Rejuvenasi
Kemerdekaan Azyumardi Azra ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin
Khalifa University, Qatar |
KOMPAS, 19 Agustus 2021
Tujuh
puluh enam tahun kemerdekaan Indonesia. Banyak pencapaian terwujud yang boleh
jadi tidak pernah terbayangkan oleh para pejuang dan pendiri republik.
Indonesia hari ini dan ke depan sungguh beyond imagination. Indonesia di masa
awal kemerdekaan 1945 dengan sekarang berjarak seperti bumi dan langit. Tidak
perlu mendaftar kemajuan yang dicapai selama 76 tahun kemerdekaan. Boleh jadi
yang timbul complacency, merasa puas dengan semua pencapaian tanpa merasa
perlu berusaha keras mencapai keadaan lebih baik agar NKRI makin dekat dengan
cita kemerdekaan. Hal ini penting ditekankan. Apalagi pandemi Covid-19 terus
berlanjut, membuat cita kemerdekaan makin jauh. Beruntung, negara-bangsa
Indonesia masih punya modal persatuan, kohesi sosial, dan optimisme (Kompas,
18/8/2021). Sambil
mensyukuri pencapaian, patut dilakukan asesmen jujur, kritis, dan berani
untuk melangkah lebih mantap ke depan. Dari asesmen itu segera tampak banyak
hal masih jauh atau kian jauh dari cita kemerdekaan. Parameter
asesmen pencapaian, misalnya, ada pada tujuan kemerdekaan dalam Pembukaan UUD
1945: ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial”. Berdasarkan
parameter ini, jelas belum segenap bangsa Indonesia terlindungi. Jika tumpah
darah Indonesia relatif terlindungi meski ada kekuatan adidaya dengan ambisi
teritorial luar biasa ingin menguasai wilayah utara lautan Nusantara,
sebaliknya masih banyak warga tidak terlindungi dalam kehidupan—mereka
tertinggal, hidup masih dalam budaya pra-agraris. Jumlah
mereka berganda beserta warga yang hidup dalam budaya agraris—sebagian besar
buruh tani. Jumlah mereka kian meningkat akibat Covid-19. Jika ada produk pertanian
mereka, itu tidak bisa terlindungi dan terpasarkan dengan harga layak. Mereka
jauh dari ”kesejahteraan umum”—salah satu tujuan kemerdekaan. Kebanyakan
mereka juga masih belum merepresentasikan kecerdasan bangsa. Mereka
tertinggal dalam pendidikan yang lalu membuat mereka terbelakang secara
ekonomi dan sosial. Sebaliknya ketinggalan ekonomi dan sosial membuat mereka
terus terbelakang dalam pendidikan. Indonesia
agak beruntung karena selain mereka yang belum terlindungi dan belum
tercerdaskan, ada lapisan warga yang secara ekonomi, pendidikan, dan
sosial-budaya lebih baik. Sebagian adalah kelas atas dan lebih banyak kelas
menengah. Mereka jadi tulang punggung kemajuan, pertumbuhan ekonomi, dan
pemberdayaan masyarakat lewat gerakan masyarakat sipil. Namun,
kelas menengah tak selalu terlindungi hak politiknya. Banyak dari mereka
tergabung dalam masyarakat sipil yang seharusnya dinamis dalam demokrasi.
Kini banyak dari mereka termarjinalisasi dalam proses politik dan juga sering
mengalami ”pelecehan dunia maya” karena bersikap kritis. Sementara
itu, dalam ”dunia Indonesia” sendiri, setelah 76 tahun merdeka, belum
terwujud sepenuhnya ketertiban politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama.
Pada dunia global, Indonesia juga belum mampu berperan signifikan untuk
promosi kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ini
ironis karena Indonesia adalah negara ekonomi terbesar dalam Organisasi Kerja
Sama Islam; negara berpenduduk Muslim terbanyak; negara demokrasi terbesar
ketiga di dunia; dan negara berpenduduk keempat terbanyak di dunia. Mempertimbangkan
semua fenomena itu, para pejabat publik dan semua pemangku kepentingan perlu
melakukan rejuvenasi kemerdekaan. Usia NKRI 76 tahun belumlah tua jika
dibandingkan banyak negara lain yang lebih berumur. Namun, usia 76 tahun
memberi banyak pertanda urgensi ”rejuvenasi”, ”peremajaan kembali”, atau
”penguatan energi” untuk mewujudkan cita dan tujuan kemerdekaan. Negara
semacam Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Uni Eropa, atau China secara
periodik melakukan rejuvenasi dalam perjalanan sejarah. Lazimnya wacana dan
orientasi baru tentang rejuvenasi negara terutama terfokus pada sistem dan
praksis politik yang menentukan arah perkembangan negara bangsa ke depan. Dalam
konteks itu, patut dipinjam kerangka Carnegie Europe tentang Six Ideas for
Rejuvenating European Democracy (2019). Untuk rejuvenasi politik Indonesia
guna penyegaran cita kemerdekaan bisa diajukan beberapa poin. Pertama,
rekonsolidasi demokrasi dengan menghentikan kecenderungan peningkatan oligarki
nepostik dan despotik. Fenomena ini berbahaya karena mengakibatkan rakyat
semakin kehilangan banyak hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kedua,
mengkaji ulang pemilihan pejabat publik lewat sistem pemilu dan pilkada serta
ambang batas parlemen dan ambang batas presidensial. Sistem pemilu dan
pilkada sekarang menyebabkan maraknya politik uang dan politik transaksional.
Ketiga, penguatan parpol dan kultur politik demokrasi, perekrutan, dan
promosi kader berdasarkan merit ketimbang nepotisme. Keempat, penguatan
kembali masyarakat sipil yang mengalami marjinalisasi. Rekonsolidasi
masyarakat sipil amat penting sebagai kekuatan moral dan pengimbang dalam
proses politik. Terakhir,
penciptaan kembali keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Eksekutif yang terlalu kuat karena didukung koalisi politik amat besar
berakibat hampir tak adanya check and balance. Pemerintah bisa leluasa
menjauh dari cita dan tujuan kemerdekaan, lebih memprioritaskan kepentingan
lingkaran politik sendiri ketimbang kepentingan negara-bangsa. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/rejuvenasi-kemerdekaan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar