Selasa, 03 Agustus 2021

 

Baha'i dan Tuduhan "Sesat"

Amanah Nurish ;  Antropolog Agama dan Dosen Universitäs Indonesia

DETIKNEWS, 2 Agustus 2021

 

 

                                                           

"Baha'i sesat, Baha'i sama dengan PKI"! begitu kata-kata yang sering terdengar ketika awal tahun 1990-an saat saya masih bocah ingusan. Sedikit pun kata Baha'i tidak pernah terlintas dan bertengger di kepala saya, kecuali setelah menyaksikan peristiwa beberapa pemuda yang terbalut emosi liar "mengobrak-abrik" hunian tetangga depan rumah saya yang memeluk agama Baha'i. Agama Baha'i memang sempat dilarang di Indonesia pada tahun 1962 di masa pemerintah Sukarno.

Spontan dada saya terasa sesak dan pilu melihat gerombolan pemuda itu mencoret-coret halaman rumah tetangga saya dengan cat pylox bertuliskan "Baha'i sama dengan PKI". Kisah ini saya alami ketika di kampung hidup berdampingan dengan mereka, umat Baha'i.

 

Pemahaman Sempit

 

Belakangan ini ramai isu beredarnya video Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengucapkan selamat hari raya Naw Ruz kepada umat Baha'i. Kebetulan saya juga hadir di perayaan Naw Ruz umat Baha'i yang diselenggarakan secara virtual pada Maret 2021 lalu. Tindakan dan sikap Menteri Agama rupanya menimbulkan reaksi keras bagi kalangan masyarakat yang "intoleran" dan anti "pluralisme" keberagamaan.

 

Begitulah isu agama di Indonesia yang selalu menjadi buah bibir untuk diperdebatkan, diributkan, lalu dipelintir. Tampaknya, cara masyarakat kita memandang, memaknai, dan mempraktikkan agama mirip seperti para pecinta boy band Korea yang berebut BTS meals. Sebuah brand junk food yang sempat menggegerkan pasar kuliner bagi para penggemar fanatik artis ternama Korea.

 

Kita memuja dan narsis dengan identitas agama layaknya budaya yang sedang populer di permukaan, namun mengabaikan makna substansinya. Tidak heran masyarakat kita mudah dibikin ribut oleh kehadiran agama yang notabenenya memiliki kaidah serta varian yang lebih kompleks. Jangan salah, agama bukan sekadar urusan "resmi" atau "tidak resmi", "diakui" atau "tidak diakui", namun lebih daripada urusan itu.

 

Selama ini kita diisolasi dan dikarantina oleh pemahaman yang sempit mengenai kehadiran dan identitas keagamaan. Mirip dalam "dongeng" seorang antropolog James L. Peacock yang menggambarkan kesenian ludruk sebagai representasi karakter masyarakat Indonesia. Kita lebih bergairah dengan hal-hal superficial daripada yang substansial. Tidak heran jika antropolog seperti Ben Anderson menggambarkan Indonesia sebagai "imagined community".

 

Harus diakui kultur kita terkadang mudah sekali terprovokasi oleh isu-isu yang dangkal menyangkut kehidupan beragama. Bahkan masyarakat kita mudah mengalami "darah tinggi" apabila merespons hal-hal yang belum pernah diketahui atau dipahami. Alih-alih mempelajari dan menelusuri kebenarannya, yang terjadi justru sebaliknya --memfitnah, menghujat, dan menjatuhkan tuduhan sesat kepada kelompok agama lain.

 

Inilah sebabnya angka intoleransi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia cenderung mengalami kenaikan yang lebih cepat dibanding prosentase kenaikan suku bunga bank.

 

Meluruskan Kesalahpahaman

 

Sejarah dinamika perkembangan agama-agama di Indonesia terbilang cukup kompleks, termasuk hadirnya Baha'i. Sebelum viralnya video Menag mengenai ucapan hari raya umat Baha'i, tahun 2014 lalu adalah puncak awal ketika Menteri Agama sebelumnya, Lukman Syaifudin, mengeluarkan pernyataan mengenai Baha'i sebagai agamai ndependen dan bukan bagian dari sekte agama apapun.

 

Bagi kalangan yang belum memahami apa dan bagaimana ajaran Baha'i yang sebenarnya seringkali menganggap sebagai aliran sesat. Padahal tidaklah demikian. Akibatnya muncul kesalahpahaman yang berimbas pada prasangka dan kebencian yang dapat merusak imun dan iman. Sebagai agama baru dunia yang berkembang di berbagai belahan benua yakni Asia, Afrika, Amerika, Eropa, dan Australia, ajaran Baha'i belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia yang notabenenya telah eksis selama dua abad.

 

Dalam pengalaman saya ke lapangan dan ketika berkunjung ke tiap-tiap wilayah atau negara, penganut Baha'i selalu menjunjung tinggi budaya-budaya lokal setempat. Hingga hari ini, Baha'i telah menyebar setidaknya di 190 negara dan 126.904 kota di dunia. Selain dalam bahasa Persia dan Arab, kitab suci agama Baha'i seperti Al Aqdas, Kalimat Tersembunyi (Hidden Words) juga telah diterjemahkan ke dalam 802 bahasa termasuk bahasa Jawa (Baha'i International Community, 2007).

 

Terlibat di dalam partai politik merupakan larangan secara hukum di dalam prinsip agama Baha'i. Setiap umat Baha'i wajib patuh, tunduk, dan taat terhadap pemerintah --tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang dapat menimbulkan atau memicu perselisihan dan perpecahan. Pemeluk agama Baha'i diharuskan menjadi agen perdamaian dan kerukunan antarumat beragama demi mewujudkan cita-cita persatuan umat manusia.

 

Dalam hal eskatologi, umat Baha'i percaya bahwa setelah meninggal roh manusia akan tetap abadi meskipun berpisah dengan jasad/tubuh yang bersifat material. Roh adalah immaterial yang ketika terbebas dari jasad atau tubuh maka akan kembali kepada proses spiritualitas alam semesta raya-yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Surga dan neraka adalah merupakan sebuah keadaan di dunia material, bukan imajinasi material setelah mati.

 

Soal ibadah dan ritual keagamaan, sama halnya seperti agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi, Kristen, dan Islam) umat Baha'i juga melakukan sembahyang dan puasa. Ritual keagamaan seperti sembahyang dan puasa juga ada di dalam Buddha, Hindu, Jainism, dan lain-lain. Maka dari itu salah besar jika menganggap bahwa hanya karena ritual ibadah umat Baha'i mirip dengan agama lainnya lalu diklaim sesat. sembahyang/ berdoa dan berpuasa merupakan rangkaian ritual semua agama-agama di dunia, tidak hanya umat Islam.

 

Hak-Hak Sipil

 

Semenjak Indonesia merdeka, urusan agama memang bukan wilayah privat lagi, tetapi menjadi urusan publik. Menurut Irwan Abdullah, privatisasi yang muncul dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah-masalah agama secara relatif bebas dari pengaruh definisi umum dan opini pemuka agama (Abdullah, 2006).

 

Penganut agama Baha'i dari dulu hingga hari ini dalam kondisi yang tidak menentu di dalam mendapatkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara, seperti urusan KTP, surat nikah, akta kelahiran, dan lain-lain. Meskipun mereka mengalami intimidasi dan diskriminasi (dipenjara, diusir, dan tidak mendapat pengakuan negara) selama ini mereka silent minority group. Umat Baha'i tidak banyak melakukan protes kepada pemerintah dan negara. Selama ini yang menyuarakan hak-hak sipil Baha'i di Indonesia justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang di luar Baha'i; Gus Dur salah satu tokoh nasional yang paling konsisten membela hak-hak minoritas, termasuk Baha'i.

 

Meskipun akhir-akhir ini penganut Baha'i dibolehkan mengosongkan identitas agama di KTP, mereka secara hak-hak sipil tetap mengalami kendala administrasi kependudukan. Tahun 1990-an pernah ada insiden saat salah satu keluarga penganut Baha'i meninggal dunia, mereka tidak bisa mengubur jenazah di TPU (tempat pemakaman umum) dengan alasan akan meresahkan penduduk sekitar.

 

Ada lagi peristiwa yang menyedihkan saat diketahui terdapat jenazah penganut Baha'i yang dimakamkan di TPU kemudian kuburan itu dibongkar dan jenazah yang sudah sudah sekian tahun harus dipindahkan ke tempat pemakaman lain. Misalnya lagi, anak-anak dari pengikut agama Baha'i seringkali menghadapi masalah administrasi di sekolah jika dalam formulir pendaftaran tidak mencantumkan salah satu dari agama resmi di Indonesia.

 

Dan, masih banyak lagi bentuk-bentuk diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok Baha'i. Peliknya persoalan PNPS 1965 masih menyisakan dampak terhadap hak-hak beragama dan hak-hak pelayanan sipil. Negara kita perlu kembali berpijak pada prinsip UUD 1945 (dan Pancasila sila ke-2) dalam memperlakukan warga negaranya sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 tentang Hak Asasi Manusia dan Agama.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar