Mengembalikan
Pamor Partai Golkar
Suhardi Suryadi ; Direktur LP3ES Tahun 2005-2010;
Konsultan di The Institute for Democracy Education
|
KOMPAS,
15 Desember
2017
Suka tidak suka, Partai Golkar merupakan
partai yang infrastruktur politiknya cukup mapan dibandingkan dengan partai
lain. Sekalipun harus diakui juga bahwa tidak semua elemen kelembagaannya,
termasuk organisasi kekaryaan yang menjadi underbouw partai, bisa berfungsi baik,
terutama dalam mengartikulasi kepentingan rakyat pemilihnya. Golkar
juga menjadi partai yang bersifat terbuka dan cair serta dapat
melepaskan diri sebagai partai Orde Baru. Tidak ada lagi pemilik atau
penguasa tunggal yang mengendalikan dan memutuskan kebijakan partai. Ini
berbeda dengan partai-partai lain,
yang setiap keputusan politiknya bergantung pada ketua umum atau dewan
pembina.
Namun, sayangnya, aset politik yang
dimiliki tak mampu dikapitalisasi sebagai kekuatan yang efektif untuk
memajukan kehidupan politik yang sehat dalam rangka kemajuan bangsa dan
negara. Partai ini justru mengalami perkembangan memilukan hingga titik nadir
seiring keterlibatan Setya Novanto dalam kasus megakorupsi KTP elektronik.
Seolah-olah kehadirannya telah menjadi virus
yang akan mematikan bagi masa depan partai sehingga tuntutan
diselenggarakannya musyawarah nasional luar biasa (munaslub) partai sulit
dihindari, dengan harapan mengembalikan pamor Golkar.
Bisnis
politik
Pada hakikatnya, gejala kemerosotan Golkar
sudah lama terjadi. Hal ini ditandai perolehan suara pada Pemilu 1999 sebesar
22,44 persen. Sekalipun kemudian memenangi pemilihan legislatif 2004,
perolehan suaranya menurun menjadi 21,58 persen. Berkurangnya kepercayaan masyarakat
terhadap Golkar ternyata kurang direspons elite partai dengan melakukan
pembaruan posisi, peran dan program politiknya mengikuti dinamika sosial
masyarakat pemilih.
Akibatnya, suara yang diperoleh tinggal
14,5 persen (2009) dan tak berbeda jauh dengan hasil Pemilu 2014, yakni 14,75
persen. Bahkan, ketidakpercayaan masyarakat semakin tinggi dengan beberapa
kasus korupsi yang menimpa ketua umumnya. Survei Litbang Kompas atas
elektabilitas partai politik pada April 2017 menunjukkan bahwa suara Golkar
hanya sekitar 7,8 persen.
Ironisnya, dalam situasi terperosok, partai
dikelola seperti biasa (bisnis as usual). Wajah pemihakan Golkar atas
persoalan rakyat, seperti ketimpangan, ketidakadilan, dan kemiskinan, nyaris tidak tampak sebagai perwujudan
dari visinya, yaitu berjuang menuju Indonesia
baru yang maju, modern, bersatu, damai, adil, dan makmur.
Ketidakhadiran partai di tengah rakyat juga
terlihat dari absennya, baik kader
maupun organisasi underbouw-nya, dalam kerja nyata di tengah masyarakat
sebagai cerminan posisi Golkar sebagai partai gerakan. Bahkan, partai ini
juga kurang melakukan kegiatan pendidikan politik dan kaderisasi secara
masif dengan mendorong dan menempatkan
generasi muda yang relatif bebas dari konflik kepentingan masa lalu sebagai
motor untuk menggerakkan roda organisasi.
Sejak reformasi, ada kesan pengelolaan
partai tak ubahnya seperti bisnis dengan politik sebagai komoditas. Dengan
demikian, yang diukur dan dikejar adalah jabatan dan materi dibandingkan
dengan kelahiran sosok pemimpin yang memiliki integritas dan produk politik
untuk kemajuan bangsa dan negara. Karena itu, kehidupan organisasi sarat
transaksi, mulai dari pemilihan ketua umum, elite pengurus, calon wakil
rakyat di DPR, hingga pemilihan pemimpin daerah. Bahkan, Golkar mengalami de-ideologisasi dan
basis pemilih mengambang, di mana
elite dan politisi partai tidak lagi berdiri untuk apa pun atau siapa
pun sehingga kehilangan politisi yang memiliki prinsip, ide-ide politik , dan
program inovatif.
Partai
marginal
Mengutip pendapat Frans Becker dan Rene
Cuperos dalam The Party Paradox: Political Parties Between Irrelevance and
Omnipotence, perkembangan Golkar saat ini seperti partai politik yang hampir
mati akibat ada krisis kepemimpinan dan penurunan dukungan pemilih. Dengan
demikian, munaslub menjadi peristiwa penting dan menentukan dalam
mengembalikan pamor Golkar. Setidaknya ada tiga isu yang mesti
dipertimbangkan jika Golkar tak ingin terperosok lebih dalam sebagai partai
marjinal.
Pertama, Golkar perlu memilih sosok ketua
umum yang berintegritas dan berlatar
belakang politik dan bukan sekadar memiliki sumber daya lebih. Pimpinan dan
pengurus Golkar juga perlu diisi dengan figur yang tak mencari jabatan dan
uang sehingga tidak transaksi atas sikap politiknya.
Kedua, Golkar perlu mendeklarasikan sebagai
partai antikorupsi dengan memelopori gerakan pemberantasan korupsi, terutama
di internal organisasinya. Misal, meminta setiap kader di eksekutif dan
legislatif, baik di pusat maupun daerah, membuat pakta integritas untuk tak
melakukan praktik korupsi.
Ketiga, Golkar perlu mendorong dan memulai
proses perekrutan dan seleksi pimpinan nasional (presiden) melalui pendekatan
konvensi sehingga dapat diperoleh figur pemimpin otentik yang memiliki
talenta dalam memajukan bangsa dan negara. Dalam kaitan ini, Golkar juga
melarang ketua umumnya ikut berlaga dalam konvensi.
Golkar juga penting untuk tak selalu berada
dalam kekuasaan mengingat keberadaan kadernya di pemerintahan belum terbukti
memberi dampak terhadap kemajuan partai. Kehadiran di kekuasaan justru
mengakibatkan Golkar tidak mandiri dan
menjadi kritis terhadap produk kebijakan pemerintah yang mengasingkan rakyat.
Dengan memutuskan keempat poin di atas, itu
akan menjadi embrio dan pintu masuk dalam mengembalikan pamor Golkar ke
depan. Sebaliknya, jika hanya memilih ketua umum semata, munaslub hanya
bersifat seremonial yang tak mampu mengangkat pamor partai. Sayang dan tragis
sekali jika kelak Golkar menjadi partai marjinal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar