Perangkap
Pasca-demokrasi
Jannus Th Siahaan ; Pengamat Sosial Kemasyarakatan;
Tinggal di Pinggiran
Bogor, Jawa Barat
|
KOMPAS.COM,
13 Desember
2017
PADA tahun 2004, terbit sebuah buku dari
seorang profesor ilmu politik Warwick University, Colin Crouch, berjudul
"Postdemocracy". Isu yang diangkat sangat menarik, walaupun cukup
disayangkan karena substansi yang dibawa Colin Crouch tidak terlalu populer
di tahun-tahun berikutnya.
Kendati demikian, banyak indikasi yang
dikatakan Colin Crouch sebenarnya eksis dalam realitas perdemokrasian,
termasuk di Indonesia. Dengan indikasi teknis yang hampir sama, kemudian di
daratan Amerika, Larry Diamond juga akhirnya menyimpulkan bahwa telah terjadi
resesi demokrasi di negara-negara yang awalnya sempat terkena sapuan
gelombang ketiga demokrasi versi Samuel P Huntington.
Dalam tulisannya di Journal of Democracy,
Facing Up to Democratic Reccesion, Januari 2015, Diamond mengungkapkan bahwa
sejak 2006, sebagian negara yang terkena gelombang demokratisasi versi Samuel
P Huntington mulai memperlihatkan angka freedom score yang memburuk.
Sekitar tahun 2006, perluasan kebebasan dan
semangat berdemokrasi di dunia terhenti. Tidak ada perluasan signifikan dari
jumlah negara yang menganut demokrasi elektoral. Angkanya hanya bergerak
tipis pada kisaran 114 dan 119 negara atau sekitar 60 persen dari
negara-negara di dunia.
Bahkan berdasarkan data yang diungkapkan
oleh Diamond, jumlah negara yang mengadakan pemilihan secara demokratis
(demokrasi liberal) mulai menurun dan pelan-pelan stagnan.
Diamond menulis, "Sejak tahun 2000,
saya menghitung 25 kerusakan demokrasi di dunia, tidak hanya melalui kudeta
militer atau eksekutif yang terang-terangan mendominasi segala lini, tapi
juga melalui degradasi hak-hak demokrasi yang ekstrem dan bertahap. Beberapa
dari kerusakan tersebut terjadi pada negara-negara yang menjalankan demokrasi
dalam kualitas rendah. Hampir dalam setiap kasus terlihat kualitas kompetisi
dari pemilihan multipartai cenderung terdegradasi ke bawah standar minimal
demokrasi."
Dalam konteks dan perspektif yang sedikit
berbeda, pendapat Diamond diamini oleh Francis Fukuyama dalam karya
penghormatannya terhadap Samuel Huntington, yakni Political Decay dan
Political Order (judul ini juga digunakan oleh Huntington pada tahun
1960-an).
Indikasi yang disampaikan Colin, diselidiki
oleh Diamond, dan diamini oleh Francis Fukuyama adalah bahwa kehidupan
demokrasi dalam sebuah negara pada akhirnya hanya perkara prosedural, itu pun
kian melemah kualitasnya.
Pemilu dijalankan, lembaga demokrasi
dilengkapi, media diberi ruang bebas, dan lain-lain, tetapi keberpihakan
keputusan publik tetap mutlak terletak di tangan-tangan oligarki ekonomi
politik, alias di tangan-tangan beberapa orang saja.
Diamond dan Frank (panggilan akrab Francis
Fukuyama) menyebutnya pratrimonialisme politik dan patron-clientalisme.
Adapun Colin Crouch menyebutnya neo-aristocratic system.
Persamaan pandangan dari ketiga tokoh
tersebut adalah bahwa demokrasi pada akhirnya hanya perkara seremoni di satu
sisi, gegayaan, sok demokratis, biar trendy secara politik, dan ikut- ikut
tren global.
Namun di sisi lain, kenyataannya hanya
digunakan oleh oligar-oligar untuk membangun impresi bahwa di satu sisi
daerah kekuasaannya layak dianggap demokratis, sementara kepentingan mereka
di sisi lain terselamatkan.
Di ranah yang lain, ranah pengambil
keputusan, ternyata demokrasi sudah selesai saat para pemilih pulang dari
bilik suara, lalu kembali berjibaku dengan kehidupan masing-masing.
Kedaulatan dianggap sudah berpindah,
bertransformasi menjadi kekuasaan dan wewenang yang kemudian dimonopoli oleh
beberapa oligar saja. Lama kelamaan, hal yang demikian kemudian melahirkan
tatanan masyarakat yang juga bersifat postdemocratic.
Masyarakat menikmati hak pilih, menikmati
kebebasan media, menonton kegilaan-kegilaan wakil-wakil rakyat dengan bebas,
menggunjingkan kepala-kepala daerah yang korup yang telah mereka pilih, lalu
menertawakannya. Namun, saat tahun politik datang, pemilih mencoblos lagi, as
usual.
Demokrasi pada akhirnya diperlakukan
sebagai seremoni secara bersama-sama (massive), bak pesta kemerdekaan tujuh
belasan yang hanya sekali setahun, misalnya. Dengan kata lain, tatanan
demokrasi pelan-pelan dijangkiti budaya patrimonialistik.
Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya
Political Order and Political Decay: from Industrial Revolution to the
Globalization of Democracy (2014), terdapat penyakit akut terkait dengan
pembangunan politik di banyak negara yang sedang membangun (developing
countries).
Permasalahannya terletak pada peran negara
yang lemah dan cenderung tak efektif. Para elite penguasa lebih lihai
menampilkan kekuasaan despotik, suatu kemampuan untuk melakukan tekanan
kepada pihak lawan seperti jurnalis, politisi oposan, dan kelompok-kelompok
pesaing.
Akan tetapi, mereka tidak memiliki kekuatan
dalam aspek kekuasaan infrastruktural, yaitu kemampuan untuk menghadirkan
penguatan hukum yang adil dan penyediaan barang-barang publik seperti
keselamatan, kesehatan, dan pendidikan.
Kondisi yang demikian jamak dengan irama
postdemocracy besutan Colin Crouch. Begini jabaran beliau, "a
post-democratic society is one that continues to have and to use all the
institutions of democracy, but in which they increasingly become a formal
shell. The energy and innovative drive pass away from the democratic arena
and into small circles of a politico-economic elite."
Perkembangannya secara teknis-empiris,
terutama untuk Indonesia, demokrasi menjadi semacam standar minimal saja.
Sementara itu, di sisi lain dinasti
politik, pelibatan sanak famili ke dalam panggung politik, maraknya politik
balas budi, politik harga pertemanan, justru tetap mekar semringah di mana
pada akhirnya kerentanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme juga kian
terpupuk dan meningkat.
Dengan kata lain, demokrasi diperlakukan
semata sebagai instrumen teknis yang tidak terkait dengan tujuan yang lebih
tinggi, seperti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan sosial, dan
perhargaan kepada kemanusiaan serta hak-hak sosial ekonomi yang melekat.
Saya kira, kita memang perlu melakukan
refleksi mendalam tentang sikap kita terhadap demokrasi yang sedang kita
nikmati saat ini.
Kelengahan publik, terutama dari kalangan
intelektul dan masyarakat sipil, bisa saja secara tak sadar memarkir
demokrasi Indonesia di tempat yang tidak semestinya.
Bukan hanya itu, segmentasi konflik yang
kian captive tanpa manajemen perbedaan yang mumpuni akibat
kontestasi-kontestasi yang kurang sehat juga bisa membawa kita kepada
demokrasi dengan ruang interpretasi yang sangat sempit, yaitu demokrasi versi
masing-masing, demokrasi yang sejalan dengan keberlanjutan kepentingan dan
kebahagiaan sendiri-sendiri. Dan, kemudian dijadikan bahan racikan oleh aktor-aktor
elite untuk terbebas dari tugas mulia mereka sebagai petinggi-petinggi
negeri. Semoga tak demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar