaya sebagai simbol nasional, meskipun dengan
kritik bahwa pilihan itu lebih termotivasi pilihan pribadi Soekarno. Bukan
hanya di tempat umum, pakaian di dalam rumah pun menunjukkan kelas sosial dan
etnis. Pembagian itu terlihat dari foto-foto lama yang tersimpan di arsip di
Belanda. Lintasan sejarah Sudah
banyak penelitian dan buku ditulis mengenai peran pakaian dari waktu ke
waktu, dari berbagai enis dan suku, hingga ke era konsumsi lanjut.
Dokumentasi tertulis, foto-foto, hingga baju dan hiasan tubuh, mulai dari
tutup kepala, kalung, anting, gelang hingga penutup kaki dari masa lalu
adalah saksi perubahan yang terjadi. Busana
dalam pengkategorian yang lebih bebas dari sisi mode dibagi menjadi pakaian
adat dan pakaian sehari-hari. Pakaian adat dikenakan oleh manusia modern
hanya pada saat mengikuti acara adat atau berada di dalam lingkungan adat
tertentu. Di
dalam pakaian adat Jawa, Sunda, dan Bali untuk laki-laki, kain panjang yang
dililit di tubuh bagian bawah masih digunakan. Pelengkapnya adalah jas pendek
dan ikat pinggang lebar dari kain. Selain itu masih ada tutup kepala. Bagi
perempuan, kain panjang dan kebaya yang dikancingkan di depan menjadi
keharusan, meskipun pada pakaian pengantin dari daerah Solo dan Yogya dikenal
juga busana pengantin yang tidak memakai penutup dada untuk laki-laki
sementara bagi perempuan pundak dibiarkan terbuka dan bagian dada ditutup
oleh kain yang dililit. Corak
kain, jenis kain dan hiasan bordir pada kebaya, perhiasan kalung, gelang,
alas kaki, dan penutup kepala menentukan tingkat sosial pemakainya. Walaupun
sejak lebih dua dekade terakhir aturan itu semakin hilang batas-batasnya. Dalam
lintasan sejarah, busana mengalami perubahan sejalan dengan hadirnya
budaya-budaya besar di Nusantara. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang
Budaya (Gramedia Pustaka Utama, 1990) dalam buku pertama dari tiga buku,
“Batas-batas Pembaratan” melihat alasan di balik penerimaan terhadap pakaian
laki-laki ala Barat sementara perempuan tetap berkain dan berkebaya. Lombard
menduga, salah satu alasan adalah lebih murah membeli pakaian laki-laki
bergaya Barat daripada pakaian tradisional. Dia mengutip artikel tahun 1924
di majalah Djawa tanpa nama penulis yang mencatat berdasarkan angket, pilihan
pada busana Barat karena harga pantalon dan kemeja adalah 11,80 gulden.
Sementara, biaya membeli sepotong kain, satu surjan (kemeja tradisonal
sehari-hari pria Jawa), dan satu blangkon adalah 17 gulden. Di
dalam buku kedua, “Jaringan Asia”, Lombard mencatat asal-usul pakaian yang
dijahit muncul perlahan pada abad ke-15 dan ke-16. Budaya dari Cina
memengaruhi pengenalan busana yang dijahit. Celana lebar-hitam dan baju tanpa
kerah warna hitam berasal dari pakaian orang Kanton, China. Pakaian ini
secara tradisional dikenakan para pesilat serta petani di Jawa dan Madura
(hal 318). Sebelumnya, relief di candi-candi memperlihatkan laki-laki dan
perempuan hanya memakai kain penutup bagian bawah tubuh sementara dada
terbuka. Pengaruh
Islam dalam catatan Lombard berperan pada busana Nusantara. Istilah celana,
seluar, baju, dan kebaya etimologinya mengacu pada bagian barat Samudera
Hindia. Outward Appearrances juga mencatat pengaruh budaya Islam pada pakaian
laki-laki berupa jubah dan busana perempuan yang menutup tubuh. Pengaruh itu
termasuk model kebaya yang tertutup hingga ke pangkal leher meskipun pada
awal abad ke-19 tidak disertai penutup kepala. Penutup
kepala berupa selendang yang disampirkan ataupun hijab yang lebih rapat jelas
menunjukkan pengaruh Islam. Busana ini juga menjadi pembeda bukan hanya
berbasis agama, tetapi juga kelas sosial. Sejak era 1980-an hijab semakin
populer dan pada tahun 1990-an mulai muncul pergelaran busana muslimah.
Busana di sini menunjukkan status multidimensi berdasarkan agama, status
sosial karena busana yang mengikuti mode harganya relatif mahal, dan cita
rasa pemakai yang dilekatkan bukan pada fungsi pakaian, tetapi pada desain,
jenis kain, warna, dan siapa perancang pakaian itu. Penanda Diskurus
tentang pakaian—lebih tepatnya mode—menarik perhatian Roland Barthes, seorang
ahli semiotika. Barthes yang menulis buku The Fashion System menjelaskan
hubungan kompleks antara penanda (busana) dan yang ditandakan oleh busana.
Makna dari penanda busana ditentukan dari hubungan antara busana sebagai
obyek dengan pendukung (misalnya, warna baju) dan variasinya (corak/motif).
Hubungan keduanya selalu merupakan konotasi atau memiliki makna lain dari
sekadar yang tampak sebagai obyek (pakaian). Pada
masyarakat konsumer, di mana konsumsi menjadi penggerak ekonomi dan karenanya
didorong, mengonsumsi suatu obyek bukan semata-mata karena fungsi dasar obyek
itu. Pakaian, misalnya, dimiliki bukan hanya untuk menutup dan melindungi
tubuh dari panas atau dinginnya udara. Jean Baudrillard menyebut, obyek
dikonsumsi lebih untuk menandakan status daripada kebutuhan. Konsumsi
menghasilkan pembedaan dari yang lain karena pada obyek melekat nilai tanda selain
nilai guna, nilai tukar, dan nilai simbolik. Pandangan-pandangan
di atas menjelaskan bahwa obyek konsumsi—dalam hal ini busana—tidak lagi
dikonsumsi semata-mata karena fungsi aslinya. Pakaian memiliki juga nilai
simbolik dan menjadi tanda, dalam hal ini status. Pakaian
masyarakat suku atau etnis yang dikenakan Jokowi dalam berbagai kesempatan
harus dilihat dalam satu rangkaian. Baju asli masyarakat Baduy yang sederhana
menjadi kontras dengan busana adat dari Lampung yang dipakai pada upacara Peringatan
Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka, 17 Agustus 2021 pagi. Baju
itu berpotongan jas tutup dan pantalon dilengkapi selempang songket berbenang
keemasan, sabuk berornamen warna emas, dengan tutup kepala berbahan songket.
Satu-satunya pesan nyata dari rangkaian pakaian Jokowi adalah keragaman
pakaian adat Indonesia yang mendapat pengaruh dari berbagai budaya dunia yang
singgah ke Nusantara dan Indonesia hingga sekarang. Bila
jas, pantalon, dan dasi sering dianggap sebagai busana resmi di luar acara
adat, Jokowi menggunakan baju adat suku-suku di Indonesia, termasuk pakaian
asli warga Baduy, sebagai pakaian resmi untuk acara resmi kenegaraan. Tidak
semua akan segera sependapat, tetapi pembiasaan terus menerus melalui waktu
akan menguji apakah masyarakat luas dapat menerima dan kemudian mencontoh. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/simbol-dalam-pakaian/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar