Menghidupkan
Harapan Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 5 Agustus 2021
Harapan
itu sesuatu bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata, dan
tak pernah henti sama sekali. Demikian tulis Emily Dickinson. Harapan itu
melantunkan nyanyian kehidupan dalam dua jenis nada. Nada mayor membangkitkan
”harapan positif”, yang merangsang gairah orang untuk berbuat kebajikan. Nada
minor membangkitkan ”harapan negatif”, yang merangsang lara keinsyafan orang
agar terhindar dari keburukan. Harapan
positif itu bergema dari jiwa-jiwa altruis, seperti ”semut-semut” komunitas
yang bergotong royong meringankan derita sesama dalam alunan nada mayor yang
sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seperti hartawan dermawan (sungguhan, bukan
tipuan) yang hidup bersahaja tanpa gila harta dan puja. Kemampuan usaha dan
akumulasi kekayaannya dinikmati sebagai wahana dan amanah untuk berbakti
menumbuhkan harapan bagi mereka yang kurang mampu dan kurang beruntung. Memenuhi
bayangan Andrew Carnegie, generasi awal miliuner Amerika Serikat, yang
memelopori standar kemuliaan orang kaya dengan ukuran kesukarelaannya
mengembangkan lembaga filantropi, dana amanah, dan berbagai bentuk bantuan
sosial. Dalam perspektif kesalehan kemakmuran Carnegie, ”Orang yang mati
dengan meninggalkan kekayaan berlimpah, tanpa memberi manfaat bagi sesama,
mati dalam kehinaan.” Harapan
positif itu seperti para atlet Indonesia yang berjuang di ajang kompetisi antarbangsa.
Dalam olahraga mengatasnamakan bangsa, kobaran jiwa ”amatir” (amateur)—dari
Latin, amātor (pencinta)—membuat atlet profesional ternama sekalipun siap
bertarung demi cinta kepada negerinya. Saat dunia politik paceklik penyanyi
merdu, dunia olahraga bisa melahirkan biduan pujaan sebagai sandaran harapan
kebanggaan nasional. Nada mayor yang didendangkan etos kejuangan para atlet
bisa ditularkan energi positifnya pada ranah tata kelola negara. Harapan
positif itu seperti keteladanan Alif Gustakhiyat alias Alip Ba Ta, gitaris
fingerstyle Indonesia. Dengan segala kebersahajaan tanpa banyak kata,
sentuhan magis permainan gitar akustiknya menghipnotis banyak jiwa seantero
dunia. Keterbatasan hidupnya sebagai sopir forklift tak mengendurkan hasratnya menekuni permainan gitar
secara otodidak, dengan menyadari pilihannya sebagai panggilan jiwa sekaligus
moral purpose hidupnya. Tanpa
obsesi komersialisasi dan popularisasi yang berlebih, ia berhasil menjadi
versi terbaik dari dirinya yang berbeda dari kecenderungan artis arus utama.
Ia tampil bak ”satria bergitar” yang dengan seorang diri, tanpa bantuan
negara, menjadi pahlawan bangsa di pentas (maya) dunia. Kehebatan permainan
gitar dan kepribadiannya menularkan energi positif kebanggaan nasional serta
merangsang minat warganet dan musisi dunia belajar lebih banyak tentang
bahasa dan budaya Indonesia. Meski
nada mayor masih terdengar di tengah masyarakat, arus deras pengharapan
bangsa masih menggemakan tembang bernada minor. Di bawah ancaman wabah,
segala kelemahan negara-bangsa terungkap tanpa bisa ditutupi dengan
pencitraan dan sogokan. ”Harapan negatif” menjadi koor sehari-sehari,
mengharapkan penyelenggara negara tidak salah urus dan salah tingkah, dengan
tendensi cuma ramai dalam klaim-pamrih (rame ing pamrih), tetapi sepi dalam
kerja-kinerja (sepi ing gawe) saat nyawa jutaan rakyat dipertaruhkan. Dalam
momen yang menguji daya sintas bangsa, para pemimpin politik dihadapkan pada
pertanyaan gugatan Mencius, ”Adakah perbedaan antara membunuh manusia dengan
belati dan membunuhnya dengan salah urus?” Tidak, jawab sang raja. Jika
demikian, ujar Mencius, pastikan rumah tangga kerajaan tidak menggelar pesta
seremonial dan mengoleksi kuda gemuk-gemuk, sementara rakyat sekarat
kelaparan. Manakala pemimpin negara lebih memerhatikan rakyat ketimbang
dirinya sendiri, rakyat akan mengetahuinya dan membuat mereka setia kepada
pemimpinnya yang menjadikan negara kuat. Dengan
meluasnya tendensi ”timokrasi” (kekuasaan gila popularitas), tata kelola
negara, bahkan di tengah ancaman wabah, cenderung mengedepankan kesan
kehebatan permukaan ketimbang menyelamatkan nyawa manusia. Karena itulah,
sejumlah ahli memperkirakan Indonesia sedang menuju jebakan pandemi dan bisa
menjadi negara terakhir yang keluar dari cengkeraman wabah. Meski
demikian, bangsa ini belum kehilangan pengharapan. Cuma kebebalan keledai
bisa terperosok ke lubang yang sama dua kali. Letupan nada mayor di tengah
masyarakat mestinya menggugah penyelenggara negara untuk bisa memperbesar api
harapan positifnya dengan kesungguhan menyimak harapan negatif. Publik
berharap dengan cemas, bagaimana penanganan wabah bisa dikelola secara lebih
sistemik dan efektif, bukan bersifat sporadis tambal-sulam. Bagaimana proses
vaksinasi bisa lebih cepat, dengan melibatkan peran komunitas dan pasar,
tanpa penjelimetan prosedur dan kehebohan seremonial. Publik
juga berharap, kalau elite politik tak bisa mengambil peran dalam
pemberantasan wabah, setidaknya punya sikap empati terhadap derita rakyat.
Kalau tak bisa menyumbang materi, setidaknya tak jadi pemburu rente dalam
bisnis pandemi, menggelapkan dana bantuan sosial, dan menghamburkan uang
rakyat untuk kunjungan luar negeri. Kalau
tak bisa berperan dalam meluaskan akses pelayanan kesehatan bagi rakyat,
setidaknya tak menuntut layanan isolasi khusus bagi wakil rakyat. Kalau tak
banyak yang bisa dikerjakan sebagai pelayan publik, setidaknya tak
memperlihatkan keasyikan menikmati hiburan. Kalau tak bisa menghasilkan
prestasi, setidaknya tidak meninabobokan rakyat dengan candu pencapaian
palsu. Akhirnya,
harus dikatakan bahwa tindakan politik memang dibentuk oleh berbagai aktor
dan kepentingan. Namun, tetap saja memerlukan kapasitas pemimpin untuk
memilih jalan yang tepat. Luruskan niat, berharap Tuhan menunjuki jalan
lurus. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar