Urgensi
Tarif Listrik Terjangkau
Fahmy Radhi ; Pengamat Ekonomi Energi
UGM;
Mantan Anggota Tim
Reformasi Tata Kelola Migas
|
KORAN
SINDO, 30 November 2017
UNTUK mencapai
keadilan energi, sesuai dengan Program Nawacita Presiden Joko Widodo,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tampaknya bekerja
keras untuk mewujudkan itu satu di antaranya melalui program kelistrikan.
Di samping mewujudkan Proyek Listrik 35.000 MW, program unggulan Joko
Widodo, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga memprioritaskan percepatan
elektrifikasi, utamanya listrik di perdesaan.
Melalui Peraturan Menteri ESDM No 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, pemerintah berkomitmen untuk mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik dengan prioritas: (1) perdesaan belum berkembang, (2) perdesaan terpencil, (3) perdesaan perbatasan, dan (4) pulau kecil berpenduduk. Prioritas elektrifikasi perdesaan ini menunjukkan komitmen pemerintah kepada rakyat di perdesaan untuk memperoleh akses penerangan. Komitmen serupa juga ditunjukkan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2017, bahkan Jonan bertekad mengupayakan tidak ada kenaikan tarif listrik hingga akhir 2019. Memang tidak bisa dihindari ada penilaian dari beberapa kalangan bahwa komitmen Jonan itu dalam rangka mendukung upaya pemenangan pencapresan Joko Widodo periode kedua pada Pilpres 2019. Namun, lepas dari syak-wasangka politik itu, tidak ada kenaikan tarif listrik hingga 2019 akan menguntungkan rakyat dan industri pengguna listrik. Hanya, bagaimana strategi yang harus ditempuh agar tarif listrik tidak naik sehingga semakin terjangkau bagi masyarakat. Berbeda dengan percepatan elektrifikasi, komitmen pemerintah untuk secara konsisten tidak menaikan tarif listrik memang relatif lebih sulit untuk dicapainya. Penetapan tarif listrik relatif tidak bisa dikontrol (uncontrollable) secara langsung oleh pemerintah. Di samping tarif ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR, ada beberapa variabel yang secara signifikan menentukan tarif listrik. Satu di antara variabelnya adalah biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN dan power purchase agreement (PPA) dari independent power producer (IPP), perusahaan swasta yang menjual listrik ke PLN. Agar tarif listrik semakin terjangkau, PLN dan IPP harus mencapai efisiensi dalam produksi dan penyediaan listrik. Kendati terjadi tren penurunan BPP, PLN dinilai masih belum mencapai efisiensi secara optimal. Indikatornya, pemerintah masih mengeluarkan subsidi listrik dalam jumlah yang besar. Meskipun sudah ada pemangkasan, total subsidi listrik pada 2016 masih mencapai Rp58,1 triliun di antaranya untuk 24,7 juta rumah tangga miskin dan rentan
miskin. Inefisiensi PLN tersebut juga
tercermin dari ada gap antara BPP listrik per kWh yang selalu lebih
besar daripada tarif ditetapkan oleh
pemerintah bersama DPR.
Data menunjukkan pada 2011 BPP tercatat sebesar Rp1.251/kWh, sedangkan tarif listrik ditetapkan sebesar Rp738/kWh sehingga beban subsidi pemerintah sebesar Rp513/kWh. Pada 2016 BPP turun menjadi Rp1.229/kWh, tarif ditetapkan Rp1.150/kWh, beban subsidi turun menjadi Rp79/kWh. Pada tahun yang sama, harga jual PPA ke PLN rata-rata sebesar USD6,52 cent atau setara Rp868/kWh. Jumlah itu merupakan 64% dari HPP. Jika ditambah biaya distribusi, biaya transmisi, biaya pemeliharaan, dan biaya lainnya sebesar Rp488,52/kWh, yang
merupakan 36% dari HPP. Total HPP dari
IPP sebesar Rp1,356.25/kWh (Rp868+Rp488,52), masih lebih besar dibanding HPP
listrik yang dihasilkan oleh PLN sebesar Rp1.229/kWh.
Ada selisih kemahalan antara BPP IPP dan BPP PLN yang mendorong Kementerian ESDM mengimbau kepada direktur utama PLN untuk
meninjau ulang perjanjian jual beli tenaga
listrik dengan IPP. Tujuan dari imbauan itu adalah menjadikan tarif
listrik yang semakin terjangkau dan sekaligus menurunkan alokasi subsidi
listrik sesuai program
Kementerian ESDM. Melalui surat Direktur Jenderal Ketenagalistrikan
Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Sommeng
mengimbau PLN untuk meninjau ulang perjanjian dengan IPP bagi pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU), yang belum masuk tahap konstruksi atau belum mendapatkan
surat jaminan kelayakan usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.
Berdasarkan surat imbauan tersebut, PLN dengan sigap menindaklanjuti dengan melakukan perundingan secara business-to-business (B2B) dengan sejumlah IPP untuk meninjau ulang penetapan PPA yang sudah disepakati bersama. Hasilnya, PLTU Cirebon dan PLTU Tanjung Jati B 2X1000 MW sepakat menurunkan APP dari USD6 cent menjadi USD5,5 cent per kWh. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa-3 juga bersedia menurunkan APP dari USD6,3 cent per kWh menjadi USD6,1 per kWh. Demikian juga dengan PT Adaro Power tetap berkomitmen untuk mengembangkan bisnis pembangkit listrik di
Indonesia selama masih menarik secara
komersial.
Ada beberapa pengusaha listrik swasta yang telah bersedia dan berkomitmen menurunkan PPA mengindikasikan bahwa peninjauan ulang PPA tidak menjadi masalah serius bagi IPP. Sejumlah pengusaha listrik swasta bahkan mengatakan bahwa investasi listrik di Indonesia masih
memberikan margin. Meski margin
berkurang akibat penurunan PP, omzet penjualan yang diraup pengusaha
listrik swasta masih dalam
jumlah yang besar.
Tidak bisa dihindari, upaya peninjauan kembali penetapan PPA menimbulkan resistensi dari beberapa pihak. Rizka Armadhana, bendahara Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI),
menolak peninjauan kembali besaran
PPA. Menurut Rizka, peninjauan PPA berpotensi memunculkan ketidakpastian
baru bagi pelaku usaha di sektor listrik, termasuk lembaga keuangan.
Ujung-ujungnya akan memicu iklim investasi tidak lagi kondusif.
Penolakan senada juga disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Berapa saat setelah pertemuan Wakil Menteri ESDM Acandra Tahar, Luhut mengatakan seharusnya
evaluasi PPA sudah tidak perlu dilakukan
lagi bila dua belah pihak, yakni PLN dan pengembang swasta, sudah setuju
untuk melakukan tanda tangan kontrak PPA. Peninjauan kembali kontrak
PPA akan menimbulkan ketidakpastian, yang bisa memengaruhi minat para
investor untuk
berinvestasi di Indonesia.
Kekhawatiran bendahara APLSI dan Luhut memang beralasan. Namun, jika mencermati ada beberapa IPP, yang menerima peninjauan ulang PPA, bahkan bersedia menurunkan PPA, kekhawatiran Rizka dan Luhut sesungguhnya agak berlebihan. Apalagi, tujuan penurunan PPA itu untuk menjadikan tarif listrik semakin terjangkau oleh masyarakat sehingga pemerintah tidak perlu menaikan tarif listrik secara konsisten hingga 2019. Sesungguhnya ada kepentingan bangsa yang lebih besar untuk didahulukan dalam peninjauan ulang PPA, yakni tarif yang semakin terjangkau. Dengan tarif listrik yang terjangkau, tidak hanya mengurangi beban rakyat, tetapi juga menjadikan industri pengguna listrik bisa lebih kompetitif dalam bersaing di pasar global. Upaya Kementerian ESDM
untuk menjadikan tarif listrik semakin
terjangkau memang tidak mudah,
tetapi tidak mustahil untuk direalisasikan
selama didukung oleh berbagai pihak, termasuk dukungan dari Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar