Maulid
Nabi dan Islam Rahmatan lil Alamin
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah
dan UMJ
|
KORAN
SINDO, 30 November 2017
MAULID Nabi Muhammad SAW penting diperingati
dan dimaknai dalam konteks penumbuhan sikap cinta Nabi SAW dan pengembangan
spirit Islam autentik yang pernah didakwahkan oleh Nabi SAW dengan
cinta dan damai. Melalui Maulid Nabi SAW, umat dan bangsa diajak untuk
meneladani visi-misi profetiknya yang agung, yaitu mewujudkan Islam rahmatan
lil ‘alamin bagi semesta raya.
Aktualisasi Islam rahmatan lil ‘alamin bukan sekadar wacana, melainkan Islam autentik yang pernah diteladankan Nabi SAW melalui kesuksesannya dalam mengemban lima peran profetik, yaitu: sebagai syahidan (saksi dan pemberi bukti atas kebenaran Islam), mubasysyiran (pembawa kabar gembira, motivator), nadziran (pemberi peringatan, penegak keadilan), da’iyan ila Allah (penyeru agama Allah), dan sirajan muniran (cahaya yang memberikan pencerahan, inspirator) (QS al-Ahzab [33]:45-46). Lima peran profetik itu dituntaskan dengan mendeklarasikan diri sebagai seorang pendidik sekaligus penyempurna akhlak mulia (HR Malik). Tugas Nabi SAW memang bukan sekadar menyampaikan ayat-ayat Allah, tetapi juga menjadi teladan mental spiritual dan moral paling ideal bagi umat manusia. Dengan sunnahnya, Nabi SAW tampil sebagai penjelas ayat-ayat dalam bentuk amalan nyata. Karena itu, wujud Islam rahmatan lil ‘alamin itu mewujud dalam kepribadian beliau yang luhur. “Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat keteladanan yang baik bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan Hari Akhir.” (QS al-Ahzab [33]: 21). Resolusi Konflik Dialogis Sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad pernah memberi teladan dialogis yang sukses melakukan resolusi konflik antarsuku yang nyaris berakhir dengan konfrontasi fisik. Saat itu semua suku Arab di sekitar Kota Mekkah saling berebut “gengsi sosial” untuk meletakkan kembali Hajar Aswad yang terempas dari posisinya akibat banjir bandang. Setiap suku merasa berhak menempatkannya kembali pada posisi semula. Semua bersitegang dan merasa benar sendiri-sendiri. Untunglah, dicapai kata sepakat bahwa orang pertama yang masuk Masjidilharam dipercaya menyelesaikan konflik itu. Muhammad, pemuda yang waktu masuk masjid pertama kali, tampil memberi solusi dengan terlebih dahulu berdialog dengan para kepala suku. Hasil dialog itu dilanjutkan dengan menggelar sorban beliau, lalu Hajar Aswad diletakkan di atasnya dan diangkat secara bersama-sama menuju posisinya. Semua aspirasi diakomodasi, dan semua diberikan haknya. Tindak kekerasan antarsuku dapat dihindari. Dengan resolusi konflik dialogisnya, Muhammad sukses sebagai problem solver, bukan trouble maker. Resolusi konflik dialogis itu membuat beliau meraih legitimasi sosial dan gelar kemuliaan “al-Amin Award “ (Orang yang sangat dapat dipercaya). Dialog dalam menyelesaikan persoalan merupakan solusi damai yang dapat mengakomodasi semua pihak dengan win-win solution. Pemimpin tepercaya (al-Amin) pasti berusaha mencari solusi terhadap berbagai persoalan secara dialogis dan damai sekaligus mengedepankan kepentingan rakyatnya, bukan kepentingan golongan dan partainya. Setelah diangkat menjadi rasul, Nabi SAW membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang jujur dan benar (shidq), dapat dipercaya, akuntabel (amanah), terbuka dan komunikatif (tabligh), serta cerdas dalam memahami dan memperjuangkan kemajuan masyarakatnya (fathanah). Kata kunci dari keberhasilan Rasul dalam memimpin umat adalah keluhuran akhlak dan keteladanannya yang baik, bersatunya antara kata dan perbuatan nyata. Beliau tidak mudah mengobral janji dan gemar melakukan pencitraan, tetapi selalu terdepan dalam memberi uswah hasanah (teladan terbaik) bagi umatnya. Aktualisasi Rahmatan lil ‘alamin Salah satu identitas Islam adalah ajaran salam (cinta damai): as-salamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Nilai-nilai salam ini sangat penting direvitalisasi dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari karena setiap hari minimal lima kali muslim mengucapkan salam ketika mengakhiri salat. Artinya, menjadi muslim dituntut mampu mengupayakan terwujudnya: salam (perdamaian, cinta damai), rahmat (kasih sayang, harmoni, semangat ihsan, berbuat baik demi kebaikan semua), dan barakah (nilai kebaikan, keberkahan, dan kebermaknaan dalam hidup). Visi Islam rahmatan lil ‘alamin dapat diwujudkan melalui beberapa hal. Pertama, menampilkan Islam autentik yang sangat damai (peaceful), penuh empati, dan harmoni. Nabi SAW mengedepankan pemberian maaf daripada membalaskan dendam atau kemarahan hatinya akibat dibenci dan dimusuhi. Beliau lebih suka memberi dan menolong orang lain daripada mementingkan dirinya sendiri atau memperkaya diri. Kedua, Islam mengajarkan pentingnya bersikap empati dan memberi pertolongan meskipun terhadap orang yang memusuhi dan menzaliminya sekalipun sebab dengan begitu sikap dan pandangan musuh boleh jadi berubah menjadi lebih baik dan tidak lagi memusuhi Islam. Ketiga, jalan kekerasan bukan solusi dalam memecahkan berbagai persoalan, termasuk persoalan ketidaksukaan Abu Jahal dan komplotannya terhadap dakwah Islam. Nabi SAW memilih jalan damai dengan menolong dan memaafkan orang yang memusuhinya karena dapat berdampak positif bagi perubahan citra positif Islam di mata orang-orang kafir yang tidak menyukainya. Jadi, pendidikan perdamaian merupakan salah satu fondasi dan modal sosial aktualisasi Islam rahmatan lil ‘alamin. Keempat, esensi Maulid Nabi adalah kelahiran figur pejuang HAM sejati yang tulus dan berdedikasi sangat tinggi. Beliau menghargai perbedaan, termasuk kepada musuh atau orang yang sangat dibenci karena berbeda etnis, agama, atau ideologi. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan: “Dari Jabir RA bahwa ada jenazah yang diusung melewati Nabi SAW, kemudian beliau berdiri (untuk memberi hormat kepadanya) dan kami pun (ikut) berdiri. Lalu kami berkata: ‘Ya Rasul, jenazah itu jenazah Yahudi.’ Rasulullah lalu berkata: ‘Sesungguhnya kematian itu sesuatu yang menakutkan. Jika kalian melihat jenazah, hendaklah engkau berdiri.’ Dalam riwayat lain, kepada Rasul dinyatakan: ‘Jenazah itu jenazah seorang Yahudi.’ Lalu Rasulullah berkata: ‘Tidakkah jenazah Yahudi itu juga manusia?” (HR al-Bukhari). Kelima, revitalisasi Islam yang humanis: ramah, penuh kasih sayang, cinta damai, dan toleran. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak melakukan pertumpahan darah selama di Kota Mekah maupun ketika membebaskan Kota Mekkah. Dalam konteks ini, Hannan al-Lahham, dalam Hadyu al-Sirah wa al-Taghyir al-Ijtima’i (2002), menyatakan bahwa orang-orang kafir Quraisy sudah berprasangka buruk bahwa Nabi SAW akan “melampiaskan dendamnya” dengan membunuh atau mengusir mereka dari Mekkah. Namun, saat itu Nabi dengan bahasa yang santun melakukan “pengampunan massal”. Kata beliau, “Kalian semua boleh pergi meninggalkan Mekkah; kalian semua bebas, dimaafkan.” (idzhabu, fa antum al-thulaqâ’). Lebih lanjut Nabi menyatakan: “Dinuna dinul al-marhmah“ (agama kami adalah agama kasih sayang).
Meneladani
Memaknai Maulid Nabi SAW menghendaki umat Islam untuk mereformasi komitmen moral kita untuk mematuhi, meneladani, dan mengamalkan Islam secara konsisten di tengah kehidupan masyarakat sehingga dapat mewujudkan kedamaian, keharmonisan, kesejahteraan, dan kasih sayang bagi umat manusia dan makhluk lain yang ada di alam raya ini. Maulid Nabi meniscayakan Islam yang penuh rahmat: ramah, penuh perdamaian, toleran, kasih sayang, antikekerasan, dan antiterorisme. Dengan keteladanan moralnya, terbukti beliau mampu mengubah masyarakat Jahiliah yang tak bermoral menjadi masyarakat yang berakhlak mulia. Dengan memperingati Nabi SAW sesungguhnya sistem nilai Islam diharapkan dapat mewujudkan tatanan kehidupan umat manusia dan sistem dunia yang adil, damai, sejahtera, dan bahagia dunia dan akhirat. Jadi, visi rahmatan lil ’alamîn mengharuskan kita mampu menjadikan Islam sebagai agama teladan yang autentik sekaligus agama peradaban yang berkeadaban, berperikemanusiaan, dan berkeadilan. Islam itu untuk semua dan memberi rahmat bagi semesta raya (Islam for all). Menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin menuntut ketulusan hati dan keterbukaan sikap umat Islam untuk menampilkan Islam yang unggul dan berkemajuan, bukan berperilaku melawan hukum dan mencoreng citra positif Islam. Sebagai rahamatan lil ‘alamin, Islam pada zaman now harus menjadi bagian integral dari upaya meneladani al-asma’ al-husna, yaitu ar-Rahman ar-Rahim. Kalau Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang, sebagai umat-Nya, kita semua, harus mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Sifat utama yang ditunjukkan oleh Allah, terutama ketika mengawali surat-surat Alquran, adalah sifat kasih sayang (ar-Rahman ar-Rahim). Oleh para penulis sirah-nya, Nabi SAW juga dijuluki sebagai Nabiyyu ar-Rahmah (Nabi Sang Pembawa ajaran kasih sayang). Jika sebagai pengikutnya, kita meyakini Allah dan Nabi-Nya mengedepankan sifat rahmah, maka sudah semestinya menjadi rahmat Islam ini menjadi karakter utama dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan senantiasa meneladani akhlaknya yang mulia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar