Kerawanan
Pemilu
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP
Universitas Airlangga,
Surabaya
|
KOMPAS,
13 Desember
2017
Badan Pengawas Pemilu telah merumuskan Indeks
Kerawanan Pilkada/Pemilu. Apakah yang dimaksud dengan kerawanan pemilu?
Bawaslu periode 2012-2017 merumuskan kerawanan pemilu sebagai potensi
gangguan terhadap setiap tahapan pemilu.
Pada tahapan kampanye, misalnya,
kabupaten/kota yang memiliki penduduk miskin: lebih dari 30 persen
dikategorikan sebagai Sangat Rawan, 10-30 persen dikategorikan sebagai Rawan,
dan kurang dari 10 persen dikategorikan sebagai Aman. Gangguan seperti apakah
yang akan dilakukan orang miskin terhadap tahapan pemilu? Solidaritas di
antara orang miskin amat sangat lemah. Yang mungkin terjadi adalah calon yang
kaya tetapi kalah dalam pemilu/pilkada akan menggunakan ”biro jasa”
demonstrasi untuk melakukan unjuk kekuatan yang merusak. Orang-orang yang
digerakkan biro jasa tersebut belum tentu orang miskin. Kerawanan pemilu
versi Bawaslu tidak jelas hendak melaksanakan fungsi Bawaslu yang mana.
Kerawanan
atau malapraktik?
Kerawanan pemilu tak berkaitan dengan
pengawasan pemilu karena pengawasan terhadap setiap tahapan pemilu berfokus
pada penilaian apakah suatu tahapan pemilu dilaksanakan sesuai dengan UU.
Kerawanan pemilu juga tak secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum
karena hanya menyangkut potensi gangguan terhadap tahapan pemilu dan sama
sekali tak merujuk pada jenis pelanggaran. Indeks Pelanggaran Pemilu versi
Bawaslu tidak berkaitan secara langsung dengan tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) Bawaslu. Indeks kerawanan seperti itu mungkin berguna untuk
antisipasi kemungkinan yang akan terjadi.
Namun, Indonesian Parliamentary Centre
(IPC) menyebut 14 kerawanan Pemilu 2014, antara lain ketidakpuasan warga
masyarakat terhadap daftar pemilih karena banyak yang tak terdaftar, kampanye
yang menonjolkan kekuatan, surat undangan pemilih tak sampai pada pemilih
terdaftar, jumlah logistik yang kurang, perbedaan persepsi tentang surat
suara sah, pemungutan dan penghitungan suara melebihi waktu yang ditentukan
dalam UU, serta dugaan tentang penggelembungan suara.
Kerawanan pemilu versi IPC tak membedakan
potensi pelanggaran dari potensi irregularities (penyimpangan, tetapi bukan
pelanggaran). Surat undangan yang tidak sampai pada pemilih terdaftar jelas
merupakan penyimpangan, tetapi bukan merupakan pelanggaran; antrean pemilih
yang panjang bukan pelanggaran, tetapi merupakan penyimpangan dari kenyamanan
bagi pemilih. Sejumlah potensi pelanggaran, seperti jual-beli suara (antara
calon/operator dengan pemilih dan antara calon/operator dengan petugas
pemungutan dan penghitungan suara), serta penerimaan dan pengeluaran dana
kampanye yang tidak dilaporkan, misalnya, tidak disebut dalam kerawanan
pemilu IPC. Singkat kata, kerawanan pemilu versi IPC tidak seluruhnya
menyangkut potensi pelanggaran dan tidak menyebutkan potensi pelanggaran
secara lebih lengkap.
Yang berkaitan langsung dengan tupoksi
Bawaslu adalah tipologi pelanggaran pemilu (typology of electoral
malpractice). Tipologi pelanggaran pemilu untuk konteks Indonesia adalah
pelanggaran terhadap Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP), pelanggaran
terhadap Ketentuan Pidana Pemilu (KPP), dan pelanggaran terhadap Kode Etik
Penyelenggara Pemilu (KEPP). Akan tetapi, tipologi seperti ini terlalu umum
karena tak merujuk pada substansi proses penyelenggaraan pemilu. Dalam UU
Pemilu belum ditentukan KAP, sedangkan ketentuan pidana sudah diatur dalam
bab tersendiri. KEPP diatur Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bersama
dengan KPU dan Bawaslu.
Tipologi pelanggaran pemilu yang merujuk
pada substansi proses penyelenggaraan pemilu adalah manipulasi terhadap dasar
hukum pemilu, manipulasi terhadap pilihan pemilih, serta manipulasi terhadap
proses pemungutan dan penghitungan suara. Manipulasi tipologi pertama terjadi
sebelum pemilu, manipulasi tipologi kedua terjadi di masa kampanye, dan
manipulasi tipologi ketiga terjadi pada tahap pemungutan dan penghitungan
suara.
Akan tetapi, tipologi ini kurang lengkap
karena tak memberi tempat pada berbagai kasus pelanggaran setelah proses
pemungutan dan penghitungan suara (pascapemilu). Karena itu, perlu ditambah
satu tipe pelanggaran lagi, yaitu pelanggaran yang terjadi setelah pemungutan
dan penghitungan suara. Alokasi kursi DPR yang berlebihan (over
representation) kepada sejumlah daerah dan alokasi kursi yang kurang (under
representation) kepada beberapa daerah (malapportionment), dan pembentukan
daerah pemilihan yang hanya menguntungkan partai tertentu (gerrymandering)
merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi dasar hukum
pemilu. Pelanggaran seperti ini tentu tak bisa ditangani Bawaslu, tetapi
dapat dipersoalkan berbagai kalangan lain kepada Mahkamah Konstitusi.
Penggunaan uang dan sembako untuk
mendapatkan suara pemilih, isu SARA untuk memengaruhi pilihan pemilih,
mencela peserta pemilu lain dalam hal tertentu tetapi tanpa bukti (black
campaign), penggunaan anggaran negara/daerah untuk memengaruhi pilihan
pemilih (pre-election fiscal manipulation), pemberian dana kepada partai agar
ditetapkan sebagai calon (uang mahar), penggunaan intimidasi atau ancaman
kekerasan untuk memengaruhi pilihan pemilih, dan pemasangan iklan kampanye di
televisi yang didominasi peserta pemilu tertentu merupakan contoh pelanggaran
pemilu yang termasuk manipulasi pilihan pemilih.
Pengaturan tentang pemberian suara yang tak
memperhatikan pemilih berkebutuhan khusus, penggunaan hak pilih lebih dari
satu kali, kepala keluarga/kepala suku/kepala banjar mencoblos banyak surat
suara atas nama keluarga/suku/banjar, penggunaan hak pilih pemilih lain,
mengurangi suara suatu partai dan menambah suara partai lain, penghitungan
suara yang tidak transparan, panitia pemilihan dan penyelenggara pemilu yang
berpihak kepada peserta pemilu tertentu, serta ruang gerak pemantau pemilu
yang dibatasi merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi
proses pemungutan dan penghitungan suara.
Peserta pemilu/calon yang kalah mengerahkan
massa merusak kantor KPU atau kantor instansi pemerintah sebagai protes,
peserta pemilu/calon tak melaporkan seluruh penerimaan dan pengeluaran dana
kampanye pemilu, penyumbang dana kampanye yang fiktif, menerima dana dari
sumber yang dilarang UU dan tak menyerahkan dana itu ke kas negara, tak
melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye merupakan sejumlah contoh
pelanggaran setelah pemungutan dan penghitungan suara.
Langkah
prioritas
Sejumlah langkah perlu diambil Bawaslu.
Pertama, memetakan jenis pelanggaran apa sajakah yang kemungkinan besar
terjadi dan di daerah mana. Kedua, menyiapkan mekanisme pelaporan yang
memudahkan pemilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu menyusun serta
menyampaikan laporan dugaan pelanggaran pemilu. Ketiga, menyiapkan para
petugas, baik dalam merespons laporan maupun dalam ”jemput bola” mendekati
warga masyarakat. Karena keengganan sebagian pemilih mengirimkan pengaduan,
Bawaslu perlu mengambil langkah jemput bola.
Dan akhirnya, semua jenis pelanggaran wajib
ditangani oleh Bawaslu. Akan tetapi, Bawaslu perlu menentukan ”prioritas”.
Tiga contoh dapat dikemukakan di sini. Penggunaan isu SARA diperkirakan akan
banyak digunakan di sejumlah daerah dalam Pilkada 2018. Jual-beli suara
antara calon/operator dan pemilih/tokoh masyarakat atau antara calon/operator
dan panitia pemilihan diperkirakan akan banyak terjadi pada Pilkada Serentak
2018 dan Pemilu 2019. Pemilu di Indonesia sudah bebas, tetapi belum adil
karena sebagian calon menggunakan uang dan sembako untuk membeli suara
pemilih.
Partisipasi pemilih dalam pemungutan suara
(voting turn out) belum maksimal, yaitu 71 persen pada Pemilu 2014, antara
lain karena baik UU Pemilu maupun peraturan KPU belum memfasilitasi para
pemilih yang memiliki kebutuhan khusus, seperti difabel, pasien, tenaga medis
dan dokter di rumah sakit, mahasiswa yang berasal dari luar daerah, pekerja
musiman di kota besar, dan pemilih yang harus ke luar kota karena pekerjaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar