Jumat, 01 Desember 2017

Urgensi Tarif Listrik Terjangkau

Urgensi Tarif Listrik Terjangkau
Fahmy Radhi  ;  Pengamat Ekonomi Energi UGM; 
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
                                              KORAN SINDO, 30 November 2017



                                                           
UNTUK mencapai keadilan ener­­gi, sesuai dengan Prog­­ram Nawacita Pre­si­den Joko Widodo, Ke­men­te­ri­an Ener­gi dan Sumber Daya Mi­ne­ral (ESDM) tampaknya be­ker­ja k­e­ras untuk mewujudkan itu sa­tu di antaranya melalui prog­ram ke­listrikan. Di sam­ping me­wu­jud­kan Proyek Lis­trik 35.000 MW, program ung­gul­an Joko Wi­dodo, Menteri ESDM Ign­a­sius Jonan juga mem­pri­o­ri­tas­kan percepatan ele­k­trifikasi, uta­manya listrik di perdesaan.

Melalui Peraturan Menteri ESDM No 38/2016 tentang Per­ce­patan Elektrifikasi di ­Per­d­e­sa­an, pemerintah ber­ko­mit­men untuk mempercepat elek­tri­fikasi di 2.500 desa yang be­lum berlistrik dengan prioritas: (1) perdesaan belum ber­kem­bang, (2) perdesaan terpencil, (3) perdesaan perbatasan, dan (4) pulau kecil berpenduduk. Prio­ritas elektrifikasi perdesa­an ini menunjukkan komitmen p­e­merintah kepada rakyat di perdesaan untuk memperoleh ak­ses penerangan.

Komitmen serupa juga di­tun­­jukkan pemerintah untuk ti­­dak menaikkan tarif listrik hing­ga akhir 2017, bahkan Jo­nan ber­­tekad mengupayakan ti­dak ada kenaikan tarif listrik hing­ga akhir 2019. Memang ti­dak bisa di­­hindari ada penilaian da­ri be­be­­rapa kalangan bahwa ko­mit­men Jonan itu dalam rangk­a men­­­dukung upaya pe­me­nang­an pen­capresan Joko Wi­dodo periode kedua pada Pil­pres 2019. Na­mun, lepas dari syak-wa­sang­ka politik itu, tidak ada ke­naikan ta­rif listrik hingga 2019 akan me­ng­untungkan rak­­yat dan in­dus­tri pengguna listrik.

Hanya, bagaimana strategi yang harus ditempuh agar tarif lis­trik tidak naik sehingga se­ma­kin terjangkau bagi ma­sya­ra­kat. Berbeda dengan percepat­an elektrifikasi, komitmen pe­merintah untuk secara kon­sis­ten tidak menaikan tarif listrik memang relatif lebih sulit un­tuk dicapainya. Penetapan ta­rif listrik relatif tidak bisa di­kon­trol (uncontrollable) secara lang­sung oleh pemerintah.

Di sam­ping tarif ditetapkan oleh pe­merintah bersama DPR, ada be­b­erapa variabel yang secara sig­nifikan menentukan tarif lis­t­rik. Satu di antara varia­belnya ada­lah bia­ya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN dan po­wer pur­chase agre­e­ment  (PPA) dari in­de­pen­­dent power pro­du­cer  (IPP), perusahaan swas­ta yang men­jual lis­trik ke PLN. Agar ta­­rif lis­trik semakin ter­jangkau, PLN dan IPP harus mencapai efi­­sien­si dalam pro­duk­si dan pe­nye­dia­an listrik.

Kendati terjadi tren pe­nu­run­an BPP, PLN dinilai masih be­lum mencapai efi­sien­si se­ca­ra optimal. In­di­ka­tornya, pe­me­rin­­tah masih me­nge­luar­kan sub­sidi listrik da­lam jumlah yang be­sar. Meskipun su­dah ada pemangkasan, to­tal subsidi lis­trik pada 2016 masih me­­n­ca­pai Rp58,1 triliun di an­ta­ranya un­tuk 24,7 juta rumah tang­ga mis­­k­in dan rentan
mis­kin. In­efi­sien­si PLN tersebut ju­ga ter­cer­min da­ri ada gap  antara BPP lis­trik per kWh yang selalu le­bih be­sar da­ri­pa­da tarif d­it­e­tap­kan oleh
pe­me­rin­tah ber­sa­ma DPR.

Data menunjukkan pada 2011 BPP tercatat sebesar Rp1.251/kWh, sedangkan tarif lis­trik ditetapkan sebesar Rp738/kWh sehingga beban sub­sidi pemerintah sebesar Rp513/kWh. Pada 2016 BPP tu­run menjadi Rp1.229/kWh, ta­rif ditetapkan Rp1.150/kWh, be­ban subsidi turun menjadi Rp79/kWh. Pada tahun yang sa­ma, harga jual PPA ke PLN rata-rata sebesar USD6,52 cent atau s­e­tara Rp868/kWh. Jumlah itu me­rupakan 64% dari HPP. Jika di­tambah biaya distribusi, biaya trans­misi, biaya pemeliharaan, dan biaya lainnya sebesar Rp488,52/kWh, yang
m­e­ru­pa­kan 36% dari HPP. Total HPP da­ri IPP sebesar Rp1,356.25/kWh (Rp868+Rp488,52), masih le­bih besar dibanding HPP listrik yang dihasilkan oleh PLN se­be­sar Rp1.229/kWh.

Ada selisih kemahalan an­ta­ra BPP IPP dan BPP PLN yang men­dorong Kementerian ESDM mengimbau kepada di­rek­tur utama PLN untuk
me­nin­jau ulang perjanjian jual beli t­e­naga listrik dengan IPP. Tu­ju­an dari imbauan itu adalah men­ja­dikan tarif listrik yang se­ma­kin terjangkau dan sekaligus me­nurunkan alokasi subsidi lis­trik sesuai program
Ke­men­te­ri­an ESDM. Melalui surat Di­rek­tur Jenderal Ketenagalistrikan
Ke­menterian ESDM, Andy Noor­sa­man Sommeng meng­im­bau PLN untuk meninjau ulang perjanjian dengan IPP ba­gi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang belum masuk ta­hap konstruksi atau belum men­dapatkan surat jaminan ke­layakan usaha (SJKU) dari Ke­­menterian Keuangan.

Berdasarkan surat im­bau­an ter­­sebut, PLN dengan sigap me­­­nin­daklanjuti dengan me­la­­ku­­kan perundingan secara business-to-business  (B2B) de­ngan sejumlah IPP untuk me­nin­­­jau ulang penetapan PPA yang sudah disepakati be­r­sa­ma. Ha­silnya, PLTU Cirebon dan PLTU Tanjung Ja­ti B 2X1000 MW se­­pakat men­u­run­kan APP da­r­i USD6 cent menjadi USD5,5 cent per kWh. Selain itu, Pem­bang­­kit Lis­trik Te­na­ga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa-3 juga ber­se­dia me­nu­run­­kan APP dari USD6,3 cent per kWh menjadi USD6,1 per kWh. D­e­mi­kian ju­ga de­ngan PT Adaro Po­wer tetap ber­­ko­mit­men untuk me­­ngem­bang­­kan bis­nis pem­b­angkit  lis­­trik di
In­do­ne­sia se­lama masih me­narik se­ca­ra komersial.

Ada beberapa peng­usaha lis­trik swas­ta yang telah ber­se­dia dan ber­ko­mit­men me­nu­run­kan PPA mengin­di­ka­si­kan bah­wa pe­n­injau­an ulang PPA tidak men­jadi ma­salah serius bagi IPP. Sejumlah peng­usaha listrik swas­ta bah­kan mengatakan bah­wa in­ves­ta­si listrik di In­do­ne­sia masih
mem­berikan mar­gin. Meski mar­gin berkurang aki­bat pe­nu­run­an PP, omzet pen­­jualan yang di­raup peng­usa­ha listrik swasta ma­sih dalam
jum­lah yang besar.

Tidak bisa dihindari, upaya pe­­ninjauan kembali pe­ne­tap­an PPA menimbulkan re­si­­s­ten­­si dari beberapa pihak. Ri­z­ka Ar­ma­dhana, bendahara Aso­siasi Peng­usaha Listrik Swas­ta In­do­nesia (APLSI),
m­e­no­lak p­e­nin­jau­an kembali be­sar­an PPA. Me­n­urut Rizka, pe­nin­jauan PPA ber­potensi me­mun­­culkan ke­ti­dak­pastian ba­ru bagi pelaku usa­ha di sektor lis­trik, ter­ma­suk lembaga ke­uang­an. Ujung-ujungnya akan me­micu iklim investasi tidak la­gi kondusif.

Penolakan senada juga di­sua­ra­kan oleh Menteri Koo­r­di­na­tor Bi­dang Kemaritiman Lu­hut Bin­sar Panjaitan. Berapa saat se­te­lah pertemuan Wakil Men­teri ESDM Acandra Tahar, Lu­hut me­ngatakan seharusnya
eva­lua­si PPA sudah tidak perlu di­la­ku­kan lagi bila dua belah pi­hak, yak­ni PLN dan pe­ngem­bang swasta, su­dah setuju un­tuk melakukan tan­da tangan kon­trak PPA. Pe­nin­jauan kem­bali kontrak PPA akan me­nim­bul­kan ketidak­pas­ti­an, yang bi­sa memengaruhi mi­nat para in­ves­tor untuk
ber­in­ves­tasi di Indonesia.

Kekhawatiran bendahara APLSI dan Luhut memang ber­alas­an. Namun, jika menc­er­mati ada beberapa IPP, yang me­n­­erima peninjauan ulang PPA, bah­kan bersedia menurunkan PPA, kekhawatiran Rizka dan Lu­hut sesungguhnya agak be­r­le­bihan. Apalagi, tujuan pe­nu­run­an PPA itu untuk menj­a­di­kan tarif listrik semakin ter­jang­kau oleh masyarakat s­e­hing­ga pemerintah tidak perlu me­n­aikan tarif listrik secara kon­sisten hingga 2019.

Sesungguhnya ada ke­pen­tin­gan bangsa yang lebih besar un­tuk didahulukan dalam pe­nin­­jauan ulang PPA, yakni ta­rif yang semakin terjangkau. De­­­ngan tarif listrik yang ter­jang­­­kau, tidak hanya me­ngu­rangi be­ban rakyat, tetapi juga men­­­ja­di­kan industri peng­gu­na listrik bisa lebih kompetitif da­­lam ber­saing di pasar glo­bal. Upa­y­a Ke­men­terian ESDM
un­­tuk men­ja­di­kan tarif lis­trik se­makin ter­jangkau me­mang ti­dak mudah,
te­tapi ti­dak mus­ta­hil untuk di­rea­li­sa­sikan s­e­lama didukung oleh ber­bagai pih­ak, termasuk du­k­ung­an da­r­i Menteri Koor­di­na­­tor Bidang Ke­maritiman Lu­­hut Binsar Panjaitan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar