Rabu, 04 Agustus 2021

 

Dua Triliun…tapi Bo’ong

Reza Indragiri Amriel ;  Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

JAWA POS, 3 Agustus 2021

 

 

                                                           

HEROIK tenan! Pahlawan sejati!

 

Begitu guman banyak pihak saat menyimak warta tentang seorang warga yang menghibahkan uang senilai dua triliun rupiah kepada negara. Untuk penanggulangan Covid-19, katanya. Prosesi penyerahterimaan hibah pun dibikin gebyar-gebyar. Para pemuka daerah, dengan rupa-rupa seragam, tampil di hadapan awak media.

 

Tapi, ibarat komik anak yang baru belajar membaca, kisah keteladanan itu cuma terdiri atas beberapa halaman. Antiklimaks, prank total! ”Aneh”-nya, kalau dipikir ulang, kenapa publik terperanjat saat kebohongan itu tersibak?

 

Si tersangka memang bikin kegemparan dengan melakukan kebohongan di musim pagebluk. Di saat ratusan juta orang Indonesia nelangsa hidupnya, si tersangka malah asyik bikin guyonan tak lucu. Tapi, terdakwa tipikor yang notabene mantan menteri sosial juga melakukan hal serupa. Bahkan lebih parah; tersangka dua triliun belum mempermainkan uang sama sekali, sementara mantan Mensos sudah kentara besaran uang yang begitu fantastisnya. Dengan kata lain, si tersangka 2T belum mengakibatkan kerugian finansial apa pun, sedangkan mantan Mensos sudah nyata nominal kerugian yang ia akibatkan.

 

Juga tak perlu kaget sekaget-kagetnya karena setiap manusia faktanya juga mengutarakan kebohongan setiap hari. Rata-rata 1,65 kali per hari. Juga, 60 persen sudah menceritakan kebohongan hanya dalam kurun sepuluh menit sejak dimulainya percakapan. Itu semua temuan riset. Alhasil, secara alami, manusia memang makhluk pendusta alias natural liars (NL).

 

Berbohong, juga sulit diingkari, juga menunjukkan keterampilan manusia dalam mempertahankan hidup. Hanya, kebohongan yang lazim diperagakan itu tidaklah menyengsarakan pihak lain. Pada titik itulah, antara lain, perbedaan antara natural liar (NL) dan psychopathic liar (PL). Pembohong psikopat sengaja mendesain akal bulusnya demi memperoleh keuntungan (besar-besaran) bagi dirinya dan mengakibatkan kerugian (besar-besaran) terhadap korbannya.

 

Seorang NL tetap memiliki perasaan bersalah dan waswas akan konsekuensi yang harus ia tanggung jika tipu muslihatnya terbongkar. PL tidak ambil pusing terhadap itu semua. Ia tidak risau akan ditangkap, bahkan justru tertantang untuk mengadali pihak atau otoritas yang kerap dianggap tak terkelabui.

 

Di situlah perilaku si tersangka 2T menjadi sangat menggegerkan: pada efek psikologis dan sosial yang harus ditanggung –utamanya– oleh para pemuka daerah. Itulah pencederaan parah terhadap kehormatan, tingkat kecerdasan, bahkan prospek masa depan para tokoh tersebut.

 

Betapa pun demikian, peristiwa memalukan ini semestinya tidak membuat pejabat merasa amat dipermalukan. Pasalnya, peneliti juga temukan antara klaim dan kenyataan di kalangan –misalnya– personel polisi sehubungan kemampuan mereka mendeteksi kebohongan. Sebagian petugas yakin betul bahwa mereka cakap dalam meradar tanda-tanda kebohongan berkat pelatihan yang telah mereka jalani dan kepekaan mereka dalam menangkap gelagat mencurigakan.

 

Tapi, lewat sekian banyak riset terbukti mereka punya tingkat akurasi yang sama dengan orang biasa (termasuk mahasiswa), yaitu cuma 55 persen, saat menebak apakah orang yang dihadapi tengah mengutarakan kejujuran atau sedang memainkan muslihatnya. Jadi, di balik seragam dan atribut yang mereka kenakan, sejatinya para pemuka daerah setempat tetap manusia seperti kita-kita: bisa kena tipu. Penyebabnya, by default, otak manusia memproses informasi dengan anggapan bahwa hal-hal yang diindranya adalah kenyataan. Baru pada detik kesekian mulai aktif sensor-sensor yang membuat manusia lebih awas terhadap kemungkinan sebaliknya.

 

Lalu, bagaimana prospek hukum yang akan dikenakan kepada si tersangka 2T?

 

Dua hal yang membuat penasaran adalah, pertama, apa sesungguhnya niat yang melatari si tersangka mengumbar janji manis dua triliun untuk penanganan Covid-19? Termasuk, adakah tujuan lain yang sesungguhnya ingin diraih si tersangka, lebih dari sekadar memperdaya pejabat setempat dan memperoleh popularitas sesaat. Kedua, apa yang menyebabkan informasi si tersangka 2T tidak tersaring oleh lapisan birokrasi yang ada di sekian banyak institusi di wilayah yang bersangkutan? Penjelasan atas dua misteri di atas boleh jadi akan berimplikasi lebih jauh terhadap proses hukum serta penataan organisasi terkait.

 

Khusus bagi si tersangka 2T, sekiranya hasil pemeriksaan kejiwaan menyimpulkan bahwa dia mengidap masalah klinis berat semisal skizofrenia, apa boleh buat: pasal 44 KUHP (tidak dapat dimintai tanggung jawab pidana). Sekiranya dia dijerat dengan pasal penipuan, maksimal 4 tahun penjara. Iming-iming dua triliunnya ”tak berbeda” dengan lima ratus perak.

 

Atau, agar bobotnya lebih serius, jangan-jangan kebohongan si tersangka 2T akan diposisikan sebagai penganiayaan ringan yang memunculkan perasaan tidak enak. Dengan pasal-pasal pidana yang ”maksa” seperti itu, bisalah si tersangka 2T nanti dijatuhi hukuman badan berupa penjara 3 bulan atau 2 tahun 8 bulan. Plus, mungkin, denda yang jumlahnya sangat ala kadarnya.

 

Ecek-ecek, memang. Toh tidak ada pasal atau ayat pidana yang mengatur bahwa warga sipil yang sukses mengelabui pejabat daerah dan aparat penegak hukum dikenai pemberatan sanksi.

 

Allahu a’lam.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar