Baha'i
dan Tuduhan "Sesat" Amanah Nurish ; Antropolog Agama dan Dosen Universitäs
Indonesia |
DETIKNEWS, 2 Agustus 2021
"Baha'i
sesat, Baha'i sama dengan PKI"! begitu kata-kata yang sering terdengar
ketika awal tahun 1990-an saat saya masih bocah ingusan. Sedikit pun kata
Baha'i tidak pernah terlintas dan bertengger di kepala saya, kecuali setelah
menyaksikan peristiwa beberapa pemuda yang terbalut emosi liar
"mengobrak-abrik" hunian tetangga depan rumah saya yang memeluk
agama Baha'i. Agama Baha'i memang sempat dilarang di Indonesia pada tahun
1962 di masa pemerintah Sukarno. Spontan
dada saya terasa sesak dan pilu melihat gerombolan pemuda itu mencoret-coret
halaman rumah tetangga saya dengan cat pylox bertuliskan "Baha'i sama
dengan PKI". Kisah ini saya alami ketika di kampung hidup berdampingan
dengan mereka, umat Baha'i. Pemahaman Sempit Belakangan
ini ramai isu beredarnya video Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang
mengucapkan selamat hari raya Naw Ruz kepada umat Baha'i. Kebetulan saya juga
hadir di perayaan Naw Ruz umat Baha'i yang diselenggarakan secara virtual
pada Maret 2021 lalu. Tindakan dan sikap Menteri Agama rupanya menimbulkan
reaksi keras bagi kalangan masyarakat yang "intoleran" dan anti
"pluralisme" keberagamaan. Begitulah
isu agama di Indonesia yang selalu menjadi buah bibir untuk diperdebatkan,
diributkan, lalu dipelintir. Tampaknya, cara masyarakat kita memandang,
memaknai, dan mempraktikkan agama mirip seperti para pecinta boy band Korea
yang berebut BTS meals. Sebuah brand junk food yang sempat menggegerkan pasar
kuliner bagi para penggemar fanatik artis ternama Korea. Kita
memuja dan narsis dengan identitas agama layaknya budaya yang sedang populer
di permukaan, namun mengabaikan makna substansinya. Tidak heran masyarakat
kita mudah dibikin ribut oleh kehadiran agama yang notabenenya memiliki
kaidah serta varian yang lebih kompleks. Jangan salah, agama bukan sekadar
urusan "resmi" atau "tidak resmi", "diakui" atau
"tidak diakui", namun lebih daripada urusan itu. Selama
ini kita diisolasi dan dikarantina oleh pemahaman yang sempit mengenai
kehadiran dan identitas keagamaan. Mirip dalam "dongeng" seorang
antropolog James L. Peacock yang menggambarkan kesenian ludruk sebagai
representasi karakter masyarakat Indonesia. Kita lebih bergairah dengan
hal-hal superficial daripada yang substansial. Tidak heran jika antropolog
seperti Ben Anderson menggambarkan Indonesia sebagai "imagined
community". Harus
diakui kultur kita terkadang mudah sekali terprovokasi oleh isu-isu yang
dangkal menyangkut kehidupan beragama. Bahkan masyarakat kita mudah mengalami
"darah tinggi" apabila merespons hal-hal yang belum pernah
diketahui atau dipahami. Alih-alih mempelajari dan menelusuri kebenarannya,
yang terjadi justru sebaliknya --memfitnah, menghujat, dan menjatuhkan
tuduhan sesat kepada kelompok agama lain. Inilah
sebabnya angka intoleransi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia
cenderung mengalami kenaikan yang lebih cepat dibanding prosentase kenaikan
suku bunga bank. Meluruskan
Kesalahpahaman Sejarah
dinamika perkembangan agama-agama di Indonesia terbilang cukup kompleks,
termasuk hadirnya Baha'i. Sebelum viralnya video Menag mengenai ucapan hari
raya umat Baha'i, tahun 2014 lalu adalah puncak awal ketika Menteri Agama
sebelumnya, Lukman Syaifudin, mengeluarkan pernyataan mengenai Baha'i sebagai
agamai ndependen dan bukan bagian dari sekte agama apapun. Bagi
kalangan yang belum memahami apa dan bagaimana ajaran Baha'i yang sebenarnya
seringkali menganggap sebagai aliran sesat. Padahal tidaklah demikian.
Akibatnya muncul kesalahpahaman yang berimbas pada prasangka dan kebencian
yang dapat merusak imun dan iman. Sebagai agama baru dunia yang berkembang di
berbagai belahan benua yakni Asia, Afrika, Amerika, Eropa, dan Australia,
ajaran Baha'i belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia yang
notabenenya telah eksis selama dua abad. Dalam
pengalaman saya ke lapangan dan ketika berkunjung ke tiap-tiap wilayah atau
negara, penganut Baha'i selalu menjunjung tinggi budaya-budaya lokal
setempat. Hingga hari ini, Baha'i telah menyebar setidaknya di 190 negara dan
126.904 kota di dunia. Selain dalam bahasa Persia dan Arab, kitab suci agama
Baha'i seperti Al Aqdas, Kalimat Tersembunyi (Hidden Words) juga telah
diterjemahkan ke dalam 802 bahasa termasuk bahasa Jawa (Baha'i International
Community, 2007). Terlibat
di dalam partai politik merupakan larangan secara hukum di dalam prinsip
agama Baha'i. Setiap umat Baha'i wajib patuh, tunduk, dan taat terhadap
pemerintah --tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang
dapat menimbulkan atau memicu perselisihan dan perpecahan. Pemeluk agama
Baha'i diharuskan menjadi agen perdamaian dan kerukunan antarumat beragama
demi mewujudkan cita-cita persatuan umat manusia. Dalam
hal eskatologi, umat Baha'i percaya bahwa setelah meninggal roh manusia akan
tetap abadi meskipun berpisah dengan jasad/tubuh yang bersifat material. Roh
adalah immaterial yang ketika terbebas dari jasad atau tubuh maka akan
kembali kepada proses spiritualitas alam semesta raya-yang tidak terbatas
oleh ruang dan waktu. Surga dan neraka adalah merupakan sebuah keadaan di
dunia material, bukan imajinasi material setelah mati. Soal
ibadah dan ritual keagamaan, sama halnya seperti agama-agama Ibrahim lainnya
(Yahudi, Kristen, dan Islam) umat Baha'i juga melakukan sembahyang dan puasa.
Ritual keagamaan seperti sembahyang dan puasa juga ada di dalam Buddha,
Hindu, Jainism, dan lain-lain. Maka dari itu salah besar jika menganggap
bahwa hanya karena ritual ibadah umat Baha'i mirip dengan agama lainnya lalu
diklaim sesat. sembahyang/ berdoa dan berpuasa merupakan rangkaian ritual
semua agama-agama di dunia, tidak hanya umat Islam. Hak-Hak Sipil Semenjak
Indonesia merdeka, urusan agama memang bukan wilayah privat lagi, tetapi
menjadi urusan publik. Menurut Irwan Abdullah, privatisasi yang muncul dalam
pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah-masalah agama secara
relatif bebas dari pengaruh definisi umum dan opini pemuka agama (Abdullah,
2006). Penganut
agama Baha'i dari dulu hingga hari ini dalam kondisi yang tidak menentu di
dalam mendapatkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara, seperti urusan KTP,
surat nikah, akta kelahiran, dan lain-lain. Meskipun mereka mengalami
intimidasi dan diskriminasi (dipenjara, diusir, dan tidak mendapat pengakuan
negara) selama ini mereka silent minority group. Umat Baha'i tidak banyak
melakukan protes kepada pemerintah dan negara. Selama ini yang menyuarakan
hak-hak sipil Baha'i di Indonesia justru lebih banyak dilakukan oleh
orang-orang di luar Baha'i; Gus Dur salah satu tokoh nasional yang paling
konsisten membela hak-hak minoritas, termasuk Baha'i. Meskipun
akhir-akhir ini penganut Baha'i dibolehkan mengosongkan identitas agama di
KTP, mereka secara hak-hak sipil tetap mengalami kendala administrasi
kependudukan. Tahun 1990-an pernah ada insiden saat salah satu keluarga
penganut Baha'i meninggal dunia, mereka tidak bisa mengubur jenazah di TPU
(tempat pemakaman umum) dengan alasan akan meresahkan penduduk sekitar. Ada
lagi peristiwa yang menyedihkan saat diketahui terdapat jenazah penganut
Baha'i yang dimakamkan di TPU kemudian kuburan itu dibongkar dan jenazah yang
sudah sudah sekian tahun harus dipindahkan ke tempat pemakaman lain. Misalnya
lagi, anak-anak dari pengikut agama Baha'i seringkali menghadapi masalah
administrasi di sekolah jika dalam formulir pendaftaran tidak mencantumkan
salah satu dari agama resmi di Indonesia. Dan,
masih banyak lagi bentuk-bentuk diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok
Baha'i. Peliknya persoalan PNPS 1965 masih menyisakan dampak terhadap hak-hak
beragama dan hak-hak pelayanan sipil. Negara kita perlu kembali berpijak pada
prinsip UUD 1945 (dan Pancasila sila ke-2) dalam memperlakukan warga
negaranya sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 tentang Hak Asasi Manusia dan Agama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar