Dari
Sekolah Ramah Anak ke Sekolah Rumah Anak
Seto Mulyadi ; Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia;
Ketua Umum Asosiasi
Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena)
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Desember 2017
INSTRUKSI Presiden tentang Gerakan Nasional
Revolusi Mental diterbitkan menjelang akhir tahun lalu. Salah satu isinya
ialah poin tentang sekolah sebagai basis, di samping rumah, penciptaan
lingkungan nirkekerasan dan ramah anak. Mari kita kupas satu per satu. Mulai
nirkekerasan.
Inpres tersebut memang baru keluar
menjelang Indonesia masuk ke 2017. Namun, ihwal sekolah sebagai lingkungan
nirkekerasan, sepanjang ingatan saya, sebenarnya sudah menjadi isu aktual
sejak 1980-an. Itulah yang tecermin pada lagu Omar Bakri-nya Iwan Fals. Di
salah satu baitnya, Pak Guru Bakri diceritakan terkejut bukan alang-kepalang
karena di pekarangan sekolah banyak polisi. Penyebabnya mirip situasi zaman
now, pelajar tawuran.
Kian mencekam karena pada kurun yang tak
terpaut jauh menggelegar warta tentang tragedi kekerasan yang dialami seorang
bocah bernama Arie Hangara. Anak malang itu meninggal dunia akibat kekerasan
beruntun yang dilakukan orangtuanya sendiri.
Beruntung, pada masa itu, masalah siswa adu
gelut dan anak menyongsong maut seolah menemukan penawarnya dari program
Penataran P4 dan sejumlah mata pelajaran terkait dengan budi pekerti, semisal
pendidikan agama, pendidikan moral Pancasila, dan pendidikan sejarah
perjuangan bangsa.
Sejak sebelum keluarnya Inpres GN Revolusi
Mental hingga kini, dalam rangka merealisasikan sekolah sebagai lingkungan
tanpa kekerasan, saya mengusulkan diadakannya borang akreditasi yang secara
khusus menakar sekaligus mendorong lembaga pendidikan agar benar-benar peduli
akan hal tersebut. Seiring dengan itu, bila perlu, sertifikasi pengajar pun
dapat menjadi taruhan bagi guru yang kedapatan melakukan kekerasan terhadap
anak didik.
Sekolah tentu tak cukup jika hanya mampu
menjadikan lingkungannya steril dari kekerasan. Karena itulah, dari Oemar
Bakri-nya Iwan Fals, kita putar kenangan ke lagu Ibu Guru Kami karya Mochtar
Embut. Beda nuansa dengan kisah guru yang dinyanyikan Iwan Fals, Pak Mochtar
berkisah tentang seorang guru yang pandai bernyanyi, pandai bercerita, dan
ini dia asyik sekali. ‘Asyik sekali’ sungguh-sungguh merepresentasikan sosok
guru yang menyenangkan dan suasana sekolah yang membahagiakan.
Sekolah yang asyik sekali, jika
diterjemahkan ke terma masa kini, kiranya sebangun dengan sekolah ramah anak
(SRA). SRA ialah sekolah yang secara terencana berikhtiar memenuhi hak-hak
anak. Suatu sekolah dapat disebut sebagai SRA ketika ia sudah berhasil
menjadikan lingkungannya sehat, asri, inklusif, dan nyaman bagi semua siswa,
tak terkecuali siswa berkebutuhan khusus. Definisi UNICEF tentang sekolah
ramah anak (child-friendly school)
tampaknya lebih komprehensif lagi, yakni meliputi aman secara fisik, tenteram
dari sisi batiniah, dan memberdayakan anak secara psikologis.
Untuk mewujudkan SRA, diperlukan sinergi di
antara tiga pihak yang mencakup sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pada sisi
itu, terlihat benang merah antara prasyarat SRA dan Inpres GN Revolusi
Mental, yaitu kemitraan antara sekolah dan keluarga (rumah) anak. Akan
tetapi, pertanyaan muncul, bagaimana perwujudan kemitraan sekolah dan rumah
tersebut?
Saya mengidamkan suatu sistem pendidikan
yang membuka ruang semaksimal mungkin bagi orangtua dan sekolah untuk
merancang program bersama sesuai dengan kebutuhan siswa masing-masing. Puncak
dari gagasan ini sebenarnya ialah program sekolah rumah atau yang saat ini
populer dengan sebutan homeschooling.
Artinya, sekolah menyediakan dua opsi, anak
belajar di sekolah ataupun anak belajar di rumah. Itu masalah lingkungannya.
Esensi muatannya ialah rancangan program yang benar-benar fleksibel sebagai
tanggapan terhadap keunikan setiap siswa, dan keunikan itu hanya bisa
disikapi secara pas manakala orangtua dan sekolah bersedia duduk bersama dan
menyusun 'puzzle' juga bersama-sama
Getir, tetapi sejujurnya, angan tentang SRA
sedemikian rupa diilhami hasil pengamatan saya terhadap peranti lunak
pendidikan serta para pembinanya yang masih membutuhkan waktu tak sebentar
untuk mengukuhkan kesiapan mereka dalam memahami siswa sebagai individu
(anak) unik yang khas satu sama lain.
Dihubungkan dengan aspek penyelenggaraan
SRA, sekolah memang dituntut untuk menyesuaikan programnya dengan anak.
Maknanya, program pendidikan diselaraskan dengan rangkaian tahap perkembangan
anak. Sepintas, itu sudah ideal. Namun, saya tidak yakin benar bahwa upaya
penyelarasan itu akan berlangsung optimal andaikan orangtua selaku pihak yang
diasumsikan paling mengerti kondisi anak--terkesampingkan. Ketidaksiapan itu
berdampak pada terbentuknya--sadar maupun tidak pemaksaan agar siswalah yang
harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang diciptakan.
Sekolah
rumah
Rancangan pendidikan yang sepenuhnya
berorientasi pada kekhasan individual anak, sehingga bersifat sangat
customizable, memang bisa memberatkan guru. Toh, sekolah bukan kursus privat.
Guru-guru pun terkondisi untuk mengajar dalam situasi klasikal, bukan guru
les individual. Pemafhuman akan kendala itulah yang, seperti saya tulis di
atas, meyakinkan saya bahwa betapa indahnya apabila pada beberapa kasus peran
guru juga dapat diambil alih oleh orangtua siswa sendiri. Format pendidikan
paling pas untuk ini adalah sekolah rumah.
Format sekolah rumah senyatanya menyediakan
jalan keluar bagi sekian banyak isu di dunia pendidikan kita. Mulai
renggangnya kualitas serta minimnya kuantitas waktu interaksi antara anak dan
orangtua hingga 'mahal'-nya biaya pengadaan sarana dan prasarana sekolah yang
harus ditanggung negara.
Problem terkait dengan rasio jumlah siswa
dan jumlah guru juga niscaya teratasi. Muatan dan perlengkapan belajar lebih
sesuai dengan kemampuan belajar dan kepribadian siswa. Kesesuaian tersebut
yang menjadi penjelasan atas berbagai temuan bahwa pencapaian akademis
anak-anak yang mengikuti sekolah rumah ternyata menyamai bahkan dalam
beberapa kasus mengungguli anak-anak peserta sekolah berformat konvensional.
Kelebihan lain sekolah rumah ialah anak
terhindar dari jam belajar yang meletihkan. Ketika anak sedang sakit, anak
tidak lagi harus kehilangan jam pelajaran karena tidak ke sekolah. Satu lagi
nilai tambah sekolah rumah adalah, ini boleh jadi situasi khusus yang ada di
Indonesia, risiko kekerasan dan perundungan oleh sesama siswa lebih dapat
ditekan.
Asli
Indonesia
Hingga saat ini masih banyak kalangan
menyangka bahwa program sekolah rumah merupakan hasil impor dari program
pendidikan yang diinovasi dan diterapkan di luar negeri. Anggapan itu keliru!
Banyak tokoh pemimpin zaman old yang juga merupakan hasil didikan sekolah
rumah. Salah satunya, publik tentu tidak lupa bahwa tokoh besar sekaliber
Bung Karno juga merupakan produk dari pendidikan berformat sekolah rumah.
Sang Pemimpin Besar Revolusi memang pernah menempuh pendidikan ala
konvensional, yaitu di sekolah. Namun sejarah mencatat, Haji Oemar Said (HOS)
Cokroaminoto adalah guru sejati Bung Karno. Rumah Cokroaminoto di Gang
Peneleh adalah sekolah rumah tempat Soekarno belia ditempa menjadi
intelektual, pecinta Islam, ideolog, insan bervisi kebangsaan, sekaligus
orator ulung.
Di rumahnya, Cokroaminoto memberikan banyak
buku kelas berat ke anak didik kesayangannya itu. Di kamarnya yang tanpa
jendela, Soekarno remaja mengasah kemampuan pidatonya. Program pendidikan
rumah bukan berarti anak melulu di rumah. Itu pula yang dilakukan
Cokroaminoto. Soekarno diajaknya melakukan perjalanan ke banyak daerah dan bertemu
dengan perkumpulan-perkumpulan masyarakat. Aktivitas luar rumah itu
memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk menyimak bagaimana Cokroaminoto
mengajarkan agama sekaligus mengartikulasikan dialektika pemikirannya.
Hubungan keduanya bahkan melampaui level
relasi guru dan murid. Di hati Soekarno, Cokroaminoto laksana orangtua
biologisnya. Terbukti, ketika istri Cokroaminoto wafat, Soekarno memutuskan
menikahi putri Cokroaminoto guna mengatasi kesedihan 'ayah'-nya itu.
Kelekatan sedemikian hangat seperti itu--sekali lagi--merupakan keistimewaan
yang bisa diciptakan dalam pendidikan berformat sekolah rumah. Ke sanalah, ke
keadaan di Gang Peneleh itulah, saya mengangankan situasi pendidikan
Indonesia 2018. Dari sekolah nirkekerasan ke sekolah ramah anak, lalu
puncaknya sekolah rumah anak. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar