Cacat
Hukum Pemilihan Hakim Konstitusi
Syamsyuddin Radjab ; Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin, Makassar;
Direktur Jenggala Center
|
KOMPAS,
14 Desember
2017
Publik dikejutkan dengan berita digelarnya
uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi, Arief
Hidayat—yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua MK—pada Rabu (6/12) oleh
Komisi III DPR. Masa jabatan Arief sebagai hakim konstitusi akan berakhir April
2018.
Keterkejutan itu disebabkan karena selama
ini tidak diketahui ada pengumuman dari DPR soal perekrutan dan pencalonan
hakim konstitusi. Perekrutan dan pencalonan seharusnya dilaksanakan secara
transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (yang diubah menjadi UU No
8/2011), asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi
dan nepotisme menurut UU No 28/1999 dan TAP MPR No XI/MPR/1998.
Pencalonan Arief Hidayat oleh DPR secara
tertutup dan sembunyi-sembunyi jelas melanggar peraturan perundang-undangan,
etika, dan moral penyelenggaraan negara, apalagi terhadap seseorang yang akan
menjaga konstitusi negara dengan gelar negarawan.
Proses pencalonan hakim konstitusi secara
tertutup bukan kali ini saja terjadi. Setidaknya, dua mantan hakim konstitusi
pernah menikmati praktik ini, yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar—keduanya
berakhir naas karena terlibat tindak pidana korupsi saat menjalankan tugasnya
sebagai hakim MK.
Akil Mochtar menikmati perpanjangan masa
jabatan sebagai hakim MK untuk periode kedua pada 2013-2018. Sementara
Patrialis Akbar ditunjuk menjadi hakim konstitusi oleh Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono lewat Keppres No 87/P Tahun 2013, juga tanpa melalui
mekanisme seperti diatur dalam Pasal 19 UU MK. Hal ini memicu gugatan ke PTUN
oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, dan pengadilan mengabulkan
gugatan ini.
Bukan tidak mungkin, kasus perpanjangan
jabatan Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi juga akan digugat oleh
masyarakat karena proses dan tata cara pengajuan pencalonannya melanggar
ketentuan perundang-undangan akibat tidak transparan, partisipatif, obyektif,
dan akuntabel.
Seleksi
hakim dan marwah MK
Pasal 20 Ayat 1 UU No 24/2003 tentang
Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar tata cara seleksi, pemilihan dan
pengajuan hakim konstitusi diatur oleh setiap lembaga yang berwenang, yaitu
Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden, dengan jatah masing-masing tiga orang
(Pasal 18 Ayat 1 UU MK) dan dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel (Pasal
20 ayat 2 UU MK).
Pengaturan itu sangat penting untuk
menghasilkan calon hakim MK yang berwawasan luas terkait dengan konstitusi
dan ketatanegaraan, berintegritas, tidak tercela, adil, dan bersifat negarawan
sesuai Pasal 15 UU MK. Sejauh ini, perintah UU MK tentang pengaturan tata
cara seleksi calon hakim MK di ketiga lembaga negara itu belum dibuat, baik
dalam bentuk peraturan MA (perma), peraturan presiden, maupun peraturan DPR
sehingga rawan untuk diselewengkan.
Ketiadaan pengaturan internal itu berakibat
pada munculnya pengajuan calon hakim MK yang berubah-ubah. Kadang kala,
proses tersebut berlangsung ideal sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan
negara dan pemerintahan yang baik. Kadang juga penuh kontroversi, KKN, dan
sesuai selera lembaga pengusul, seperti dalam kasus perpanjangan Arief
Hidayat saat ini.
Secara ideal dan kelaziman, dalam pengisian
jabatan publik lembaga negara, khususnya MK, lembaga pengusul membentuk
panitia seleksi untuk merekrut calon hakim MK dengan mengumumkan kepada
publik ada pendaftaran, seleksi, dan uji kelayakan melalui panel ahli, dengan
melibatkan partisipasi publik dan wawancara sebelum yang bersangkutan
direkomendasikan sebagai calon hakim MK.
Hal ideal itu kembali diterobos oleh Komisi
III DPR sehingga melahirkan kecurigaan publik tentang kemungkinan ada barter
dan lobi-lobi politik. Apalagi proses ini berlangsung di tengah silang
sengkarut antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pansus KPK DPR
terkait dengan pengajuan uji materi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3) oleh karyawan KPK menyangkut hak angket dan juga Ketua DPR Setya
Novanto yang menguji Pasal 12 dan Pasal 46 Ayat 1 dan 2 UU KPK ke Mahkamah
Konstitusi yang diketuai oleh Arief Hidayat.
Kecurigaan publik muncul karena
perpanjangan status Arief Hidayat sebagai hakim MK dilakukan dengan proses
tertutup dan melanggar ketentuan UU MK di tengah perseteruan KPK dan DPR, di
mana pemenang perseteruan ini akan ditentukan oleh MK. Karena itu, wajar jika
publik memberi kritik tajam atas langkah Komisi III DPR karena sikap
permisifnya dan juga terhadap Arief Hidayat karena manuver ini menguntungkan
bagi dirinya sendiri dalam upaya memperpanjang jabatannya sebagai hakim MK.
Arief pernah dijatuhi sanksi oleh Dewan
Etik MK pada April 2016 karena membuat surat katebelece kepada pejabat
Kejaksaan Agung agar kerabatnya yang juga seorang jaksa di Kejaksaan Negeri
Trenggalek, Jawa Timur, bisa dititipkan dan dibina di lembaga itu.
Karena itu, di sinilah perlu dilakukan
pengaturan seleksi calon hakim MK untuk mencegah kewenangan lembaga negara
diselewengkan akibat ketiadaan pengaturan internal.
Perpanjangan
jabatan
Istilah ”perpanjangan” jabatan hakim MK
sebenarnya tidak dikenal dalam UU MK. Apabila seorang hakim MK habis masa
jabatan selama lima tahun-nya (Pasal 22 UU MK), lembaga pengusul harus
menyeleksi ulang calon hakim MK untuk mengganti atau mengisi jabatan hakim MK
melalui seleksi dan pemilihan, bukan diperpanjang atau dilanjutkan.
Sayangnya, revisi UU MK yang telah
diundangkan menjadi UU No 8/2011 tidak memuat tata cara seleksi dan pemilihan
hakim MK sehingga proses perekrutannya menjadi tidak jelas dan disesuaikan
dengan selera dan kepentingan setiap lembaga pengusul. Tentu, kita tidak
ingin kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar terulang kembali serta
meruntuhkan marwah dan kepercayaan publik terhadap MK karena sejak dari awal
prosesnya tidak benar.
Saya percaya, Presiden Joko Widodo dalam
kapasitasnya selaku kepala negara akan menolak proses perpanjangan calon
hakim MK yang cacat hukum dan melanggar etika serta mengembalikannya agar
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 15, Pasal 19, dan Pasal 20 UU MK,
di samping ketentuan UU No 28/1999 serta TAP MPR No XI/MPR/1998.
Hal ini penting guna mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme dengan memegang teguh asas transparansi, partisipatif, obyektif,
dan akuntabel demi menjaga marwah MK sebagai benteng pengawal konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar