Pelajaran
dari KLB Difteri
Djoko Santoso ; Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga
|
KOMPAS,
14 Desember
2017
Berita penetapan difteri sebagai status
kejadian luar biasa sungguh sangat memprihatinkan. Pemberitaan terakhir,
sudah ada kasus kejadian luar biasa (KLB) di 20 provinsi. Kementerian
Kesehatan menyebutkan, hingga November 2017 sudah ada 561 kasus difteri, di
mana sebanyak 32 orang meninggal.
Penyakit ini memang jahat karena dampak
dari toksinnya yang menimbulkan komplikasi saluran napas dan miokarditis
(radang dinding otot jantung). Penderita bisa mengalami paralisis atau lumpuh
kranial (saraf kesadaran) dan perifer (saraf tepi) di otak. Sendi, tulang,
dan ginjal pun bisa terserang difteri.
Siapa pun dan semua orang yang belum
diimunisasi atau divaksinasi sangat mudah berisiko menjadi target serangan
difteri. Ini bisa terjadi di belahan dunia mana saja, tak terkecuali negara
maju. Bedanya di negara maju, angka fatalitasnya sangat mudah dikendalikan
karena ditunjang oleh standar hidup yang lebih baik, mudahnya imunisasi
massal, diagnosis yang lebih baik, dimungkinkannya pengobatan segera, dan
perawatan yang lebih efektif.
Indikasi
masalah
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal,
menurut data Kementerian Kesehatan, penyakit ini sudah bisa dikuasai pada
tahun 1990, tetapi kemudian muncul lagi pada 2009, dan dikuasai lagi pada
2013. Munculnya kejadian luar biasa ini seakan memberi sinyal bahwa ada
masalah dalam memberikan perawatan di daerah wabah sehingga perlu
penyempurnaan dalam kebijakan politik kesehatan kita. Masalah yang dimaksud
termasuk—tetapi tidak terbatas pada—cakupan vaksinasi yang buruk, sistem
surveilans penyakit, dan keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan.
Apakah program imunisasinya mulai kendor
atau tidak efektif? Dari pengamatan, program imunisasi patut dicurigai
efektivitasnya. Bisa jadi karena kurangnya persiapan dan kapasitas pemimpin
di tingkat lokal dalam menjalankan program vaksinasi seperti faktor melacak
dan
menghitung vaksin yang akurat dan
distribusi serta penyerapannya; target populasi, jadwal vaksinasi, strategi
kampanye, kriteria kelayakan yang longgar.
Dalam kaitan ini, rasanya sulit diterima
mengingat selama ini program posyandu dengan imunisasinya seakan menjadi satu
paket di wilayah kerjanya. Profesionalitas mestinya dikedepankan, lagi pula
ada program updating kompetensi setiap tahun.
Kemungkinan lain, justru sifat biologis
penyakit difteri itu sendiri. Bahwa penularan memang tak pernah terputus sama
sekali, dan wabah yang terisolasi akan terus terjadi, terutama di kalangan
anak-anak, sepanjang tahun, dan penyakit ini mempertahankan endemisitas
tingkat rendah di beberapa wilayah. Pada momen tertentu, setelah beberapa
tahun mengalami penurunan infrastruktur kesehatan masyarakat, termasuk
penurunan tingkat cakupan imunisasi difteri-tetanus dan vaksin pertusis (DTP)
di antara anak-anak, biasanya terjadi kebangkitan difteri, terutama di
pusat-pusat perkotaan.
Hal ini yang secara serius perlu kita
cermati bersama agar peta jalan untuk keluar dari kasus wabah segera
terealisasi. Munculnya epideminya kemungkinan dimulai di antara anak-anak
dari daerah tempat program imunisasi anak-anak yang tidak memadai, lalu
menyebar dengan cepat ke orang dewasa yang tidak dilindungi secara memadai.
Peran
vaksinasi
Jika menengok dari Ukraina, pada tahun 1991
negara ini mengalami kembalinya epidemi difteri setelah beberapa dekade
terkontrol dengan angka kurang dari 40 kasus sporadis yang dilaporkan setiap
tahun. Kejadian meningkat berawal di ketiga provinsinya. Dua tahun kemudian
epidemi telah menyebar ke separuh dari wilayah (provinsi), dan dua tahun
kemudian semua (27) wilayah terpengaruh dengan puncaknya pada 1995 dengan
angka di atas 5.000 kasus dan lebih dari 200 kematian dilaporkan terjadi.
Hal yang sama terjadi di bekas induknya,
wabah merebak bertepatan dengan pecahnya Uni Soviet pada awal 1990-an, saat
tingkat vaksinasi turun sangat rendah sehingga terjadi ledakan kasus difteri.
Setahun kemudian ledakan meluas sebanyak 2.000 kasus, hingga menyebar ke
seluruh bagian Eropa lain, di antaranya Belgia, Finlandia, Polandia, dan
Jerman. Ini semua sangat terkait dengan karakter anak-anak yang tak
divaksinasi.
Jelaslah bahwa vaksinasi sangat
berkontribusi dalam konteks penyakit difteri. Dengan meluasnya penggunaan
vaksin, dilaporkan tingkat difteri turun dengan cepat sejak tahun 1920-an.
Analisis ini menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara sifat biologis penyakit
dan program imunisasi sebagai penangkal serangan yang menakutkan. Untuk itu,
menjadi sangat jelas dalam menentukan langkah keluar dari masalah wabah
difteri.
Namun, harus diingat betapapun peta jalan
itu jelas, akan menjadi kompleks ketika situasi ini dipersulit dengan
kenyataan lemahnya dukungan ekonomi pada program promosi kesehatan,
lengketnya desentralisasi sistem kesehatan masyarakat, yang berarti setiap
wilayah sangat bervariasi dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga
menyulitkan pemerintah pusat bergerak untuk keluar dari masalah ini.
Langkah
pencegahan
Dalam upaya mendukung keberhasilan peta
jalan bebas difteri, sangat penting untuk memperhatikan kebersihan pribadi.
Hal ini mengingat fakta bahwa difteri ditularkan melalui inhalasi tetesan
pernapasan di udara dan juga dapat melalui kontak fisik dengan barang-barang
rumah tangga dan atau barang-barang pribadi yang terkontaminasi. Pengetahuan
orangtua terhadap gejala demam, sakit tenggorokan, dan kelenjar bengkak
seperti apa yang menuntut tindakan membawa pasien ke dokter juga diperlukan.
Kementerian Kesehatan juga perlu untuk
bahu-membahu dengan Majelis Ulama Indonesia terkait kemungkinan penguatan
lagi dari fatwa untuk mewajibkan orangtua memvaksinasi anak-anak kita, dan
jika sudah, pengingatannya secara periodik perlu terus dilakukan. Selain itu,
kebijakan yang mendukung gagasan (yang mungkin saja diperdebatkan) untuk
menolak pendaftaran siswa yang tidak divaksinasi ke sekolah perlu segera
mulai dipertimbangkan.
Dengan demikian, pemerintah harus
memprakarsai program penguatan peningkatan imunisasi di antara anak-anak dan
orang dewasa yang berisiko, terutama di daerah wabah, dan sekiranya sudah
semakin siap, strategi imunisasi massal di lakukan dalam upaya untuk
meminimalisasi epidemi yang bersifat meningkat secara eksponensial ini.
Hal lain adalah perlunya kampanye imunisasi
massal diawali segera dan dilanjutkan dengan program memperkenalkan imunisasi
anak rutin dengan toxoids DTP, yang diikuti oleh dosis penguat anak dari
vaksin toksin diphtheria-tetanus (DT) yang dikombinasikan dengan dosis
tokenoid tetanus-diphtheria remaja dewasa dan dewasa (Td).
Dengan situasi seperti ini, wabah yang
menjadikan kita semua bersedih, yang semestinya bisa dihindari dengan
penguatan dan penegakan program imunisasi universal pada bayi dan anak-anak,
mestinya bisa dihindari. Nasi sudah menjadi bubur. Mari kita semua membantu
program bersama ini agar tidak terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar