Kelinci
dan Pikiran yang Tak Merdeka Iqbal Aji Daryono ; Penulis, tinggal di Bantul |
DETIKNEWS, 3 Agustus 2021
Pagi-pagi buta pada dua pekan lalu, tiba-tiba
anak saya menggedor-gedor pintu kamar tempat saya menjalankan semedi isoman.
Tak peduli bapaknya masih berstatus terluka karena Covid, dia berteriak.
"Paaak! Kelincinya pada keluaaar!" Dengan panik, saya pun geragapan bangun dan
melesat meninggalkan kamar. Tak beda dengan anak saya, saya pun tak peduli
bahwa sebenarnya saya masih berstatus penderita Covid meski kondisi badan
sudah mendingan. Soal positif Covid itu satu hal, tapi tentang
kelinci-kelinci yang pada keluar kandang itu perkara lain. Kelinci kami ada
banyak sekali, saya sampai malas menghitungnya. Mungkin tiga belas, mungkin
dua puluh. Itu pun cuma yang gede-gede. Sementara di dua lubang sudah ada
sekitar sepuluh bayi kelinci yang tinggal menunggu waktu untuk menyongsong
kompetisi di dunia yang kejam ini. Nah, bayangkan kelinci sebanyak itu berhasil
menjebol pagar kandang dengan gigi-gigi mereka, lalu melakukan aksi massa
rabbit power, menyerbu wilayah peradaban manusia di bagian-bagian lain rumah
saya. Dalam setengah detik, segera terbayang nasib
tanaman-tanaman hias yang sudah menghijau segar dan selama ini dirawat dengan
telaten oleh ibu saya. Terbayang juga kabel internet yang berada dalam
jangkauan lompat makhluk-makhluk itu, juga tali-tali sepatu, dan
barang-barang yang lain lagi. Maka, dalam kondisi badan yang tentu saja
belum fit benar, pagi itu saya isi dengan permainan brutal kejar-kejaran.
Saya cegat di sini, anak saya menghadang di sana. Beberapa ekor ngumpet di
balik kursi, saya sambar dengan dua tangan, dan... seettt! dengan lincahnya
mereka melompat berlari cepat sekali. Ketika setengah jam kemudian akhirnya seluruh
laskar kelinci berhasil saya masukkan kandang kembali, badan saya sudah
sangat lemas, itu pun masih saya sempatkan mengambil beberapa bongkah paving
block untuk mengganjal bagian kandang yang jebol. *** Beberapa hari setelah kejadian olahraga
ekstrem pagi-pagi itu, bayi-bayi kelinci mulai bermunculan dari buis beton
yang saya pasang sebagai lubang persembunyian. Mereka imut sekali. Ada yang
warnanya hitam, ada yang putih, ada yang coklat kusam. Kedua anak saya
beberapa kali mengambil mereka, lalu bermain-main dengan mereka di dalam
rumah, bahkan di atas kasur. Sampai kemudian saya menyadari, ada satu
pertanyaan yang mengejutkan saya sendiri: di mana lucunya makhluk-makhluk
itu? Saya coba perhatikan bayi kelinci yang hitam,
juga yang coklat kusam. Telinganya masih pendek, belum memanjang. Ekornya
tentu saja tumpul, seperti ekor orangtuanya. Lalu saya bayangkan, ketika
telinga itu diubah sedikit menjadi lebih lebar, dan ekor itu dipilin jadi
memanjang, dia tak ada bedanya dengan tikus! Bahkan gigi seri mereka yang dua
biji di depan itu pun sama persis adanya! Sampai di sini, tiba-tiba saya bergidik ngeri.
Saya sangat penakut di hadapan tikus. Tikus adalah hewan yang paling
menjijikkan buat saya, dan tak ada sedikit pun rasa welas asih saya kepada
mereka. Tetapi sekarang anak-anak saya sendiri bermain-main dengan tikus,
hanya saja tikus dengan format yang sedikit berbeda pada kuping dan ekornya! Namun kemudian saya memandangi lagi bayi-bayi
kelinci itu. Mereka memang lucu-lucu. Saya coba-coba menumbuhkan rasa ngeri
kepada mereka pun saya tak bisa. Dan dengan penuh kasih sayang kepada
bayi-bayi kelinci itu, saya minta agar anak-anak saya tidak terlalu lama
bermain dengan mereka, segera mengembalikan mereka ke kandang, biar mereka
tidak stres lalu mengakhiri hidup dengan putus asa. Sungguh itu sikap lembut yang tak bakalan saya
terapkan kepada tikus-tikus, sebab tempat paling cocok bagi tikus hanyalah
papan beroleskan lem dan kerangkeng jebakan. Dan saya semakin bingung, apa
yang membuat saya menerapkan sikap yang sungguh berbeda kepada dua spesies
hewan yang sebenarnya sangat mirip itu? Coba lihat satu persatu. Secara fisik, kelinci
dan tikus hanya berbeda sedikit sekali. Memang keliru kalau mengira mereka
sama-sama hewan pengerat. Dalam klasifikasi dunia hewan, tikus memang masuk
ordo pengerat alias Rodentia, sedangkan kelinci tergolong Lagomorpha. Tetapi,
apakah manusia berpikir tentang pembagian-pembagian ilmiah semacam itu ketika
memutuskan melihat sesuatu lucu dan tidak lucu? Saya kira tidak. Lalu semua ini tentang apa? Soal kebersihan?
Apa tikus lebih kotor, dan kelinci bersih? Lha, kata siapa kelinci tidak
kotor? Mereka bergumul dengan kotoran mereka sendiri. Bahkan mereka tidur di
tanah, sedangkan tikus-tikus beristirahat dengan mewah di celah tumpukan
perkakas pecah belah. Bukannya tikus jauh lebih bersih? Kelinci mungkin makan sampah dapur, dan itu
menjijikkan. Tapi tahukah Anda, kelinci-kelinci saya selalu jadi penyelamat
kami dari rasa bersalah setiap kali nasi dan sayur tersisa banyak, sebab
mereka pun dengan sangat lahap menyantap makanan basi sisa kemarin sore? Lalu apa sebenarnya yang membuat kelinci jadi
tampak lebih mulia derajatnya ketimbang tikus-tikus? Apakah karena tikus suka
merusak barang-barang, dan menggigiti apa pun dengan ganasnya? Lah, dikira
kelinci tidak? Coba simak lagi cerita di awal tadi. Saya sampai menempuh
risiko besar pada badan saya sendiri yang masih lemah, hanya karena saking
takutnya kelinci-kelinci itu membabat habis tanaman hias di rumah saya dan
membikin sedih ibu saya. Dan harap tahu, dulu kala makhluk yang konon
lucu itu pernah melakukan berbagai tindakan kriminal yang jauh lebih jahat
daripada yang dilakukan tikus-tikus. Mulai memutus kabel internet, memutus
jaringan listrik di mobil saya karena ada yang bisa melompat dari kolong lalu
masuk ke bawah kap mesin, bahkan membantai dua batang pohon jati. Ya, dua
pohon jati yang kokoh itu mereka gerogoti kulit batang bagian bawahnya,
sampai bersih, lalu beberapa pekan kemudian daun-daunnya berguguran dan dua
pohon itu tak lagi bisa dibangkitkan dari kematian. Lalu, sekali lagi, apa yang membuat kelinci
lebih layak mendapatkan elusan dan pangkuan, sementara tikus-tikus tidak? *** Betapa jahatnya manusia. Kita bersikap hanya
karena melihat sesuatu itu lucu dan tidak lucu, imut dan tidak imut.
Sementara, tidak ada landasan objektif apa pun dalam menentukan apakah
sesuatu pantas ataukah tidak untuk disebut imut. Semua sesuka-suka kita, yang
kemudian diabadikan dalam pembentukan kesan permanen berlandaskan prasangka,
stempel, konstruksi sosial, dan tumpukan stigma. Maka, kalau Anda bertanya-tanya kenapa masih
banyak manusia yang isi kepalanya sangat diskriminatif, jauh dari sikap mulia
terkait nilai keadilan dan kesetaraan, sebenarnya sejak berhadapan dengan
hewan-hewan pun kita sudah dengan semena-mena melakukan. Sekarang kita masuk bulan Agustus, bulan
kemerdekaan. Orang yang belajar tentang ide-ide kesetaraan dan liberalisme
agaknya perlu memelihara kelinci-kelinci seperti saya, agar mulai sadar bahwa
sesungguhnya otak dan pikiran kita tidak pernah sungguh-sungguh merdeka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar