Mengenang
Kota Kabul Saat Taliban Berkuasa Tahun 1997 Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas di Kairo, Mesir |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Jatuhnya
kembali kota Kabul ke tangan Taliban pada Minggu (15/8/2021) segera
mengingatkan kembali ketika penulis melakukan kunjungan pertama ke ibu kota
Afghanistan itu pada 27 Maret 1997 yang saat itu juga di bawah kekuasaan
Taliban. Kunjungan
kedua ke Kabul dilakukan pada awal tahun 2002, saat kota Kabul sudah lepas
dari tangan Taliban, menyusul invasi AS ke Afghanistan setelah serangan teroris atas kota New York dan
Washington DC pada 11 September 2001. Saat
itu, pada 1997, berita tentang keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan
dalam waktu singkat masih menghiasi media-media internasional. Dunia
tercengang dan sekaligus heboh, Taliban yang baru didirikan tahun 1994 di
Kandahar mampu memukul mundur pasukan Mujahidin pimpinan panglima legendaris,
Ahmed Shah Masood, dari Kabul pada 1996. Padahal,
pasukan Mujahidin yang lain dari Hezb-i-Islami pimpinan Gulbuddin Hekmatyar
tidak mampu memukul mundur setapak pun pasukan Ahmed Shah Masood dari kota
Kabul dalam pertempuran selama hampir empat tahun (1992-1996). Saat
itu, seusai meliput konferensi tingkat tinggi (KTT) darurat Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) di Islamabad, Pakistan, pada Maret 1997, segera dirasakan
negeri Afghanistan yang baru enam bulan jatuh ke tangan Taliban sudah di
ambang pintu. Berkat
bantuan KBRI Islamabad, penulis berhasil mendapat visa dari kedubes
Afghanistan di ibu kota Pakistan itu. Kebetulan saat itu ada dua diplomat
Indonesia di Afghanistan yang mengungsi ke New Delhi, India, mau masuk ke
Afghanistan untuk menengok gedung KBRI di Kabul. Kami bertiga, saya dan dua
diplomat Indonesia tersebut, lalu berangkat menuju Afghanistan pada pagi
hari, 27 Maret 1997. Hanya
sekitar dua jam sejak meluncur dari kota Islamabad, kami sudah sampai di
Torkham, pintu gerbang perbatasan Pakistan-Afghanistan. Hanya beberapa saat
setelah itu, urusan imigrasi di Torkham sudah selesai dan kami melanjutkan
perjalanan ke Kabul. Tentu
dalam perjalanan saat itu, sesuatu yang ada dalam benak pikiran adalah ingin
segera sampai ke kota Kabul untuk melihat langsung kehidupan kota setelah
enam bulan berada di bawah kontrol Taliban. Setelah melalui perjalanan darat
panjang dan berat selama 14 jam dari Islamabad ke Kabul, pada malam hari 27
Maret 1997, penulis dan dua diplomat Indonesia tiba di ibu kota Afghanistan
itu. Hanya
pancaran sayup-sayup dari sinar lampu lilin di balik jendela rumah-rumah
penduduk yang didapat penulis ketika memasuki Kabul pada malam itu. ”Kota
Kabul gelap gulita seperti ini, sudah kami alami sejak tahun 1993,” ujar
salah seorang diplomat yang sudah empat tahun bertugas di Kabul kepada penulis
yang berada di satu taksi dari Islamabad ke Kabul. Malam
pertama di Kabul terpaksa dilewati dengan pikiran tentang penderitaan rakyat
Afghanistan yang harus hidup sekian tahun tanpa penerangan lampu. Tak terasa
suasana pagi hari di Kota Kabul pun tiba. Segera terlihat keindahan alam
Kabul yang dikelilingi perbukitan dengan sisa salju warna putih di
puncak-puncak perbukitan. Maklum,
bulan Maret adalah musim transisi di Afghanistan dari musim dingin ke musim semi sehingga
sisa salju warna putih masih terlihat cukup mencolok di perbukitan sekitar
kota. Terlintas dalam pikiran betapa indahnya negeri ini jika tidak
tercabik-cabik oleh perang berkepanjangan sejak era pendudukan Uni Soviet
(1979-1989). Konon,
Kabul dengan cuaca yang sejuk sebelum era pendudukan Uni Soviet menjadi
tempat idola peristirahatan orang-orang Pakistan pada musim panas. Namun,
keindahan alam kota itu tidak berbanding lurus dengan kehidupan yang sangat
menoton dan bahkan primitif saat itu. Kebetulan
hari Jumat, 28 Maret 1997, merupakan hari libur resmi di Afghanistan.
Jalan-jalan kota tampak lengang, tak ada hiruk-pikuk lalu lintas kendaraan.
Pemandangan yang mencolok hanya sepeda-sepeda yang ditunggangi oleh warga
Afghan yang rata-rata sudah lanjut usia dan berjenggot panjang. Sesekali
terlihat kaum perempuan Afghan yang berpakaian burka (pakaian yang menutupi
seluruh tubuh). Lagu-lagu masih sempat terdengar dari dalam taksi yang sedang
lewat, tetapi cuma suara-suara tanpa diringi musik. ”Assalamu
alaikum... assalamu alaikum... Bismillah… bismillah…. Ini suara di tape
recorder di mobil yang harus sering dibunyikan sekarang,” kata Bahtiar yang
merupakan pegawai lokal KBRI Kabul. Meski
demikian, keamanan pada masa Taliban dirasakan sangat baik. Tak terlihat satu
pun penduduk sipil yang menyandang senjata api atau tubuhnya diikat dengan
sabuk peluru seperti yang sering terlihat pada foto-foto para Mujahidin di
media cetak dan stasiun televisi internasional. Pemerintah Taliban rupanya
sudah melucuti semua senjata dari warga sipil Afghan. Kini,
bagaimana melihat kehidupan kota Kabul dan negeri Afghanistan pada era
kekuasaan Taliban jilid 2 yang dimulai pada 15 Agustus 2021? Rentang
waktu yang panjang, yakni hampir seperempat abad, antara jarak kekuasaan
Taliban pertama di Kabul pada tahun 1997 dan kekuasaan Taliban kedua di kota
itu pada 2021, membersitkan pertanyaan tentang corak kehidupan ibu kota
Afghanistan itu antara dua masa yang berbeda, tapi di bawah rezim yang sama. Dunia
kini gelisah dan bertanya, apakah kehidupan Kota Kabul dan negeri Afghanistan
setelah kembali dikuasai Taliban akan kembali ke belakang seperti Kabul dan
negeri Afghanistan pada seperembad abad yang lalu saat Taliban berkuasa di
negeri itu (1996-2001). Rentang
waktu seperempat abad adalah waktu yang cukup panjang. Secara alamiah
perjalanan manusia dan suatu wilayah dengan rentang waktu sepanjang itu,
pasti ada perubahan. Tentu
terlalu dini menilai kehidupan Kabul dan negeri Afghanistan saat ini karena
Taliban baru beberapa hari berkuasa lagi di negeri itu. Taliban saat ini
pasti lebih fokus melakukan konsolidasi untuk menciptakan stabilitas keamanan
di dalam negeri dalam upaya memperkuat kekuasaannya. Harapan
besar tentu Afghanistan tidak kembali ke belakang seperti seperempat abad
lalu. Kota Kabul dan Afghanistan hendaknya bisa lebih maju dan modern,
seperti negara-negara tetangganya, Pakistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan
Kazakhstan. Harapan
kini tertuju pada para pemimpin Taliban baru yang masih muda dan notabene dari generasi kedua Taliban
setelah era pendiri, Mullah Mohammed Omar. Dalam
jajaran pimpinan Taliban kini ada pemimpin tertinggi Taliban yang merupakan
penerus Mullah Mohammed Omar yang meninggal tahun 2013, yaitu Mullah
Hibatullah Akhundzada (60), Abdul Ghani Baradar (53), Sirajuddin Haqqani
(48), Mullah Amir Khan Muttaqi (51), dan Mullah Mohammad Yaqoob (31). Masih
butuh waktu lagi untuk bisa mengambil kesimpulan tentang wajah baru Kabul dan
Afghanistan pada era jilid 2 kekuasaan Taliban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar