Sensitivitas
Retoris Elite Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta |
SINDONEWS, 3 Agustus 2021
SITUASI pandemi yang dialami masyarakat saat
ini, tak hanya memunculkan kerawanan dari sisi kesehatan, melainkan juga dari
sisi sosial dan psikologis. Dampak ikutan nyata yang kerap kita temukan
antara lain terpuruknya banyak usaha terutama skala menengah dan kecil,
pemutusan hubungan kerja karyawan, dan hilangnya kemampuan bertahan di tengah
tekanan yang dialami masyarakat. Butuh peran serta semua pihak, terutama
hadirnya negara dalam menopang optimisme warga dengan menghadirkan manajemen
kebencanaan nasional yang terukur, memberi keyakinan dan berdampak pada
perbaikan mendesak. Hal lain yang diperlukan adalah kemampuan membangun
empati di situasi sulit seperti saat ini. Mereka yang menjadi tokoh, public figure, opinion makers dan
lain-lain harus mengembangkan sensitivitas retoris saat berkomentar di media
massa maupun di media sosial. Komunikasi Empatik Salah satu yang dapat menciptakan kondusifnya
situasi di kala pandemi adalah komunikasi empatik. Dalam perspektif akademik,
komunikasi empatik adalah komunikasi yang menunjukkan adanya saling
pengertian antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi ini menciptakan
interaksi yang membuat satu pihak memahami sudut pandang pihak lainnya.
Tujuan dari komunikasi empatik mengutip tulisan Cristina Lundqvist-Persson,
Empathic Communication, its Background and Usefulness in Paediatric Care
(2017), mencegah konsekuensi yang tidak menguntungkan dari komunikasi yang
sembrono dan non-profesional. Komunikasi empatik juga dapat menjadi salah
satu bentuk promosi kesehatan, karena menciptakan kondisi untuk perubahan,
pertumbuhan dan perkembangan dalam hubungan interpersonal secara umum. Dengan
demikian benang merah dari komunikasi empatik tertuju pada perbaikan kualitas
komunikasi dengan mengembangkan cara memahami, saling menguatkan dan
meminimalkan potensi komunikasi yang dapat menjatuhkan mental komunikan. Coba bayangkan di saat situasi serbasulit, ada
sejumlah pejabat dan politisi yang seharusnya berkomitmen mengayomi tetapi
justru berkomunikasi yang tidak menunjukkan sesitivitas retorisnya. Contoh,
beberapa waktu lalu ada politisi dan juga anggota DPR RI dari sebuah partai
yang menyampaikan usulan agar pemerintah membuat rumah sakit khusus Covid-19
bagi para pejabat. Sontak pernyataan yang disampaikan Rabu (7/7/2021) tersebut
memantik kekesalan publik dan membuat partai tempat politisi tersebut
bernaung, harus meminta maaf secara terbuka. Komunikasi yang sembrono, dan
tidak peka dengan kondisi yang sedang dialami banyak orang. Belum usai polemik pernyataan tersebut, muncul
lagi usulan tidak simpatik dari Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat.
Mereka berencana menyiapkan fasilitas hotel untuk isolasi mandiri atau isoman
anggota DPR yang positif Covid-19. Meskipun penyediaan fasilitas isoman akan
menggunakan dana dari anggaran perjalanan dinas luar negeri atau honor
narasumber kegiatan yang tidak terpakai di masa pandemi, tetap saja hakikat
uang yang digunakan tersebut adalah yang rakyat! Sementara rakyat sedang
membutuhkannya. Lihat saja antrean pembelian oksigen, penuhnya rumah sakit,
antrian pembelian obat di apotik dan lain-lain. Di lain waktu, ada juga salah seorang pejabat
yang menunjukkan ketidaksukaannya dikritik atas kekurangan pemerintah dalam
penanganan Covid-19. Hal yang lumrah di era demokrasi terbuka, kritik menjadi
masukan dan sekaligus bahan evaluasi untuk perbaikan kinerja. Pernyataan
verbal agresif dari salah seorang menteri di kabinet Jokowi menunjukkan
abainya dia dengan aspek ethos dan phatos dalam beretorika di hadapan warga
yang lagi terluka. Dia berperhatian pada aspek logos yang berkaitan dengan
penggunaan argumentasi dan fakta-fakta, tetapi aspek ethos kredibilitas
komunikator dan pathos berkaitan yang dengan dimensi yang menyentuh emosi
diabaikan. Sebagai representasi pemerintah, pernyataannya harus lebih bijak,
mengayomi, memberi arahan, menumbuhkan keyakinan, jangan true claim bahwa
pihaknya telah dapat mengendalikan keadaan. Pandemi tak akan bisa diselesaikan oleh
pemerintah sendirian. Oleh karenanya jangan menantang publik, justru harusnya
merangkul bukan memukul, menciptkan harmoni bukan memaki. Kekuatan Komunikasi Pandemi global Covid-19 ini secara faktual
melahirkan disonansi kognitif di kalangan masyarakat. Istilah disonansi
kognitif ini dikenalkan oleh Leon Festinger dalam buku lawasnya A Theory of
Cognitive Dissonance(1957). Festinger memaknainya sebagai perasaan
ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan
perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil
langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Salah satu yang bisa
menyebabkan disonansi ialah inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang
mengingkari logika berfikir lain. Lihat saja ketidakpastian dan ketidaknyaman
akibat pandemi ini telah melahirkan berbagai informasi yang memenuhi
kanal-kanal percakapan warga. Mulai dari informasi cara mengatasi virus,
prosedur isolasi mandiri, dampak paparan virus, hingga hal-hal lain yang
dialami sehari-hari warga selama pemberlakukan berbagai aturan yang
diterapkan pemerintah. Di situasi yang menunjukkan kuatnya gejala disonansi
kognitif inilah, salah satu solusinya adalah kekuatan komunikasi. Para pihak
yang berkaitan dengan optimalisasi kekuatan komunikasi harus bersinergi
mengatasi pandemi. Pertama, pemeritah sebagai pihak yang diberi
kewenangan untuk mengeksekusi beragam kebijakan dari pusat hingga ke daerah.
Potensi birokrasi, mulai dari anggaran, sumberdaya manusia, hingga kewenangan
yang ada harus dioptimalkan untuk menunjang komunikasi publik pemerintah yang
jelas dan terarah. Target capaian setiap tahapannya harus terkontrol dan
memiliki strategi dalam arus besar manajemen bencana nasional Covid-19.
Performa komunikatif baik ritual, hasrat, sosial, politis maupun enkulturasi
harus dioptimalisasi guna penanganan pandemi. Ego sektoral kelembagaan,
absurditas kewenangan, ambiguitas pesan, ketidakjelasan anggaran, serta
ketidaksiapan penyesuaian implementasi strategi di lapangan, harus
mendapatkan perhatian untuk menguatkan komunikasi pandemi. Kedua, media massa yang menjadi kanal informasi
warga harus lebih terpercaya. Salah satu problem nyata di era pandemi adalah
gelombang informasi yang tak bertanggungjawab yang hampir setiap saat
diproduksi dan didiseminasikan ke khalayak. Media massa harusnya menjadi
garda terdepan yang mengabarkan kebenaran. Salah satu pembeda media massa
dari media sosial adalah proses seleksi informasi. Selama masa pandemi, media
harus all out menyeleksi beragam informasi yang masuk ke redaksi. Betul-betul
memilah dan memilih, bukan hanya soal akurasi informasi, melainkan juga
memerhatikan konteks sosio-psikologis warga. Media bisa memerankan diri
sebagai katalisator kebersamaan, motivator untuk membangun optimisme
sekaligus pengontrol dari beragam potensi penyelewengan. Ketiga, kelompok elite baik di suprastruktur
maupun infrastruktur politik harus turut menciptakan situasi kondusif dengan
pernyataan-pernyataan dan sikapnya yang solutif. Bukan hanya memikirkan
keuntungan pribadi dan kelompok semata dengan menjadi penunggang gelap di
tengah keterpurukan, melainkan bisa menjadi suar. Bangsa ini lagi memerlukan
sosok-sosok pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan perubahan secara
bersama-sama. Sekat-sekat politis baik partai politik, ideologi, kepentingan
kontestasi dan lain-lain harus ditekan di bawah kepentingan bersama, yakni
keluar dari keterpurukan pandemi Covid-19. Komunikasi empatik dengan mengembangkan
sensitivitas retoris harus menjadi kesadaran untuk dipraktikkan bersama, agar
tak ada warga yang makin terluka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar