Senin, 23 Agustus 2021

 

Simbol dalam Pakaian

Ninuk M Pambudy ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ketika menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR RI 2021 Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat suku Baduy. Dari waktu ke waktu Jokowi selalu memakai pakaian adat suku-suku di Indonesia dalam Sidang Tahunan MPR.

 

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, busana pilihan Presiden kali ini sederhana sekali.

 

Bagi yang pernah berhubungan dengan suku Baduy akan mengenal kesederhanaan busana masyarakat Baduy. Kainnya terbuat dari benang pintalan sendiri, ditenun dengan alat tenun bukan mesin, dan teksturnya kasar. Modelnya sederhana, kemeja lengan panjang tanpa kerah dengan bukaan depan. Padanannya celana panjang longgar. Semua dalam warna hitam, dibuat memakai pewarna alam pada cara pembuatan asli. Melengkapi busana tersebut, Jokowi memakai tas selempang yang secara tradisional dibuat dari kulit pohon. Alas kakinya sepatu sandal terbuka dengan ikat kepala dari kain yang sama sederhananya.

 

Jokowi menjelaskan alasannya memilih busana yang disiapkan Ketua Adat Masyarakat Baduy Jaro Saija. Menurut laman Sekretariat Kabinet, Jokowi memilih busana Baduy “…karena desainnya yang sederhana, simpel, dan nyaman dipakai,”

 

Pakaian sebagai simbol bukan barang baru dalam sosiologi, antropologi, filsafat, dan psikologi. Dalam Outward Appereances. Dressing State & Society in Indonesia (Henk Schulte Nordholt, editor; KITLV Press, 1997) yang membahas mengenai busana dan gaya hidup masyarakat pada era kolonial Hinda Belanda hingga awal masa kemerdekaan Indonesia, pakaian jelas menunjukkan jati diri seseorang.

 

Pakaian juga menunjukkan kekuasaan imperialisme pada masyarakatnya, penundukan oleh pemerintahan kolonial pada masyarakat biasa melalui pengaturan jenis pakaian yang dengan cukup rinci ditunjukkan oleh Kees van Dijk. Strata sosial bukan hanya dibagi atas kelas bangsawan (Jawa), rakyat biasa, dan budak yang ditentukan oleh raja-raja dan para bangsawan, tetapi juga atas etnis masyarakat yang dilekatkan dengan kedudukan hukumnya pada masa kolonial.

 

Ketika ditelisik memakai pendekatan jender seperti ditawarkan oleh Jean Geman Taylor di dalam Outward Appearances, meskipun berangkat dari titik yang “sama”, tetapi kedatangan budaya-budaya besar ke Nusantara dan penjajahan Hindia Belanda membawa konsekuensi berbeda pada busana perempuan ketika Indonesia merdeka.

 

Salah satunya adalah penggunaan peci yang oleh Soekarno dijadikan sebagai lambang nasionalis untuk menjawab pembaratan pakaian resmi laki-laki berupa jas dan celana panjang. Sementara untuk perempuan, Bung Karno tetap mendorong penggunaan kain panjang dan kebaya sebagai simbol nasional, meskipun dengan kritik bahwa pilihan itu lebih termotivasi pilihan pribadi Soekarno.

 

Bukan hanya di tempat umum, pakaian di dalam rumah pun menunjukkan kelas sosial dan etnis. Pembagian itu terlihat dari foto-foto lama yang tersimpan di arsip di Belanda.

 

Lintasan sejarah

 

Sudah banyak penelitian dan buku ditulis mengenai peran pakaian dari waktu ke waktu, dari berbagai enis dan suku, hingga ke era konsumsi lanjut. Dokumentasi tertulis, foto-foto, hingga baju dan hiasan tubuh, mulai dari tutup kepala, kalung, anting, gelang hingga penutup kaki dari masa lalu adalah saksi perubahan yang terjadi.

 

Busana dalam pengkategorian yang lebih bebas dari sisi mode dibagi menjadi pakaian adat dan pakaian sehari-hari. Pakaian adat dikenakan oleh manusia modern hanya pada saat mengikuti acara adat atau berada di dalam lingkungan adat tertentu.

 

Di dalam pakaian adat Jawa, Sunda, dan Bali untuk laki-laki, kain panjang yang dililit di tubuh bagian bawah masih digunakan. Pelengkapnya adalah jas pendek dan ikat pinggang lebar dari kain. Selain itu masih ada tutup kepala. Bagi perempuan, kain panjang dan kebaya yang dikancingkan di depan menjadi keharusan, meskipun pada pakaian pengantin dari daerah Solo dan Yogya dikenal juga busana pengantin yang tidak memakai penutup dada untuk laki-laki sementara bagi perempuan pundak dibiarkan terbuka dan bagian dada ditutup oleh kain yang dililit.

 

Corak kain, jenis kain dan hiasan bordir pada kebaya, perhiasan kalung, gelang, alas kaki, dan penutup kepala menentukan tingkat sosial pemakainya. Walaupun sejak lebih dua dekade terakhir aturan itu semakin hilang batas-batasnya.

 

Dalam lintasan sejarah, busana mengalami perubahan sejalan dengan hadirnya budaya-budaya besar di Nusantara. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Gramedia Pustaka Utama, 1990) dalam buku pertama dari tiga buku, “Batas-batas Pembaratan” melihat alasan di balik penerimaan terhadap pakaian laki-laki ala Barat sementara perempuan tetap berkain dan berkebaya.

 

Lombard menduga, salah satu alasan adalah lebih murah membeli pakaian laki-laki bergaya Barat daripada pakaian tradisional. Dia mengutip artikel tahun 1924 di majalah Djawa tanpa nama penulis yang mencatat berdasarkan angket, pilihan pada busana Barat karena harga pantalon dan kemeja adalah 11,80 gulden. Sementara, biaya membeli sepotong kain, satu surjan (kemeja tradisonal sehari-hari pria Jawa), dan satu blangkon adalah 17 gulden.

 

Di dalam buku kedua, “Jaringan Asia”, Lombard mencatat asal-usul pakaian yang dijahit muncul perlahan pada abad ke-15 dan ke-16. Budaya dari Cina memengaruhi pengenalan busana yang dijahit. Celana lebar-hitam dan baju tanpa kerah warna hitam berasal dari pakaian orang Kanton, China. Pakaian ini secara tradisional dikenakan para pesilat serta petani di Jawa dan Madura (hal 318). Sebelumnya, relief di candi-candi memperlihatkan laki-laki dan perempuan hanya memakai kain penutup bagian bawah tubuh sementara dada terbuka.

 

Pengaruh Islam dalam catatan Lombard berperan pada busana Nusantara. Istilah celana, seluar, baju, dan kebaya etimologinya mengacu pada bagian barat Samudera Hindia. Outward Appearrances juga mencatat pengaruh budaya Islam pada pakaian laki-laki berupa jubah dan busana perempuan yang menutup tubuh. Pengaruh itu termasuk model kebaya yang tertutup hingga ke pangkal leher meskipun pada awal abad ke-19 tidak disertai penutup kepala.

 

Penutup kepala berupa selendang yang disampirkan ataupun hijab yang lebih rapat jelas menunjukkan pengaruh Islam. Busana ini juga menjadi pembeda bukan hanya berbasis agama, tetapi juga kelas sosial. Sejak era 1980-an hijab semakin populer dan pada tahun 1990-an mulai muncul pergelaran busana muslimah. Busana di sini menunjukkan status multidimensi berdasarkan agama, status sosial karena busana yang mengikuti mode harganya relatif mahal, dan cita rasa pemakai yang dilekatkan bukan pada fungsi pakaian, tetapi pada desain, jenis kain, warna, dan siapa perancang pakaian itu.

 

Penanda

 

Diskurus tentang pakaian—lebih tepatnya mode—menarik perhatian Roland Barthes, seorang ahli semiotika. Barthes yang menulis buku The Fashion System menjelaskan hubungan kompleks antara penanda (busana) dan yang ditandakan oleh busana. Makna dari penanda busana ditentukan dari hubungan antara busana sebagai obyek dengan pendukung (misalnya, warna baju) dan variasinya (corak/motif). Hubungan keduanya selalu merupakan konotasi atau memiliki makna lain dari sekadar yang tampak sebagai obyek (pakaian).

 

Pada masyarakat konsumer, di mana konsumsi menjadi penggerak ekonomi dan karenanya didorong, mengonsumsi suatu obyek bukan semata-mata karena fungsi dasar obyek itu. Pakaian, misalnya, dimiliki bukan hanya untuk menutup dan melindungi tubuh dari panas atau dinginnya udara. Jean Baudrillard menyebut, obyek dikonsumsi lebih untuk menandakan status daripada kebutuhan. Konsumsi menghasilkan pembedaan dari yang lain karena pada obyek melekat nilai tanda selain nilai guna, nilai tukar, dan nilai simbolik.

 

Pandangan-pandangan di atas menjelaskan bahwa obyek konsumsi—dalam hal ini busana—tidak lagi dikonsumsi semata-mata karena fungsi aslinya. Pakaian memiliki juga nilai simbolik dan menjadi tanda, dalam hal ini status.

 

Pakaian masyarakat suku atau etnis yang dikenakan Jokowi dalam berbagai kesempatan harus dilihat dalam satu rangkaian. Baju asli masyarakat Baduy yang sederhana menjadi kontras dengan busana adat dari Lampung yang dipakai pada upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka, 17 Agustus 2021 pagi.

 

Baju itu berpotongan jas tutup dan pantalon dilengkapi selempang songket berbenang keemasan, sabuk berornamen warna emas, dengan tutup kepala berbahan songket. Satu-satunya pesan nyata dari rangkaian pakaian Jokowi adalah keragaman pakaian adat Indonesia yang mendapat pengaruh dari berbagai budaya dunia yang singgah ke Nusantara dan Indonesia hingga sekarang.

 

Bila jas, pantalon, dan dasi sering dianggap sebagai busana resmi di luar acara adat, Jokowi menggunakan baju adat suku-suku di Indonesia, termasuk pakaian asli warga Baduy, sebagai pakaian resmi untuk acara resmi kenegaraan. Tidak semua akan segera sependapat, tetapi pembiasaan terus menerus melalui waktu akan menguji apakah masyarakat luas dapat menerima dan kemudian mencontoh. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/simbol-dalam-pakaian/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar