Afghanistan,
Neo-Taliban, Indonesia Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Sejarah
berulang di Afghanistan. Ibu kota Kabul, untuk kedua kalinya, jatuh ke tangan
kelompok Taliban, hari Jumat (13/8/2021). Pada
26 September 1996, kelompok oposisi bersenjata ini, merebut Kabul. Ketika
itu, mereka menyingkirkan Presiden Burhanuddin Rabbani; sebelumnya mereka
menggantung Presiden Mohammad Najibullah yang dicap sebagai bonekanya Uni
Soviet. Proses
kejatuhan Kabul, beberapa hari lalu seperti mengulang yang terjadi pada 1996.
Sebelum merebut Kabul, kelompok fundamentalis ini menguasai Kandahar. Dari
Kandahar mereka bergerak ke utara merebut Kabul. Sekarang pun demikian. Jatuhnya
Kabul, memaksa Presiden Ashraf Ghani meninggalkan Afghanistan mencari
selamat. Dulu setelah merebut Kabul mereka memberi nama baru Afghanistan
yakni Emirat Islam Afganistan. Demikian pula kini. Setidaknya
ada empat hal yang “mempermudah” Taliban merebut kembali Kabul. Pertama,
pemerintah Karzai dan kemudian juga Ashraf Ghani dianggap tak efektif, tak
mampu meningkatkan kualitas hidup, tak mampu menjamin keamanan bila tanpa
bantuan AS dan NATO. Pemerintah Afghanistan digerogoti korupsi akut. Dalam Corruption
Perceptions Index 2020, Afghanistan peringkat 165 dari 180 negara dengan skor
19. Kedua,
keputusan AS dan NATO penopang utama keamanan, menarik pasukan dari
Afganistan. Pasukan AS secara penuh akan ditarik pada 11 September 2021.
Ketiga, digelarnya perundingan perdamaian dengan AS, menjadi semacam alasan
bagi Taliban memandang diri mereka sendiri dan AS sebagai pemegang kekuasaan
riil di Afganistan. Apalagi, Taliban selalu mempertanyakan legitimasi dan
kredibilitas pemerintah Kabul yang dibentuk dan dikontrol kekuatan asing
(Felix Kuehn, 2018). Dengan kata lain, Taliban tidak menganggap pemerintah
Kabul. Keempat,
lahirnya “generasi baru” Taliban atau yang sering disebut “neo-Taliban” pada
2002, yang berbeda dengan “Taliban lama” (1994-2001). Mereka melakukan
adaptasi taktis dan strategis. Ideologi mereka pun mengalami evolusi. Mereka
berusaha memoderasi kebijakannya dan menjadikan diri mereka sebagai gerakan
kemerdekaan arus utama (Alia Brahimi; 2010). Pertanyaannya,
apa setelah menguasai Kabul dan mendirikan pemerintahan baru, mereka akan
menerapkan kebijakan berdasarkan agama dengan sangat keras, kaku, dan ketat
serta bertekad menyebarkan ideologinya ke seluruh Timur Tengah dan kawasan
lain? Dulu
ketika berkuasa, Taliban melarang musik, televisi, radio, games,
bentuk-bentuk hiburan lain. Mereka melarang wanita bekerja di luar rumah,
melarang anak-anak perempuan bersekolah dan menutup sekolah, melarang kaum
wanita keluar rumah kecuali ditemani oleh suami, ayah, saudara laki-laki,
atau anak laki-laki. Di depan umum, wanita harus menutup seluruh tubuhnya
dari kepala hingga kaki. Ini pengaruh Wahabisme, bukan adat Afganistan
(Barfield, Thomas, 2008). Para
lelaki harus mengenakan turban, berjanggut panjang, rambut pendek, dan
mengenakan pakaian tradisional shalwar kameez. Bila tak menaati dihukum.
Taliban mengklaim bisa memulihkan perdamaian dan keamanan di Afghanistan
setelah pendudukan Uni Soviet dan perang saudara, melalui penerapan hukum
syariah yang ketat. “Neo-Taliban” Taliban—bahasa
Pashto, yang berarti murid atau siswa—muncul tahun 1980-an dalam bentuk front
gerilyawan Taliban. Mereka bergabung dengan partai Mujahidin, Harakat-i
Enqelab-i Islami (Gerakan Revolusi Islam) melawan pasukan pendudukan Uni
Soviet (1979-1989). Tahun 1992 terlibat perang saudara (Antonio Giustozzi,
2011). Dengan
menggunakan nama Taliban (jamak dari talib) mereka ingin mengambil jarak dari
politik Mujahidin dan mengisyaratkan mereka adalah gerakan untuk membersihkan
masyarakat dan bukannya partai yang hanya mencari kekuasaan. Maka, tujuan
didirikannya Taliban adalah untuk memulihkan perdamaian, menegakkan hukum
syariah, dan mempertahankan karakter Islam Afganistan (Andrew R Smith, 2011). Tetapi,
kenyataannya pada November 1994, mereka menjadi gerakan fundamentalis dan
muncul sebagai kekuatan politik dan militer. Mereka tak lagi menggunakan
taktik gerilya, melainkan menjadi pasukan semi-reguler untuk melakukan
pertempuran konvensional. Gerakan
ini beranggotakan para siswa, pemuda pedesaan etnis Pashtun (di Afghanistan
Selatan dan Barat), berpendidikan rendah, miskin, yang sebagian besar
direkrut dari kamp-kamp pengungsi dan sekolah agama, madrasah di Pakistan
(Maryam Jami, 2020). Kelahiran kelompok ini mendapat dukungan Pakistan, yang
berusaha mengamankan rute perdagangan ke Asia Tengah. Setelah
merebut Kabul (1996) mereka berkuasa hingga disingkirkan AS pada 2001. Meski
kekuasaannya diruntuhkan AS, lewat Operation Enduring Freedom, mereka tak
mati, hanya kehilangan kekuasaan. Mereka yang sebagian besar berasal dari suku
Pashtun, dengan mudah menyelamatkan diri, karena mendiami dua wilayah
sekaligus: Afghanistan dan wilayah barat-laut Pakistan. Maka,
ketika tersingkir dari Afghanistan, kelompok militan garis keras Taliban
masuk ke kawasan Pegunungan Hindu Kush dan wilayah suku-suku di North Western
Frontier Province (NWFP) Pakistan; sementara yang moderat bergabung dengan
masyarakat hanya dengan memotong janggut dan tak lagi berjubah panjang
(Shehzad H Qazi, 2011). Tetapi, pelan-pelan mereka berkumpul kembali dan mengonsolidasikan
kekuatan di perbatasan Pakistan. Mereka
benar-benar menjadi “musuh dalam selimut.” Gerakan Taliban yang dimulai di
Pakistan pada 2002 inilah, yang menjelma menjadi “neo-Taliban.” Mereka banyak
berasal dari kelompok dan suku lokal Pakistan dari Federally Administered
Tribal Areas (FATA). Dengan
pengecualian beberapa pemimpin kunci, sebagian besar “Taliban lama” awalnya
tak bergabung dengan gerakan ini. Namun, kemudian bergabung kembali setelah
usaha mereka bergabung dengan pemerintah Karzai tak dipedulikan. Yang
membedakan dengan “Taliban lama” adalah kelompok baru ini berasal dari unsur
yang beragam, tak hanya “sisa-sisa laskar Taliban.” Mereka merekrut sekutu
secara nasional. Dengan demikian, mereka menerima siapa saja yang memiliki
pandangan sama terhadap pasukan pendudukan, pemerintah Kabul, dan mematuhi
aturan yang telah ditetapkan, tanpa memandang etnis dan suku, tak harus etnis
Pashtun. Karena
itu, anggota “neo-Taliban” ini berasal dari grup-grup lokal, partai-partai
politik, grup-grup jihad, komponen-komponen suku berbeda-beda. Maka Thomas
Ruttig (2010) menyebut “secara organisasi, Taliban adalah jaringan dari
jaringan.” Dalam rumusan lain, dapat dikatakan, “neo-Taliban” tidak lain
adalah gerakan monolitik dan bersatu. Mereka bukanlah kelompok yang bersatu
dengan satu visi untuk Afghanistan, tidak seperti Taliban tahun 1990-an. Strategi
perjuangan “neo-Taliban” pun meninggalkan strategi lama yang hanya
mengandalkan pada kekuatan senjata. Mereka telah mengembangkan apa yang
disebut sebagai “perang generasi keempat.” “Peperangan generasi keempat
'menggunakan semua jaringan yang tersedia—politik, ekonomi, sosial, dan
militer. Itulah mengapa mereka mau, antara lain, berunding dengan AS. Mereka
memperbaharui taktik dan strategi perjuangan. Misalnya, membuat “outlet media
yang canggih, yang memproduksi ribuan DVD dan rekaman-rekaman inspirasi.
Taliban juga menggunakan situs web, stasiun radio FM dan email, serta para
juru bicara mereka pun melayani wawancara dengan wartawan di Pakistan” (Andrew
R Smith, 2011). Suatu hal yang ditabukan di masa lalu. Yang
juga membedakan dengan “Taliban lama” adalah sifat ideologis “neo-Taliban”
dualistik, menampilkan struktur organisasi vertikal dalam bentuk supra-tribal
dan supraetnik, Islamis, dan nasionalis. Namun, struktur horizontalnya tetap
ditentukan oleh jaringan yang berakar pada masyarakat suku Pashtun. Mereka,
“neo-Taliban” inilah yang beberapa hari silam merebut Kabul dan mendepak
pemerintah lama dan mendirikan Emirat Islam Afghanistan. Perlu diwaspadai Keluwesannya—termasuk
memperbaharui taktik dan strategi, serta memperluas komponen
organisasi—menjadi faktor keberhasilan mereka merebut Kabul. Karena itu,
perubahan taktik dan strategi dalam perjuangannya—menggunakan segala cara dan
sarana termasuk teknologi komunikasi dan informasi modern— mesti diwaspadai
termasuk oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, seperti NIIS dulu yang menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi modern untuk menyebarkan ajaran, ideologi,
propaganda, juga rekrutmennya. Dengan
teknologi komunikasi dan informasi modern sekarang ini, mereka bisa dengan
mudah menyebarkan fundamentalisme, ekstremisme dan talibanismenya ke mana
saja, termasuk ke Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih mudah terpukau
oleh hal-hal yang berbau atau dibungkus agama. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/afganistan-neo-taliban-indonesia/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar