Dua
Triliun…tapi Bo’ong Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University of
Melbourne |
JAWA POS, 3 Agustus 2021
HEROIK tenan! Pahlawan sejati! Begitu guman banyak pihak saat menyimak warta
tentang seorang warga yang menghibahkan uang senilai dua triliun rupiah
kepada negara. Untuk penanggulangan Covid-19, katanya. Prosesi
penyerahterimaan hibah pun dibikin gebyar-gebyar. Para pemuka daerah, dengan
rupa-rupa seragam, tampil di hadapan awak media. Tapi, ibarat komik anak yang baru belajar
membaca, kisah keteladanan itu cuma terdiri atas beberapa halaman.
Antiklimaks, prank total! ”Aneh”-nya, kalau dipikir ulang, kenapa publik
terperanjat saat kebohongan itu tersibak? Si tersangka memang bikin kegemparan dengan
melakukan kebohongan di musim pagebluk. Di saat ratusan juta orang Indonesia
nelangsa hidupnya, si tersangka malah asyik bikin guyonan tak lucu. Tapi,
terdakwa tipikor yang notabene mantan menteri sosial juga melakukan hal
serupa. Bahkan lebih parah; tersangka dua triliun belum mempermainkan uang
sama sekali, sementara mantan Mensos sudah kentara besaran uang yang begitu
fantastisnya. Dengan kata lain, si tersangka 2T belum mengakibatkan kerugian
finansial apa pun, sedangkan mantan Mensos sudah nyata nominal kerugian yang
ia akibatkan. Juga tak perlu kaget sekaget-kagetnya karena
setiap manusia faktanya juga mengutarakan kebohongan setiap hari. Rata-rata
1,65 kali per hari. Juga, 60 persen sudah menceritakan kebohongan hanya dalam
kurun sepuluh menit sejak dimulainya percakapan. Itu semua temuan riset.
Alhasil, secara alami, manusia memang makhluk pendusta alias natural liars
(NL). Berbohong, juga sulit diingkari, juga
menunjukkan keterampilan manusia dalam mempertahankan hidup. Hanya,
kebohongan yang lazim diperagakan itu tidaklah menyengsarakan pihak lain.
Pada titik itulah, antara lain, perbedaan antara natural liar (NL) dan
psychopathic liar (PL). Pembohong psikopat sengaja mendesain akal bulusnya
demi memperoleh keuntungan (besar-besaran) bagi dirinya dan mengakibatkan
kerugian (besar-besaran) terhadap korbannya. Seorang NL tetap memiliki perasaan bersalah
dan waswas akan konsekuensi yang harus ia tanggung jika tipu muslihatnya
terbongkar. PL tidak ambil pusing terhadap itu semua. Ia tidak risau akan
ditangkap, bahkan justru tertantang untuk mengadali pihak atau otoritas yang
kerap dianggap tak terkelabui. Di situlah perilaku si tersangka 2T menjadi
sangat menggegerkan: pada efek psikologis dan sosial yang harus ditanggung
–utamanya– oleh para pemuka daerah. Itulah pencederaan parah terhadap
kehormatan, tingkat kecerdasan, bahkan prospek masa depan para tokoh
tersebut. Betapa pun demikian, peristiwa memalukan ini
semestinya tidak membuat pejabat merasa amat dipermalukan. Pasalnya, peneliti
juga temukan antara klaim dan kenyataan di kalangan –misalnya– personel
polisi sehubungan kemampuan mereka mendeteksi kebohongan. Sebagian petugas
yakin betul bahwa mereka cakap dalam meradar tanda-tanda kebohongan berkat pelatihan
yang telah mereka jalani dan kepekaan mereka dalam menangkap gelagat
mencurigakan. Tapi, lewat sekian banyak riset terbukti
mereka punya tingkat akurasi yang sama dengan orang biasa (termasuk
mahasiswa), yaitu cuma 55 persen, saat menebak apakah orang yang dihadapi
tengah mengutarakan kejujuran atau sedang memainkan muslihatnya. Jadi, di
balik seragam dan atribut yang mereka kenakan, sejatinya para pemuka daerah
setempat tetap manusia seperti kita-kita: bisa kena tipu. Penyebabnya, by
default, otak manusia memproses informasi dengan anggapan bahwa hal-hal yang
diindranya adalah kenyataan. Baru pada detik kesekian mulai aktif
sensor-sensor yang membuat manusia lebih awas terhadap kemungkinan
sebaliknya. Lalu, bagaimana prospek hukum yang akan dikenakan
kepada si tersangka 2T? Dua hal yang membuat penasaran adalah,
pertama, apa sesungguhnya niat yang melatari si tersangka mengumbar janji
manis dua triliun untuk penanganan Covid-19? Termasuk, adakah tujuan lain
yang sesungguhnya ingin diraih si tersangka, lebih dari sekadar memperdaya
pejabat setempat dan memperoleh popularitas sesaat. Kedua, apa yang
menyebabkan informasi si tersangka 2T tidak tersaring oleh lapisan birokrasi
yang ada di sekian banyak institusi di wilayah yang bersangkutan? Penjelasan
atas dua misteri di atas boleh jadi akan berimplikasi lebih jauh terhadap
proses hukum serta penataan organisasi terkait. Khusus bagi si tersangka 2T, sekiranya hasil
pemeriksaan kejiwaan menyimpulkan bahwa dia mengidap masalah klinis berat
semisal skizofrenia, apa boleh buat: pasal 44 KUHP (tidak dapat dimintai
tanggung jawab pidana). Sekiranya dia dijerat dengan pasal penipuan, maksimal
4 tahun penjara. Iming-iming dua triliunnya ”tak berbeda” dengan lima ratus
perak. Atau, agar bobotnya lebih serius,
jangan-jangan kebohongan si tersangka 2T akan diposisikan sebagai
penganiayaan ringan yang memunculkan perasaan tidak enak. Dengan pasal-pasal
pidana yang ”maksa” seperti itu, bisalah si tersangka 2T nanti dijatuhi
hukuman badan berupa penjara 3 bulan atau 2 tahun 8 bulan. Plus, mungkin,
denda yang jumlahnya sangat ala kadarnya. Ecek-ecek, memang. Toh tidak ada pasal atau
ayat pidana yang mengatur bahwa warga sipil yang sukses mengelabui pejabat
daerah dan aparat penegak hukum dikenai pemberatan sanksi. Allahu a’lam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar