Ihwal Hak Komunal atas Tanah
Maria
SW Sumardjono ;
Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 06 Juli 2015
Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu terbit 12 Mei 2015. Setiap
kebijakan/peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk memperkuat
hak-hak masyarakat tentu harus didukung. Meski demikian, agar peraturan ini
dapat dilaksanakan secara efektif, beberapa hal memerlukan klarifikasi.
Peraturan menteri
(permen) ini terbit untuk memenuhi tersedianya suatu pedoman sebagai
pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Kehutanan RI,
Menteri Pekerjaan Umum RI, dan Kepala Badan Pertanahan RI Nomor 79 Tahun 2014
tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan
Hutan, khususnya untuk tanah-tanah masyarakat hukum adat atau MHA (lihat
tulisan Myrna Safitri, ”Mencari Perusak Hutan”, Kompas, 10/3/2015). Permen
tentang Hak Komunal (HK) ini tampaknya lebih menonjolkan sisi proseduralnya
ketimbang konsepsi dasar terkait dengan subyek yang diatur.
Ketika berbicara
tentang ”hak”, ada empat unsur yang harus dipenuhi, yakni subyek, obyek,
hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban, dan perlindungan
hukumnya. Unsur subyek menempati kedudukan terpenting. Ketidakjelasan tentang
subyek akan berimbas pada ketidakjelasan tiga unsur lainnya.
Beberapa pertanyaan
mendasar dapat diajukan dalam permen ini. Pertama, apakah HK ini sama atau
dipersamakan dengan hak ulayat MHA sebagaimana pengertian teknis yuridis yang
dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku? Kedua, di mana
tempat HK dalam sistem hukum pertanahan nasional sesuai Penjelasan Umum II
(2) UU Pokok Agraria (UUPA)? Ketiga, karena pengertian HK dalam Pasal 1 Angka
1 permen terdiri atas dua kelompok subyek, yakni MHA dan non-MHA, bagaimana
dengan cara terjadinya HK masing-masing? Keempat, karena dengan berlakunya
permen ini Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat telah dicabut, bagaimana dengan eksistensi hak ulayat sebagaimana
diatur dalam UUPA dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Hak komunal dan hak ulayat
Tampaknya permen
menyamakan hak komunal dengan hak ulayat. Dalam pembicaraan sehari-hari,
menggunakan istilah ”hak komunal”, ”tanah milik bersama”, ”hak ulayat”
barangkali lebih ”bebas” karena tak ada implikasi hukumnya. Namun, ketika
istilah itu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan harus jelas
konsepsinya karena ada implikasi hukumnya. Penyamaan itu antara lain tampak
dalam konsiderans huruf b ”bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui
adanya hak komunal dan yang serupa itu dari MHA, sepanjang pada kenyataannya
masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.”
Sebagaimana diketahui
Pasal 3 UUPA tak menyebutkan tentang HK, tetapi merumuskan tentang hak
ulayat. Demikian juga dari rumusan Pasal 17 permen yang berbunyi sebagai
berikut: ”MHA dan hak atas tanahnya yang sudah ada dan telah ditetapkan
sebelum permen ini berlaku tetap sah dan dapat diberikan hak komunal atas
tanahnya”, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan hak MHA yang sudah ada
itu sejatinya adalah hak ulayat sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan
daerah, yang oleh permen disamakan atau bahkan diganti dengan HK.
Merancukan HK dengan
hak ulayat dalam permen itu hakikatnya adalah membangun fiksi hukum, karena
hak ulayat dan HK itu punya karakteristik berbeda, tetapi oleh permen
dianggap sama. Hak ulayat itu berdimensi publik sekaligus perdata. Dimensi
publiknya tampak dalam kewenangan MHA untuk mengatur (1) tanah/wilayah
sebagai ruang hidupnya terkait pemanfaatannya termasuk pemeliharaannya; (2)
hubungan hukum antara MHA dan tanahnya; dan (3) perbuatan hukum terkait
dengan tanah MHA. Dimensi perdata hak ulayat tampak dalam manifestasi hak
ulayat sebagai kepunyaan bersama. Hak ulayat itu bukan hak atas tanah
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 jo Pasal 16 UUPA. Sebaliknya, HK atas
tanah itu dimaknai sebagai hak atas tanah (Pasal 1 Angka 10 Permen).
Lebih lanjut, karena
HK itu dikategorikan sebagai hak atas tanah, maka terhadap HK dapat
diterbitkan sertifikatnya (Pasal 13 Ayat (3) Permen). Sebaliknya, karena hak
ulayat itu bukan hak atas tanah, maka keberadaan hak ulayat itu dinyatakan
dalam peta dasar pendaftaran tanah dan apabila batas-batasnya dapat
ditentukan menurut tata cara pendaftaran tanah, batas tersebut digambarkan
pada peta dasar pendaftaran tanah dan dicatat dalam daftar tanah; di atas
tanah ulayat itu tidak diterbitkan sertifikat. Dengan dicabutnya Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999
perihal pendaftaran hak ulayat ini menjadi tidak jelas nasibnya!
Isu kedua, kedudukan
hak komunal MHA dalam sistem hukum tanah nasional. Mengacu Penjelasan Umum II
(2) UUPA, dalam hubungan antara negara dan tanah terdapat tiga entitas tanah:
(1) tanah negara yang kewenangannya beraspek publik; (2) tanah hak yang
dipunyai orang perorangan atau badan hukum yang kewenangannya beraspek
perdata; dan (3) tanah ulayat MHA yang kewenangannya beraspek publik dan
perdata.
Bagaimana dengan hak
komunal MHA atas tanah yang dimaksud oleh permen? Terhadap HK yang subyek
hukumnya adalah MHA, jelas tak dapat dimasukkan dalam kategori hak ulayat
karena HK hanya berdimensi perdata. Apakah hak komunal MHA sebagai hak atas
tanah dapat dikategorikan sebagai hak atas tanah menurut UUPA dengan segala
isi kewenangannya: mengalihkan, mewariskan, menjadikan hak atas tanah sebagai
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan? Tampaknya hal ini juga bukan
karakteristik HK karena Pasal 14 Permen menyebutkan bahwa hak komunal MHA
yang telah bersertifikat dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
Barangkali jika hak
komunal MHA disandingkan dengan hak ulayat MHA dapat dicermati konsepsi tentang
ulayat nagari dan ulayat kaum di Minangkabau. Ulayat nagari adalah hak ulayat
yang secara teknis yuridis dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Nagari terdiri
dari kelompok masyarakat yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu,
mempunyai pemerintahan sendiri dan harta kekayaan sendiri, lengkap dengan
pengaturannya. Adapun ulayat kaum tak termasuk kategori tanah ulayat secara
teknis yuridis, tetapi merupakan tanah milik adat yang bersifat komunal atau
tanah milik kaum. Kaum adalah suatu kelompok (persekutuan) yang memiliki satu
bidang atau beberapa bidang tanah secara komunal dan turun-temurun di bawah
pimpinan mamak kepala waris (Kurnia Warman, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak
Milik, Andalas University Press, 2006). Barangkali yang dimaksudkan hak komunal
MHA atas tanah dalam permen ini adalah yang sesuai dengan karakteristik tanah
kaum itu.
Isu ketiga, HK itu
didefinisikan sebagai ”hak milik bersama atas tanah suatu MHA atau hak milik
bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan
hutan atau perkebunan” (Pasal 1 Angka 1 Permen). Suatu definisi dimaksudkan
untuk memberikan pengertian tentang suatu hal yang akan digunakan secara
berulang dalam rumusan pasal peraturan perundang-undangan itu. Definisi
haruslah tegas sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Dengan demikian,
definisi tentang HK itu tidak lazim karena menyatukan dua kelompok yang
berbeda karakteristiknya dalam satu definisi.
Sesuai dengan permen,
HK itu terdiri atas dua kelompok subyek, yakni hak milik bersama atas tanah
yang subyeknya MHA dan hak milik bersama atas tanah yang subyeknya masyarakat
non-MHA. Bahwa dua kelompok itu berbeda dapat dicermati pada Pasal 3 Ayat (1)
dan (2) Permen, masing-masing terkait persyaratan MHA dan persyaratan
masyarakat non-MHA.
Walaupun keberadaan
dua subyek hak itu ditetapkan oleh bupati/wali kota atau gubernur, perlu
ditegaskan bahwa terhadap MHA, penetapan itu harus dimaknai sebagai
pengukuhan terhadap keberadaan MHA yang bersifat deklaratif sebagaimana
ditegaskan dalam Putusan MK No 85/PUU-XII/2013 terhadap UU No 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air; dan bahwa HK itu sejatinya berada di atas tanah
bersama milik (adat)nya sendiri (lihat Putusan MK No 35/PUU-X/2012 terhadap
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Sebaliknya, terhadap keberadaan
masyarakat non-MHA, penetapan pejabat itu bersifat konstitutif dan pemberian
HK-nya dilakukan di atas tanah negara yang telah dilepaskan dari kawasan
hutan atau perkebunan.
Keempat, masalah
pencabutan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999. Karena terdapat kerancuan antara hak ulayat dan HK, patut
dipersoalkan dampak pencabutan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 17 Permen dapat dimaknai sebagai
pemberian kesempatan kepada MHA dan hak ulayatnya yang diakui dan dikukuhkan
keberadaannya (umumnya melalui perda) untuk diberikan HK atas tanahnya.
Bagaimana hak ulayat
yang secara teknis yuridis diatur dalam berbagai perda itu yang sama sekali
berbeda karakteristiknya dengan HK dapat diberikan HK? Dengan dicabutnya
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999, lalu bagaimana dengan penjabaran pengaturan tentang hak ulayat
dalam Pasal 3 UUPA di bidang pertanahan? Apakah dengan terbitnya permen itu
hak ulayat sudah tak perlu diatur karena telah digantikan dengan HK? Patut
dicatat bahwa dalam rangka pelaksanaan Perber Nomor 79 Tahun 2014 Kementerian
Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA. Ketika
mengatur tentang substansi yang sama, bagaimana harmonisasi antara permen dan
permendagri?
Perlu sikap tegas
Penguatan hak
masyarakat, termasuk MHA atas tanah yang merupakan ruang hidupnya, merupakan
keniscayaan. Dalam upaya mewujudkan hal itu perlu ketegasan sikap pemerintah
terhadap pengakuan dan perlindungan hak MHA atas tanahnya. Permen ini
menimbulkan kerancuan antara hak ulayat dan hak komunal. Di satu pihak pengaturan
tentang HK menimbulkan ketidakpastian hukum, di pihak lain terjadi kekosongan
hukum dalam pengaturan tentang hak ulayat dengan dicabutnya Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.
Saat ini masih
diperlukan pengaturan tentang hak ulayat MHA dengan mengakomodasi putusan MK
yang relevan serta harmonisasinya dengan peraturan perundang-undangan lain.
Memperkenalkan entitas baru (HK) dalam peraturan perundang-undangan itu
sah-sah saja sepanjang landasan filosofis, yuridis, dan sosiologisnya kuat.
Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, di samping tidak ada jaminan kepastian
hukum, peraturan itu menjadi tidak bermanfaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar