Senin, 23 Agustus 2021

 

Memaknai Pengorbanan Diri

Toto TIS Suparto ;  Penulis Filsafat Moral

KOMPAS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Selalu ada pengorbanan pada berbagai tempat dan di setiap waktu. Sewaktu negeri ini berjuang meraih kemerdekaan, pengorbanan para pejuang tak terkira nilainya. Sewaktu Ibu Pertiwi bersedih karena pandemi Covid-19 berkepanjangan, pengorbanan garda terdepan tiada henti tanpa mengenal lelah, bahkan berkorban nyawa.

 

Angka-angka duka berkejaran saban hari. Di antara angka duka itu, terdapat nama-nama garda terdepan yang dipanggil Sang Khalik. Satu per satu dokter terbaik berguguran. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan lelayu periode Maret 2020 sampai Juli 2021 tercatat 545 dokter wafat akibat terpapar virus korona. Selain dokter, LaporCovid melaporkan 373 perawat, 208 bidan, 46 dokter gigi, dan 32 ahli teknologi laboratorium medik meninggal karena terpapar Covid-19.

 

Mereka bersama dengan 110.619 orang lainnya (data per 10 Agustus 2021) pulang ke pangkuan Ilahi tanpa peluk pisah keluarga. Tak ada taburan bunga dari kolega. Isak tangis pun hanya sayup-sayup terdengar jauh dari pusara. Hanya beberapa petugas mengenakan alat pelindung diri (APD) yang melepas kepulangan itu. Namun mereka tetap terukir di segenap sanubari masyarakat Indonesia sebagai pejuang dengan berbagai bentuk pengorbanan diri.

 

Kepentingan lebih luas

 

Pejuang kemerdekaan ataupun pejuang Covid-19, dalam hal pengorbanan diri merelakan sesuatu yang berharga pada dirinya, entah itu berupa harta, tenaga, pikiran, waktu, bahkan nyawa, untuk diberikan kepada orang lain demi kebahagiaan orang lain. Di sini ada pengorbanan kesenangan atau kepuasan diri demi mendapatkan kesenangan dan kepuasan lebih besar di masa depan.

 

Secara individu, para dokter dan perawat mencapai kepuasan diri bilamana imun meningkat demi bekerja sesuai tupoksi yang ditetapkan. Semestinya itu sudah cukup. Mereka menjalankan tugas, hasil akhir ada di luar kemampuan mereka.

 

Namun banyak di antara mereka tidak sekadar berkutat pada kepuasan diri. Mereka mengorbankan kepuasannya demi kepentingan umum yang lebih besar, semisal bisa menyembuhkan sebanyak mungkin korban yang terpapar Covid-19. Inilah personifikasi pejuang; kesediaan berbuat, berjuang, dan berkorban bagi kemanusiaan serta nilai-nilai luhur yang universal.

 

Pejuang itu memang tidak pernah berucap, tetapi bertindak dan dalam tindakan mereka seolah ada pesan: ”Saya harus menentang diri (saya) di sini dengan mengatakan bahwa memandang pengorbanan diri pada hakikatnya merupakan sarana yang sering kali diperlukan untuk mengembangkan tujuan kebahagiaan dan kesejahteraan maksimal bagi seluruh masyarakat” ( Henry Hazlitt, 2003:148).

 

Tindakan pengorbanan diri acap mengundang rasa hormat orang lain. Seperti ucapan seorang perempuan eksekutif : ”Para nakes (tenaga kesehatan) ini berada di garis depan memerangi pandemik global setiap hari dengan mempertaruhkan hidup mereka untuk menyelamatkan orang lain. Meskipun mereka mungkin tidak melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang hebat, namun, kami melihat kepahlawanan itu.”

 

Pengorbanan di masa pandemi

 

Ucapan itu kenyataan. Kita melihat dan kita memperoleh pelajaran berharga. Makna pengorbanan diri itu bisa menjadi pembelajaran kita bersama. Kita pun bisa berkorban sekecil apa pun. Ini yang selayaknya kita lakukan dengan ketulusan diri.

 

Kita mungkin dalam pengorbanan diri yang sederhana, lebih pada bagaimana seseorang mau berbuat dengan kesanggupannya untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Mendahulukan kepentingan orang lain adalah pengorbanan diri.

 

Di sinilah diperlukan ketulusan saat seseorang memutuskan untuk mendahulukan kepentingan orang lain. Di sini pula pertimbangan untung rugi dikalkulasi dengan sebuah kepasrahan kepada Sang Pencipta. Ia punya keyakinan, saat menabur benih kebaikan dalam kehidupannya, maka yakin Sang Pencipta akan memberikan buah kenikmatan. Keyakinan ini akan menjadi kekuatan untuk mengoptimalkan potensi hati, akal, ataupun jasmani bagi pengorbanan diri.

 

Pada masa pembatasan, apa pun istilahnya, seorang pemilik toko (bisa) melakukan pengorbanan diri demi kepentingan orang banyak. Kepentingan diri disisihkan dengan langkah konkret mengikuti aturan mengurangi jam operasional. Akibatnya, pendapatan berkurang. Meski berkurang, kerelaan mengikuti aturan pemerintah merupakan kelebihan seseorang. Ia telah mewujudkan pengorbanan diri.

 

Kita juga tengah melakukan pengorbanan diri saat mengikuti kebijakan pembatasan ataupun menaati prokes. Perjalanan bisnis, misalkan, tertunda demi menekan mobilitas. Hobi jalan-jalan juga mesti dikendalikan karena anjuran di rumah saja.

 

Pendek kata, selama pandemi berkepanjangan ini dibutuhkan pengorbanan diri agar badai korona cepat berlalu. Kenyataannya, pengorbanan diri tidaklah mudah. Lihat saja, fakta mengungkapkan masih banyak anggota masyarakat mendahulukan kepentingannya sendiri tanpa memperhitungkan kepentingan bersama. Maka yang kemudian terjadi adalah sebagian masyarakat yang menolak vaksin, masih senang keluyuran di luar rumah, bikin hajatan, mengundang kerumunan, dan dengan gagahnya tampil tanpa masker di ruang publik.

 

Semoga Agustus ini, walau tanpa perayaan meriah, tetap memberikan perenungan kepada kita tentang makna pengorbanan diri. Dari perenungan itu timbullah dorongan untuk bertindak dengan pengorbanan diri, sesederhana apa pun. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/memaknai-pengorbanan-diri/

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar