Kamis, 05 Agustus 2021

 

Gus Menteri dan Baha’i

Anick HT ;  Dosen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UMI, Pegiat literasi kesehatan

MEDIA INDONESIA, 4 Agustus 2021

 

 

                                                           

JIKA Anda bertemu dengan pejabat negara, terutama pejabat Kementerian Agama, sempatkanlah bertanya 'adakah klausul dalam regulasi negara ini yang menyatakan dan menyebut istilah 'agama resmi' atau 'agama yang diakui' negara'. Saya melakukannya berkali-kali, dan tidak ada jawaban yang solid serta meyakinkan untuk menyatakan bahwa enam agama itu adalah agama resmi atau agama yang diakui.

 

Lalu mengapa tujuh atau delapan dari sepuluh orang di Indonesia secara spontan akan menjawab enam jika ditanya jumlah agama di Indonesia? Mengapa kebanyakan kantor Kementerian Agama di semua wilayah berhiaskan enam simbol agama? Mengapa masih banyak acara resmi negara bertajuk dialog antaragama hanya menyertakan representasi enam agama? Mengapa laporan sensus penduduk hanya mengategorikan mereka dalam satu entitas; (agama) lainnya?

 

Tepat di situlah masalahnya sehingga ucapan Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas kepada penganut Baha’i saat ini menjadi momentum penting. Dalam ranah hukum Indonesia, tidak ada satu pun undang-undang yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia hanya mengakui eksistensi enam agama di Indonesia. Pemahaman tentang pengakuan enam agama ini didasarkan pada penafsiran yang keliru atas salah satu penjelasan dalam UU PNPS No 1 Tahun 1965 yang menyebutkan bahwa 'Agama yang dianut di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu'.

 

Penyebutan nama-nama agama itu hanyalah penulisan contoh nama agama-agama yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia. Dalam penjelasan itu pun dinyatakan bahwa tidak berarti penganut agama di luar 6 (enam) agama yang disebutkan di atas dilarang di Indonesia, melainkan tetap mendapatkan jaminan dan perlindungan yang sama berdasarkan konstitusi.

 

Ketika UU PNPS tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk judicial review, MK juga memberi penegasan lain. Dalam Putusan MK RI Nomor 140/PUU-VII/2009, MK berpendapat bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap enam agama, tetapi mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia.  

 

Kartu tanda penduduk

 

Posisi kesetaraan yang sedemikian gamblang itu tidak termanifestasi dalam praktik lapangan. Dalam implementasinya, selama masa Orde Baru (untuk tidak mengatakan hingga saat ini), melalui Departemen Agama (Kementerian Agama), pemerintah hanya melayani enam agama yang dimaksud. Kebijakan kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) juga harus diisi satu dari enam agama tersebut. Sementara itu, penghayat kepercayaan 'dilayani' sebagai organisasi kultural di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Kementerian Pendidikan Nasional.

 

Dari sinilah titik mula istilah 'agama yang diakui' masuk benak para pemangku kebijakan; yakni kolom agama dalam KTP. Satu-satunya aturan yang secara eksplisit menyebut agama resmi adalah Surat Edaran Mendagri No 477/74054 tanggal 18 November 1978. Surat ini adalah tentang Tata Cara Pengisian Kolom Agama dalam KTP.

 

Tentang surat edaran ini pun, Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, dalam pidato tertulis di hadapan peserta Konferensi Tokoh Agama ICRP awal Oktober 2009, menyatakan bahwa surat edaran itu seharusnya hanya berisi petunjuk teknis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu. Tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri.

 

Sampai kemudian di masa reformasi lahirlah UU Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) Nomor 23 Tahun 2006, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. UU Adminduk ini di satu sisi adalah angin segar bagi penghayat kepercayaan karena ada klausul bahwa 'bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan'. Dengan kebijakan ini, agama non-enam dan penghayat kepercayaan terbebas dari 'memilih satu dari enam agama' yang selama ini diberlakukan.

 

Namun, klausul itu pula yang menegaskan kecerobohan pembuat UU karena mencantumkan istilah 'agama yang belum diakui'. Klausul inilah yang kemudian dibatalkan MK pada 2016 setelah dilakukan judicial review. Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pengakuan agama yang terbatas tersebut bertentangan dengan tujuan negara untuk menciptakan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di mata hukum bagi seluruh warga negaranya. Sampai di sini kita bisa kembali bertanya; apakah ucapan selamat Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas konstitusional?  

 

Menteri semua agama

 

Hakimul Ikhwan, dosen sosiologi UGM, dengan antusias merespons tindakan Gus Menteri itu menyalahi posisinya sebagai menteri agama dan representasi pemerintah, sambil menegaskan bahwa pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama. Menurutnya, tidak ada masalah jika Gus Yaqut mengucapkannya atas nama pribadi.

 

Respons seperti itu justru menegaskan bahwa persoalan kesetaraan warga negara, terutama terkait hak dan kebebasan beragama di Indonesia, masih membutuhkan perjuangan panjang. Alih-alih mendorong Menteri Agama untuk mengakui dan melindungi semua agama yang ada di Indonesia, seorang akademisi bisa bersikap diskriminatif dan melanggengkan favoritisme atas dasar agama seperti itu.

 

Fitrah negara adalah berdiri di atas semua golongan. Negara harus netral agama, netral suku, netral ras. Favoritisme, pengutamaan satu kelompok tertentu di atas kelompok yang lain, sudah jelas diskriminatif. Pembatasan jumlah agama yang sah/diakui juga melawan realitas yang sudah telanjur ada dalam negara ini.

 

Adalah fakta yang tak mungkin dibantah bahwa selama ini pembatasan itu pada tingkat implementasi kebijakannya berwujud pemaksaan negara terhadap warganya yang bukan penganut enam agama tersebut untuk melakukan hipokrisi dengan mencantumkan identitasnya dalam KTP dengan salah satu dari enam agama tersebut. Adalah kenyataan empirik bahwa ada puluhan juta penganut Sikh, Baha’i, Tao, Yahudi, penghayat kepercayaan, dan agama-agama lokal yang bahkan sudah ada sebelum enam agama itu ada, yang selama ini menjadi korban pembatasan ini.  

 

Justru, momentum ucapan selamat kepada hari raya Baha’i ini seharusnya kita dorong lebih jauh menjadi penegasan netralitas agama. Seharusnya Gus Menteri didukung untuk memberi ucapan selamat kepada segenap penganut Sikh, Tao, Yahudi, dan penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Sekali lagi, Menteri Agama adalah menteri semua agama.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar