Menata
Transportasi Jakarta
Agung Wicaksono ; Direktur Operasi & Pemeliharaan PT MRT
Jakarta
|
KOMPAS,
13 Desember
2017
Mobilitas masyarakat di Ibu Kota DKI
Jakarta sedang dalam masa darurat. Kemacetan di tiap sudut kota seluas 662
kilometer persegi ini menjadi keseharian 10 juta penduduknya. Tidak hanya
kemacetan, buruknya kondisi trotoar menjadikan pejalan kaki kehilangan haknya
dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penduduk termalas untuk
berjalan kaki.
Pengeluaran masyarakat Jakarta untuk biaya
transportasi menyita 20-35 persen penghasilannya, jauh dari angka ideal di
bawah 12 persen. Jakarta perlu segera bertindak agar ancaman gridlock—suatu
kondisi di mana lalu lintas benar-benar tidak bergerak—tidak terjadi pada
2020 dan segera keluar dari predikat kota dengan kemacetan terparah keempat
di dunia.
Selama ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
terus berupaya untuk memecahkan persoalan kemacetan yang menyebabkan kerugian
Rp 65 miliar per tahun tersebut. Di ruas jalan protokol, pemerintah membangun
sejumlah infrastruktur, termasuk Simpang Susun Semanggi (SSS). Jalan layang
non-tol sepanjang 1.622 meter itu dibangun menggunakan dana kompensasi
kenaikan koefisien lantai bangunan (KLB) dari pembangunan konstruksi pihak
swasta atau pengembang di Ibu Kota.
Simpang
Susun Semanggi
Sebagai kebanggaan baru Jakarta, SSS yang
diharapkan dapat menurunkan tingkat kemacetan Ibu Kota adalah sebuah inovasi
pembangunan, tidak hanya dari aspek teknologi, tetapi juga tata kelola
pembiayaan. Meski demikian, keputusan
pemerintah membangun SSS menggunakan dana kompensasi kenaikan KLB para
pengembang itu belum cukup mengurai kemacetan. Salah satunya adalah karena
infrastruktur ini lebih memfasilitasi penggunaan kendaraan pribadi daripada
transportasi publik.
Dinas Perhubungan dan Transportasi Provinsi
DKI Jakarta mencatat bahwa pada tahun 2015 terdaftar 7.979.833 kendaraan
pribadi di Ibu Kota dengan persentase pertumbuhan mencapai 8,12 persen per
tahun. Hal ini tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan yang hanya 0,01
persen per tahun.
Jadi, berapa pun banyaknya kompensasi
kenaikan KLB yang digunakan untuk membangun infrastruktur jalan, seperti SSS,
tidak akan mampu mengejar kebutuhan mobilitas masyarakat.
Kompensasi
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi telah menyebutkan berbagai
kompensasi KLB, salah satunya adalah pembangunan berorientasi transit (TOD)
yang memadukan pejalan kaki dan angkutan umum massal.
Pasal 621 bahkan menyebutkan bahwa
kompensasi dapat diarahkan untuk pembangunan kawasan yang memiliki fungsi
sebagai fasilitas parkir perpindahan moda dan lokasi pertemuan angkutan umum
massal. Membangun SSS sebagai upaya pemerintah untuk memberikan solusi
terhadap kemacetan sebaiknya diperkuat dengan membangun kawasan TOD, yaitu
mendorong transportasi massal berbasis rel.
Pemerintah DKI Jakarta saat ini terus
berupaya mengoptimalkan layanan transportasi berbasis rel dengan membangun
MRT dan LRT. Namun, kedua moda tersebut tidak akan cukup apabila tidak ada
integrasi antarmoda yang akan memberi kenyamanan dan keamanan.
Yang paling utama, integrasi antarmoda
tersebut harus menstimulasi masyarakat agar beralih dari kendaraan pribadi ke
transportasi publik, termasuk kembali menjadi pejalan kaki. Dana kompensasi
KLB sebaiknya untuk mendorong pembangunan kawasan pengembangan berorientasi
transit (TOD) yang menstimulasi hal tersebut.
Dari total dana yang terkumpul Rp 579
miliar, pembangunan SSS ”hanya” menghabiskan dana Rp 365 miliar. Sisa Rp 200
miliar lebih akan digunakan untuk menata ulang trotoar dan box ducting
utilitas sepanjang jalan Sudirman-Thamrin.
Alangkah baiknya jika seluruh pengelolaan
dana kompensasi KLB di sepanjang koridor jalur MRT dan LRT nantinya diarahkan
untuk membangun trotoar, plaza stasiun, jembatan penghubung (skybridge),
bahkan terowongan pejalan kaki (pedestrian tunnel) sebagai bagian dari
kawasan TOD tersebut.
Pengelolaan
Banyak pengembang properti juga berlomba-lomba
memasarkan hunian dekat stasiun sebagai TOD. Padahal, mengembangkan kawasan
berorientasi transit bukan sekadar membangun rumah susun. Konsep TOD adalah
tentang menata kota.
Menata Jakarta berarti menegakkan keadilan
sosial dan hak bagi setiap lapisan masyarakat Ibu Kota, termasuk bagaimana
negara hadir mengelola kontribusi para pengembang properti dan berpihak
kepada operator transportasi publik. Hadirnya negara melalui keberadaan
operator utama (master developer) akan menunjukkan keberpihakan kepada
masyarakat.
Pengelolaan kawasan berorientasi transit,
termasuk integrasi antarmoda ini, memerlukan operator utama, mengoordinasikan
setiap aspek yang beririsan. Idealnya, operator utama adalah salah satu
operator transportasi publik berbasis rel yang memiliki kapasitas angkut
besar.
Salah satu contoh sukses kehadiran negara
melalui operator utama berbasis rel adalah Hong Kong. Melalui MTR Corporation
Ltd, yang 75 persen kepemilikan di tangan negara, MTR Hong Kong mampu
menunjukkan best practice dalam memadukan pelayanan jasa transportasi massal
berbasis rel dengan pengembangan properti.
Dengan 200 kilometer jaringan rel, MTR Hong
Kong mampu mengangkut 5,5 juta penumpang per hari. Angka yang sangat
fantastis mengingat jumlah penduduk kota itu sekitar 7 juta jiwa. Artinya,
hampir 80 persen warganya naik transportasi publik.
Penataan Jakarta yang berpihak pada
perbaikan transportasi publik massal harus terus berlanjut, bahkan diperkuat
dengan keberadaan TOD dan operator utama. Hal ini diperlukan agar target
Pemprov DKI Jakarta meningkatkan pengguna transportasi publik akhir 2019
sebesar 40 persen dapat tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar